Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Talita Terbongkar
Dokter menghela napas sambil merapikan stetoskopnya. “Tidak ada yang serius. Tuan Angkasa hanya demam biasa. Kemungkinan karena pakaiannya basah setelah di pantai, lalu tidak langsung diganti. Pakaian itu ia biarkan kering di tubuhnya. Itu yang membuat suhu badannya naik.”
Talita bersedekap, wajahnya menegang. “Salahnya dia sendiri. Tidak pernah mau menjaga diri.”
Dokter menatap Talita sebentar, lalu menuliskan resep singkat. “Obatnya bisa diminum nanti. Sementara itu, bajunya harus segera diganti, jangan dibiarkan basah terkena keringat. Tolong lakukan, Bu.”
Talita langsung menegakkan tubuh. “Saya? Tidak mungkin. Saya bukan keluarganya, saya hanya ART.” Nada suaranya ketus, seperti hendak menolak mentah-mentah perintah itu.
Dokter hanya tersenyum tipis. “Tetap harus ada yang menjaganya. Saya pamit dulu.” Ia menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan kamar villa dalam keheningan.
Lama sekali Talita mengambil kepususan, sampai Bintang mengantuk menunggu Angkasa dan tidur di sampingnya.
Kini kamar benar-benar senyap, hanya ada Talita, Bintang yang terlelap di sisi ranjang, dan Angkasa yang tak sadarkan diri. Talita mondar-mandir, seperti macan yang dikurung dalam kandang sempit. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya. “Mengganti baju Angkasa? Aku? Mustahil…”
Namun, tiap kali menoleh ke ranjang, wajah Bintang terbayang. Angkasa memang menyebalkan, tetapi pria itu baru saja menyelamatkan Bintang dari maut. Itu membuat Talita gamang.
“Astaga…” Talita mengusap wajah, lalu mendekati Angkasa.
Ia menarik napas panjang sebelum perlahan membuka kancing kemeja Angkasa. Jemarinya bergetar, entah karena gugup atau karena dingin AC kamar. Begitu kain itu terbuka, tubuh bidang Angkasa terlihat. Keringat membuat kulitnya berkilat, panasnya bagai bara yang baru saja dipadamkan.
Tanpa sengaja, tangan Talita menyentuh dada Angkasa. Ia tersentak, tapi bukannya menarik diri, ia justru mendiamkan tangannya di sana. Panas itu menyebar ke telapak tangannya. Ada perasaan aneh, campuran penasaran, cemas, dan sesuatu yang tak mau ia akui.
Talita menunduk, berbisik lirih, “Suhu tubuhmu… gila, panas sekali.”
Namun tiba-tiba—
BRAK!
Pintu terhempas terbuka keras.
Talita mematung. Ragiel berdiri di ambang pintu, matanya melebar, napasnya tersengal seakan baru berlari. Pandangannya langsung tertuju pada Talita yang sedang menempelkan tangan di dada Angkasa.
“Apa yang kau lakukan?!” suara Ragiel menggelegar, mencabik-cabik keheningan kamar.
Talita panik, buru-buru bangkit. “Bukan seperti yang kau pikir! Aku hanya....”
Namun Ragiel sudah maju, mendorong tubuh Talita hingga terhimpit dinding. Matanya tajam, penuh curiga. “Jangan bohong. Aku dengar sendiri Angkasa semalam menelponku, suaranya lemah, dia bilang ajalnya dekat. Dan El Mariachi, dia sudah mengaku! Kau sumber masalahnya!”
“Bukan aku!” Talita berusaha melawan, tubuhnya gemetar antara marah dan takut. “Dokter yang menyuruhku mengganti bajunya. Itu saja!”
“Omong kosong!” Ragiel mendesis. Tangan dinginnya meraih borgol dari saku. Dengan cekatan, ‘klik!’ kedua pergelangan tangan Talita terikat.
Talita terbelalak, tidak percaya. “Ragiel… kau… kau benar-benar memborgolku?!”
Ragiel mendekatkan wajahnya, suaranya lirih namun mengancam. “Kalau sampai ada apa-apa terjadi pada Angkasa, jangan harap kau bisa lolos. Sekali saja aku temukan bukti, kau sendiri yang akan menyerahkan lehermu ke tanganku.”
Talita menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Selama ini ia mengira Ragiel tenang, rasional, bahkan ‘laki-laki greenflag’. Tapi sekarang, mata Ragiel menunjukkan sisi lain gelap, keras, dingin.
Ragiel menyeret Talita keluar dari kamar. Borgol di tangannya berkilat di bawah cahaya lampu koridor villa. Talita meronta, tapi genggaman Ragiel terlalu kuat.
