Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
¹ Tetangga baru
Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
Dahulu, aku nyaman aja menyandang status jomloh. Bahkan memang enggak tertarik masuk ke dunia percintaan. Mungkin karena aku sekolah di SMK yang sebagian besar muridnya laki-laki, hingga jarang bergaul dengan makhluk berlawanan jenis.
Namun, kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Apalagi jika kalian mempunyai tetangga yang aduhai, pastinya jika melihat tetangga yang begitu mempesona berbagai macam cara akan di lakukan untuk mencuri pandang.
Hujan mencampakkan langit karena ingin mencumbu bumi. Hujan tercengang ketika di lihatnya matahari mencintai bumi sama besarnya. Matahari menyapu bersih bekas kecupan yang ia torehkan semalam.
Halah, sok puitis! Bilang saja kalau tadi hujan lebat mengguyur kota ini, dan sekarang matahari tanpa sungkan memamerkan senyumnya. Terbentuk lah pelangi yang indah di langit bagian barat.
Aku duduk di teras warung kelontong milik emak. Secangkir kopi hitam menemaniku menikmati suasana dingin sore ini. Sesekali bunyi air yang jatuh dari dedaunan terdengar. Melalui gawai yang layarnya sudah gak jernih lagi, aku berselancar di media sosial.
"Maen hape muluuuuu... mandi-mandi sana, sudah sore ini." Suara emak menggelegar dari arah belakang.
"Iya, Mak. Bentar lagi, ngabisin kopi dulu. Nanggung nih."
Namaku Arif Pradipta, anak bujang emak satu-satunya, tapi enggak pernah di manja, eh. Umurku sembilan belas tahun, baru juga lulus sekolah menengah kejuruan.
Kata Emak, aku tuh ganteng. Ya iyalah, anak sendiri juga. Kulit putih yang ku miliki turunan dari Emak, sementara pahatan wajah dan perawakan tinggi yang mencapai 165cm ini adalah hasil dari sumbangan Bapak ke Emak waktu mencetak ku dulu. Haishh.
Sejak kecil, aku hanya bisa melihat wajah Bapak melalui potret yang merekam pernikahan yang selalu Emak simpan dengan rapi. Iya, Bapak memang setampan itu.
Nampak semburat kebahagiaan yang tergambar dari wajah-wajah pada foto tersebut. Sayangnya kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Bapak meninggal dunia ketika aku masih berumur dua tahun.
Dari cerita tetangga yang sering ku dengar, sejak kepergian Bapak, kehidupan Emak jadi jungkir balik 180°. Wanita yang dulunya selalu di manja suami dan hanya menjadi ibu rumah tangga, tanpa tahu rasanya bekerja, jadi membanting tulang sendirian demi membesarkan anak lelaki yang di sayanginya.
Beberapa hari ini emak mengomeli ku karena gak sat set seperti yang di harapkan. Mungkin beliau mulai risih melihatku berseliweran di hadapannya pas jam-jam orang bekerja.
Aku bukannya suka jadi pengangguran, cuma lagi nyari kerja, tapi belum beruntung saja. Sekarang nyari kerjaan tuh kayak nyari jarum di tengah lautan-sulit. Apalagi yang cuma lulusan SMK macam aku.
Sebenarnya aku ingin sekali kuliah seperti teman-teman lainnya. Bahkan, tanpa sepengetahuan Emak, aku ikut daftar UTBK-SBMPTN dan masuk seleksi. Namun, aku harus merelakan kesempatan itu begitu saja, karena gak tega meminta uang Emak untuk daftar ulang.
Bukannya memberi lembaran kertas merah, tapi malah menangis karena merasa gak mampu mendukung cita-cita anak, pasti. Aku gak mau melihat Emak menangis lagi.
