Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 DUNIA YANG KONTRAS
Langit telah menghitam, padahal siangnya begitu cerah. Lift berbunyi lembut saat pintunya terbuka. Seorang pria berjas rapi melangkah keluar, diikuti dua orang di belakangnya. Siapa pun yang berpapasan dengannya segera menunduk hormat, tak satu pun berani menatap langsung ke matanya.
Ia melangkah keluar dari gedung tinggi di pusat kota. Langkahnya mantap, tatapannya lurus, dan wajahnya tenang. Kacamata berframe tipis menambah kesan dingin namun intelektual pada wajahnya.
Seseorang sudah berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. Pria itu masuk tanpa bicara, dan mobil langsung melaju menembus hiruk pikuk jalanan ibu kota. Dua mobil lain mengikut dari belakang dalam formasi teratur.
Di dalam mobil yang sunyi, pria itu membuka kancing jas dan menyandarkan tubuh ke kursi kulit yang empuk. Matanya mengarah ke luar jendela, meski pikirannya jelas melayang entah ke mana. Sebuah suara terdengar dari kursi depan.
"Pertemuan diundur lusa, Tuan."
Viren hanya mengangguk pelan. Ia tak bicara, tapi pengemudi sudah terbiasa dengan bahasa diamnya. Ia tahu, jika tidak ada perintah tambahan, berarti cukup diam dan lanjutkan.
Refleksi dirinya tampak di kaca jendela. Bagi dunia, dia adalah CEO Kairotek Company—perusahaan teknologi yang telah menembus batas inovasi dalam lima tahun terakhir. Namun hanya segelintir orang yang tahu siapa dia sebenarnya: pemimpin Cinderline, jaringan bawah tanah yang lebih tua dari dirinya sendiri. Warisan ayahnya—Donny Antonio.
Donny adalah penguasa dunia bawah. Kekuasaan dibangun di atas darah dan teror. Tapi Viren berbeda. Ia percaya bahwa dominasi sejati harus lahir dari kendali dan logika. Bukan peluru.
Sejak usia lima belas, ia mulai tertarik pada komputer dan mulai menekuni hobinya itu hingga ia berhasil membangun Kairotek. Bukan untuk kekayaan, melainkan sebagai cara menaklukkan dunia—tanpa senjata.
Namun segalanya berubah lima tahun lalu.
Viren masih mengingat hari itu. Ayahnya ditemukan tewas di sebuah rumah kosong di perbatasan Osaka. Tidak ada darah, tidak ada saksi. Hanya tubuh yang membeku dan sebuah surat wasiat.
Isi suratnya hanya satu kalimat: Sekarang dunia ini milikmu.
Ia tidak menangis. Tidak pada hari itu, tidak saat pemakaman. Tapi sejak saat itu, ia tahu satu hal: Cinderline tak bisa dibiarkan jatuh ke tangan orang lain. Bukan untuk melanjutkan teror, tapi untuk mengendalikannya.
Diam-diam.
"Sebentar lagi kita sampai," ucap pria di kursi depan. Namanya Jake. Salah satu dari tiga orang yang selalu ada di sisi Viren sejak awal. Mereka bukan sekadar pengawal. Mereka adalah mata, telinga, dan tangan kanannya.
Viren mengangguk pelan. Ia membuka tablet kecil dari tas kerjanya. Di layar, tampak blueprint sistem keamanan digital yang belum rampung. Sistem itu, jika berhasil, akan memungkinkan pemindahan identitas dan aset secara global tanpa terdeteksi. Namun untuk menyempurnakannya, ia membutuhkan satu hal:
Teknologi yang hanya bisa dibuat oleh satu nama: Leo.
Pria itu adalah legenda. Dulu ia dijuluki arsitek dunia gelap—pionir enkripsi yang bahkan ditakuti oleh Donny Antonio sendiri. Tapi sekarang, Leo lenyap. Tak ada jejak, tak ada transaksi, seolah ia benar-benar menghilang dari dunia.
Mobil berhenti di sebuah jalan sempit. Deretan bangunan tua berdiri rapat, seolah saling menopang satu sama lain. Di ujung jalan, ada sebuah toko mungil dengan jendela besar dan aroma manis yang menyambut dari dalam. Sebuah Kafe kecil dengan tulisan Ollano di atasnya.
Viren turun dari mobil. Jasnya tetap rapi. Langkahnya tenang. Jake mengikutinya dari belakang, menjaga dari kejauhan.
Pintu toko terbuka dengan dentingan lonceng kecil. Di balik meja kasir berdiri seorang wanita muda. Usianya sekitar dua puluhan. Rambutnya di kuncir asal-asalan, wajahnya polos tanpa riasan, dan apron bergambar stroberi tergantung di lehernya.
"Selamat sore," sapanya riang.
Viren diam. Tatapannya mengamati dari ujung kepala hingga kaki.
Dan gadis itu… tidak tahu siapa pria yang berdiri di hadapannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Zia, sambil menyipitkan mata sedikit. Seakan menyadari bahwa pria ini bukan pelanggan biasa.
"Satu red velvet dan cappuccino," jawab Viren tenang. "Untuk dibawa pulang."
Zia mengangguk dan langsung menyiapkan pesanan. Tangannya cekatan. Aroma kue dan kopi menyebar perlahan dari balik etalase kaca. Viren tetap memerhatikan. Diam, mengamati tiap gerak-geriknya.
Jake berdiri di dekat pintu. Tangannya di saku jas, siaga.