“Lepaskan aku, Ragiel! Kau keterlaluan!” Talita berbisik keras, takut membangunkan Bintang yang masih tertidur di dalam kamar.
Ragiel tak menggubris. Wajahnya dingin, matanya lurus ke depan. “Kau ikut aku. Kalau tidak mau bicara di sini, kita bicara di kantor polisi. Hanya polisi yang tahu caranya membuat orang sepertimu membuka mulut.”
Talita tercekat. Kata-kata itu membuat keringat dingin mengucur di pelipisnya. Ia dibawa keluar hingga ke area parkir. Hari mulai petang, dan pantai masih lembap, lampu-lampu jalan temaram. Ragiel membuka pintu mobil dan mendorongnya masuk ke kursi penumpang.
Talita menoleh tajam. “Kau gila? Aku bukan penjahat!”
Mesin mobil menyala. Ragiel menatapnya sekilas dari balik kemudi, ekspresinya keras. “Kalau bukan penjahat, buktikan. Kenapa kau selalu ada di sekitar Angkasa setiap kali masalah besar muncul? Website, berita palsu, bahkan tadi, kau di kamarnya dengan tanganmu di dadanya. Jangan harap aku percaya begitu saja.”
Talita menggertakkan gigi, wajahnya memerah oleh marah dan cemas sekaligus. “Kalau aku memang mau mencelakakan Angkasa, aku sudah lakukan sejak kemarin! Kau pikir aku punya nyali membunuhnya? Ragiel, aku bahkan hidup di rumah itu karena Nyonya Kamila yang menginginkannya. Bukan aku yang memaksa!”
Ragiel terdiam sejenak, tangannya masih menggenggam erat kemudi. Suara Talita makin bergetar tapi juga makin tajam.
“Dan dengarkan ini baik-baik,” lanjut Talita. “Angkasa mengatakan ajalnya akan dekat itu karena dia sakit demam, dan aku yang membawanya ke villa, memanggilkan dokter untuknya. Dan untuk apa aku berjaga di sampingnya sepanjang dia sakit? Ragiel, aku memang banyak salah, aku memang sering berdebat dengan Angkasa… tapi bukan berarti aku ingin membunuhnya.”
Mobil berhenti di tikungan sunyi. Lampu jalan redup menyorot wajah Ragiel yang muram, seperti sedang menimbang sesuatu. Nafasnya berat. Ia menoleh, menatap Talita lama.
Talita balik menatap , seolah seluruh keberaniannya dipertaruhkan malam itu. “Dan masalah El Mariachi, dia menjadikanku kambing hitam atas kesalahan yang dia perbuat. Jika aku yang membuat berita itu, mana buktinya? El Mariachi hanya membual tanpa bukti. Dia membual untuk menyelamatkan dirinya sendiri.”
Hening sejenak...
“Kalau kau tetap mau menyeretku ke kantor polisi, silakan. Tapi satu hal yang harus kau tahu, aku tidak bersalah.”
Keheningan lebih panjang. Hanya suara ombak dari kejauhan yang terdengar samar.
Ragiel akhirnya menghela napas panjang. Tangan kirinya terlepas dari kemudi, menyentuh borgol di tangan Talita. ‘Klik.’ Borgol itu terbuka.
“Untuk kali ini…” suara Ragiel berat, “aku akan percaya setengah. Tapi ingat, Talita… aku akan mengawasi setiap gerakanmu. Sekali saja kau berbuat salah, aku sendiri yang akan menyeretmu ke penjara.”
Talita menatapnya dengan campuran lega dan jengkel. Ia mengusap pergelangan tangannya yang memerah karena borgol. “Kau pikir aku senang hidup di bawah kecurigaanmu?!”
Ragiel tak menjawab. Ia hanya memutar kemudi, mobil kembali ke arah villa. Namun di dalam benaknya, satu hal jelas, Talita bukan sekadar perempuan biasa. Ia penuh misteri… dan bisa jadi jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.
^^^^
Di kamar villa, Angkasa akhirnya bisa membuka matanya. Kelopak matanya berat, napasnya masih terasa panas di tenggorokan. Keringat dingin membasahi pelipis. Ia mengedarkan pandang ke langit-langit kamar.
“Syukurlah… aku masih hidup.”
Bagi Angkasa, demam adalah musuh yang paling menyiksa. Tubuhnya bisa tahan patah tulang, luka, bahkan hantaman benda keras. Tapi begitu demam menyerang, sekujur tubuhnya serasa digilas, seolah nyawa terhisap pelan-pelan. Kini meski masih lemas, ia merasakan sedikit lega, panas di tubuhnya mulai mereda.