🌸🌸🌸🌸🌸
Sebuah mobil berwarna hitam memelankan lajunya dan berbelok ke halaman rumah kosong yang berada tepat di samping rumahku. Gak lama kemudian, seorang lelaki lebih dulu turun dan membukakan pintu mobil sebelah kiri.
la menengadahkan tangan, mempersilakan seorang perempuan turun layaknya pangeran ke putri mahkota. Romantis sekali. Mungkin mereka adalah sepasang pengantin baru.
Apa mereka orang yang telah membeli rumah itu ya? Pikirku. Ku dengar beberapa minggu yang lalu, rumah yang di tempeli plakat 'rumah dijual' itu telah laku.
Gak lama setelah itu, motor gede yang di kendarai seorang pemuda menyusul dan parkir di belakang mobil. Dia siapa lagi? Di lihat dari wajahnya ketika membuka helm, pemuda itu seumuran denganku. Bedanya dia lebih bening, keliatan banget kalo keturunan priyayi. Ihiirrr.
Sepasang suami istri melihat-lihat keindahan rumah dari depan, dengan lengan suami yang merangkul istrinya. Senyum terus terukir di kedua bibir itu. Seolah seluruh kebahagiaan yang ada di bumi sore ini adalah milik mereka berdua.
Ya iyalah bahagia, pasangan mana yang enggak bahagia kalau bisa membeli rumah sendiri. Apalagi rumah itu adalah rumah terbagus yang ada di kampung ini. Rumah berpagar besi dengan segala kemewahan yang ada di dalamnya.
Aku terhenyak ketika tatapan mereka tiba-tiba terarah padaku.
"Mas ...," sapa si lelaki ramah.
Sementara si perempuan menganggukkan wajahnya sambil tersenyum semanis gulali. Jarak halaman rumahnya memang sangat dekat dengan teras warung kelontong emak.
Tembok yang menjadi tanda pembatas antara tanah mereka dan tanah Emak hanya setinggi perut orang dewasa, selebihnya adalah ukiran besi orang dewasa yang menjulang ke atas.
Jadi, kami bisa saling melihat aktifitas masing-masing. Ups, jangan-jangan mereka tahu kalau sejak tadi aku perhatikan. Duh, malunyaa...
"Hhee, enggih. Monggo ...," balasku dengan nyengir kuda.
Ku angkat cangkir kopi yang tertinggal ampas dan melipir ke belakang. Kabuuurr ...
Hari-hari berlalu, hubungan keluarga kami dengan tetangga baru itu terjalin dengan sangat baik. Gak jarang Emak memasak lauk berlebih hanya untuk memberikannya sebagian pada Mbak Rifani-nama tetangga baru tersebut-Rifani Oktavia lebih lengkapnya.
Begitu pun dengan keluarga mereka. Bahkan Mas Ardi Winata yang biasa di panggil Mas Nata, memercayakan istrinya pada keluarga kami.
Mas Nata bekerja di sebuah perusahaan ternama. Terkadang, ia di tugaskan ke luar kota hingga beberapa hari. Emak lah yang sering menjenguk Mbak Rifani ke rumahnya, takut kalau Mbak cantik itu membutuhkan sesuatu dan gak bisa mengerjakannya sendiri.
Entah alasan apa yang membuat keluarga mereka gak memperkerjakan asisten rumah tangga. Padahal, uangnya melimpah ruah, hingga tumpah-tumpah, mungkin. hehe. Cukup lah jika hanya untuk menggaji seorang pekerja.
Rumah sebesar itu, Mbak Rifani kerjakan sendiri. Mulai dari menyapu hingga mengepel. Kalau soal makanan, sepertinya ia lebih suka beli jadi, tinggal lahap, hap nyam nyam nyam. Duh, jadi laper.
Seorang pemuda yang tinggal bersama pasangan suami istri itu, ternyata adalah adik kandung Mbak Rifani. Namanya Angga. Anak kuliahan semester satu yang jarang berada di rumah.
Pulang-pulang udah malam, tinggal tidur doang. Kadang sehabis pulang juga masih nongkrong di teras warung kelontong Emak yang kalau malam.