"Ini pesanannya," kata Zia sambil meletakkan kotak kue dan kopi. "Totalnya dua belas ribu."
Viren membayar tanpa banyak bicara. Saat mengambil pesanan, ia menatap Zia dalam-dalam. Satu detik. Dua detik.
Cukup lama untuk membuat Zia merasa ada yang aneh.
"Ada sesuatu di wajah saya?" tanyanya, setengah gugup.
Viren menggeleng. "Tidak. Saya hanya penasaran… apakah Anda pemilik tempat ini?"
Zia tersenyum. "Iya. Tapi saya juga tukang bersih-bersih, kasir, dan koki. Serabutan, lah."
"Menarik." Viren mengangguk. "Namamu?"
"Zia, Zia Donatella."
"Sampai jumpa, Nona Zia."
Zia menatap punggung pria itu yang melangkah pergi. Alisnya terangkat sedikit. Pria aneh, pikirnya. Tapi… berkelas.
Lonceng berdenting lagi saat pintu tertutup. Jake menyusul, membukakan pintu mobil untuk Viren, dan mereka pun pergi.
Zia menatap keluar jendela sebentar, lalu menghela napas. Entah kenapa, hari ini terasa sedikit berbeda.
Setelah pelanggan terakhir itu pergi, Zia menutup kafe lebih cepat dari biasanya. Ia membungkus beberapa kue sisa, melepas apron, dan mengunci pintu sebelum berjalan pulang sambil bersenandung kecil.
Rumahnya tak terlalu jauh. Begitu tiba, ia menemukan keluarganya sudah duduk di meja makan.
"Akhirnya kau pulang," ujar Agatha, si bibi cerewet.
"Kau lambat seperti biasa," timpal Alin, kakaknya, sambil menyendok sup.
"Duduklah," kata Alex —ayahnya singkat.
Zia duduk, tapi menyadari suasana sedikit tegang.
"Ini kenapa, ya?" tanyanya pelan.
Alex menghela napas. "Minggu depan, Kakakmu, Alin akan menikah."
"Benarkah?" Zia menoleh cepat. "Selamat ya, Kak!"
"Terima kasih," jawab Alin dengan senyum simpul.
Setelah makan malam, Zia mengejar Alin ke kamar.
"Pria itu… seperti yang selalu kau ceritakan padaku?"
Alin menaikkan alis. "Yang tampan, tinggi, dan… kaya?"
Zia tertawa. "Iya! Yang begitu!"
Alin hanya mengangguk. "Dia… sempurna."
Zia tersenyum. "Aku tidak sabar lihat kalian di altar."
"Kau seperti anak kecil." Gerutu Alin.
"Aku memang anak kecil, aku baru berusia dua puluh." Ucap Zia menggulung bibirnya.
"Berisik, kau sudah lebih tiga tahun dari dua puluh, Zia" Ucap Alin.
Zia hanya tertawa. "Apa yang bisa aku bantu? apakah aku harus membuat kue yang besar? atau aku harus memilih gaun yang sangat bagus untukmu?" Seru Zia tak sabar. "Katakan.."
"Kau cukup diam dan lakukan pekerjaanmu seperti biasa."
Zia menyimpan tangannya di pinggir alis, memberi hormat. "Siap."
...----------------...
Beberapa hari telah berlalu, lusa adalah hari pernikahan Alin. Zia sangat bersemangat dan berkata bahwa ia senang kepada Ami—pekerja di kafenya.
Bel berbunyi ketika pintu kafe terbuka. Langkah kaki terdengar mendekat ke etalase yang sudah penuh berbagai jenis kue.
"Satu lemon cake dan Americano," ucap seorang wanita.
"Baik, mohon ditunggu—" Zia menoleh dan terkejut ketika matanya menangkap sosok wanita yang telah lama tak ia temui.
"Diana...?" ucapnya lirih, sebelum menghampiri dan memeluk wanita itu erat.
"Kau benar-benar sibuk sampai tak sempat membalas pesanku," balas Diana sambil tersenyum.
"Aku bahkan lupa di mana ponselku terakhir kali," jawab Zia cengengesan. "Ami, tolong buatkan pesanannya, ya."
Zia menggiring Diana untuk duduk di pojok kafe. Penampilan Diana tak banyak berubah, hanya rambutnya kini memutih.
"Kau terlihat lebih tua dariku dengan warna rambut itu," ledek Zia.
"Cih. Salon itu gagal paham. Aku minta warna abu, tapi malah diberi ini," gerutu Diana.
Zia tertawa. "Kapan kau kembali?"
"Kemarin," jawab Diana. "Dan aku akan menetap di sini. Studiku sudah selesai."
"Benarkah?"
Diana mengangguk. Zia bersorak kecil dan bertepuk tangan senang. Setelah empat tahun berpisah, akhirnya mereka kembali berada di satu negara.
Tak lama kemudian, Ami datang membawa nampan berisi lemon cake dan kopi Diana. "Silakan."
"Kau tau, lusa kak Alin akan menikah." Ucap Zia.
"Benarkah? Wah.. itu kabar gembira." Jawab Diana.
Zia mengangguk. Namun senyuman nya kembali sirna. "Sayangnya acara itu hanya dihadiri keluarga inti." Keluh Zia.
"Tidak apa, aku bisa memberikannya selamat melaluimu."
Diana mengangguk sambil tersenyum. Zia berpamitan sejenak karena pengunjung pagi itu mulai berdatangan.
.
.
.
.
.
Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua Dunia 🥰