Ia menoleh ke sisi ranjang. Mata suramnya langsung menemukan sosok Ragiel yang setia berdiri di sana. Tapi kata pertama yang keluar dari mulut Angkasa justru lirih, terbata.
“Dimana… Talita? Dimana… Bintang?”
Ragiel menunduk, sedikit kaku. “Kenapa dia memanggil mereka berdua lebih dulu daripada urusan lain?” pikirnya. Dengan suara mantap ia menjawab, “Atas perintah saya, Talita tidak boleh berdekatan dengan Tuan untuk sementara. Dia bersama Bintang… menunggu di restoran villa.”
Angkasa mengerjap, wajahnya masih pucat. Tidak jelas apa yang ia pikirkan, tapi tatapannya dalam, seperti menahan sesuatu.
^^^^^
Sementara itu, di restoran villa yang tenang, Talita duduk bersama Bintang di meja pojok. Meja mereka kosong, hanya ada segelas air putih. Lampu gantung berayun pelan diterpa angin laut.
Bintang menyandarkan dagunya di atas meja, wajahnya murung. “Ma… aku lapar. Kenapa kita nggak pesan makan?” suaranya lirih, seperti merajuk.
Talita menghela napas panjang, menatap anaknya dengan sedih. “Sabar, Bintang… keadaan Mama sedang… tidak baik-baik saja.” Ia mengusap rambut Bintang dengan sayang.
“Tapi aku bosen, Ma… Aku mau pulang aja. Aku nggak suka di sini.” Bintang mulai memukul-mukul meja kecil dengan tangannya, ekspresi kesal khas anak kecil.
Talita menggigit bibir. “Kalau saja aku bisa memilih, aku pun ingin pergi dari sini. Tapi aku terikat oleh ancaman Ragiel.”
Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Talita mendongak. Sosok Angkasa muncul, didampingi Ragiel. Ia sudah berganti baju, meski wajahnya masih pucat. Matanya tajam, tapi tubuhnya jelas masih lemah.
Talita sempat berdiri, refleks ingin menanyakan keadaannya. Tapi sebelum sempat bicara, Angkasa sudah mengulurkan tangan dan menepuk keningnya.
PLAK!
Talita terperanjat. “Hei! Apa-apaan kamu?!”
Wajah pucat Angkasa menegang. Ia menatap lurus ke matanya dengan nada kesal.
“Gantian aku yang menepuk keningmu. Karena selama aku terbaring sakit… kau dengan seenaknya melakukan hal yang sama padaku.”
Suasana meja menjadi hening. Ragiel hanya menghela napas, memilih berdiri agak jauh. Bintang menatap bergantian, matanya besar seperti sedang menonton drama.
Talita menggertakkan gigi, wajahnya merah padam antara malu dan marah. “Aku melakukan itu karena… aku disuruh dokter! Bukan karena aku mau! Jangan sok penting!”
Angkasa menyeringai lemah, tapi nadanya tetap tajam. “Alasan. Semua hal darimu selalu penuh alasan, Talita.”
Sorot mata Angkasa menusuk Talita. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, bibirnya bergerak pelan, suaranya datar namun sarat tuduhan.
“Aku sudah mendengar semuanya dari Ragiel.”
Talita tertegun, jantungnya berdegup cepat. “Semuanya? Apa maksudnya?”Batin Talita. Ia mencoba mengatur napas, berusaha terlihat tenang meski kakinya nyaris goyah. “Maksudmu… apa yang kamu dengar?”
Angkasa menyandarkan satu tangan di meja, tubuhnya condong ke depan, wajahnya mendekat ke Talita. “Tentang dirimu. Tentang berita busuk yang hampir menghancurkan reputasiku. Tentang bagaimana kau bersekongkol dengan El Mariachi.”
Talita menelan ludah. Dari sudut mata, ia bisa melihat Ragiel berdiri kaku, wajahnya tegang. “Bajingan! Jadi Ragiel sudah buka mulut…” Umpat Talita dalam hati
Talita akhirnya bersuara, kali ini nadanya lebih tajam. “Kalau kamu percaya begitu saja pada Ragiel, silakan. Aku tidak akan buang tenaga menjelaskan. Tapi ingat, Angkasa… tidak semua yang kau dengar itu benar.”
Angkasa menyipitkan mata, senyum dingin tersungging di bibirnya. “Kau selalu pandai memutar kata. Tapi aku akan buktikan, Talita. Suatu saat kau tidak bisa lagi bersembunyi di balik kebohonganmu.”
Talita membalas tatapannya tanpa gentar, meski hatinya berdegup keras. “Buktikan saja.”
Suasana di meja itu menegang, seolah udara ikut membeku.
makasih sudah mampir