NovelToon NovelToon
The Runway Home

The Runway Home

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Yayalifeupdate

Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bisik-bisik Dibalik Manekin

Butik Xanara siang itu seperti panggung mode mini, penuh tawa, suara sepatu hak mengetuk lantai dan aroma parfum bercampur kopi yang dibawa oleh pelanggan.

Tapi ditengah semua itu, ada satu hal yang membuat suasana sedikit berbeda, bisik-bisik gosip yang menyebar seperti api kecil yang menyambar kain kering.

“Aku dengar Harvey Adinata sering datang kesini”

“Masa sih? Dia kan calon pengantin orang

“Iya, tapi kalau sering-sering datang, bukan untuk tunangannya, artinya ada yang lain kan?”

Bisikan itu disertai tatapan-tatapan iseng dari dua pelanggan yang pura-pura melihat-lihat kain di rak dekat pintu.

Lucy sedang berada di luar negeri, jadi tidak ada yang bisa memotong gosip itu secara frontal.

Xanara memilih untuk pura-pura tidak mendengar, meskipun telinganya menangkap jelas setiap kata.

Dan seolah semesta sedang menguji kesabarannya, pintu butik terbuka begitu saja dan disana Harvey berdiri, diambang pintu butik milik Xanara.

Rapi, gagah, wangi dan entah kenapa tatapannya langsung mengunci Xanara di balik meja desain.

“Pagi Xanara” Suaranya tegas, tapi nada yang terlalu akrab untuk sekedar urusan bisnis.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” Xanara menelan ludah, berusaha tetap profesional.

“Aku ingin melihat desain jas lagi” Jawabnya, dan langkahnya sudah mendekat tanpa memberi ruang untuk mengatur jarak.

“Dan mungkin kitab isa bicarakan soal detail yang kemarin?” Tanya Harvey.

Tatapan mata mereka bertemu terlalu lama untuk disebut kebetulan. Disudut ruangan, dua pelanggan yang tadi bergosip pura-pura sibuk memberiksa kain, tapi telinga mereka jelas ikut menguping.

Harvey bersandar sedikit di meja, tubuhnya cukup dekat hingga Xanara bisa mencium aroma maskulinnya.

“Kalau kamu punya ide baru untuk ja situ, aku mau lihat sekarang” Ucap Harvey dengan nada dalam, nyaris seperti perintah.

Xanara memalingkan wajah, setengah untuk menghindar, setengah untuk menenangkan degup jantungnya.

“Desainnya belum selesai” jawab Xanara pelan.

Bisikan-bisikan kecil di sudut ruangan semakin ramai, tapi Xanara sudah tidak peduli. Satu-satunya suara yang ia rasakan hanyalah detak jantungnya sendiri, dan kehadiran Harvey yang begitu dekat, seolah yanpa niat untuk pergi.

“Kalau begitu, aku tunggu” Ucapnya.

Harver benar-benar menepati ucapannya untuk menunggu, ia duduk di kursi di seberang meja desain Xanara, tapi tubuhnya condong ke depan, matanya mengikuti setiap Gerakan tangan Xanara yang sedang menggambar.

“Kamu selalu menggambar dengan alis sedikit berkerut” Ucapnya pelan, nadanya nyaris seperti gumaman pribadi.

“Itu membuatmu terlihat fokus, dan entah kenapa menarik” lanjut Harvey.

“Saya hanya melakukan pekerjaan saya” Xanara coba mengabaikan.

“Pekerjaanmu kebetulan membuatku betah disini” balas Harvey tanpa ragu.

Saat Xanara memindahkan pensil dari satu sisi kertas ke sisi lain, Harvey tiba-tiba bergerak. Tangannya menyentuh pungguh tangan Xanara, hangat, mantap, dan terlalu lama untuk sekedar sentuhan biasa. Xanara terhenti, menatapnya dengan mata sedikit melebar.

“Boleh?” Tanyanya, meraih pensil itu seolah ingin ikut menggambar. Tapi jarinya tetap berada diatas jemari Xanara, menahan mereka ditempat.

“Pak Harvey, ini-“ xanara menelan ludah, mencoba menguasai diri.

“Harbey” potongnya lembut tapi tegas.

“Panggil aku Harvey, dan biarkan aku lebih dekat”

Harvey berdiri, lalu melangkah ke sisi Xanara. Dari posisi itu, tubuhnya nyaris menutupi punggung Xanara. Bahunya menyentuh bahu Xanara, dan ketika ia membungkuk untuk melihat sketsa, napas hangatnya menyapu kulit di sisi leher Xanara, yang membuatnya merinding.

“Kamu membuatkan jas untukku, tanpa aku minta” bisik Harvey. Suaranya begitu rendah hingga hanya mereka yang bisa mendengarnya.

“Aku menghargainya, tapi jangan heran kalau aku akan datang lagi hanya untuk melihat kamu”

Jari-jari Harvey mulai bergerak pelan diatas punggung tangan Xanara, meninggalkan sensasi yang bertahan, bahkan setelah ia melepaskannya. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini Xanara tidak langsung memalingkan wajah.

Disudut butik, gosip semakin berbisik. Tapi di meja desain itu, dunia seolah menyempit, menyisakan hanya dua orang, satu meja dan sketsa yang kini menjadi alasan paling tipis untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih intens.

.

.

Sejak hari itu di butik, hubungan mereka mulai bergerak dengan ritme yang hanya mereka pahami. Bukan lagi sekedar klien dan desainer, ada sesuatu diantara pesan singkat dan panggilan telepon larut malam yang perlahan mengaburkan batas.

“Sudah makan?” – Harvey

“Sudah” – Xanara

“Jangan bohong. Aku tahu kalau kamu sinuk, kamu sering lupa” – Harvey

Xanara tersenyum kecil menatap layar ponselnya.

“Baik, saya akan makan. Puas?” – Xanara

“Baru puas kalau aku bisa lihat kamu makan secara langsung” – Harvey

Hari berganti, dan intensitas pesan itu semakin meningkat. Panggilan telepon yang awalnya singkat, kini bisa memakan waktu hingga setengah jam. Membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak penting, tapi terasa penting bagi mereka berdua.

Dan malam ini, saat Xanara sedang di meja kerja. Dia mendengar ponselnya berdering, nama Harvey muncul pada layar ponselnya.

“Kenapa belum tidur?’ – Harvey

Suaranya begitu berat, terdengar seperti sedang berbaring.

“Aku masih menggambar” – Xanara

“Hmm, aku bisa mendengar suaramu sambil menutup mata, seperti kamu sedang disini” – Harvey

“Kamu sedang merayu?” – Xanara

“Kalau iya, apa kamu akan merah?” – Harvey

“Tidak, tapi itu akan membuatku berhenti bekerja” – Xanara

“Kalau begitu, biarkan aku menemani kamu sampai kamu selesai” – Harvey

Lalu mereka berbicara lagi, tentang music yang diputar oleh Xanara malam itu, tentang kopi favoritnya, bahkan tentang kenangan masa kecil Harvey yang tak pernah ia ceritakan kepada orang lain.

Beberapa kali, ada jeda hening yang justru terasa nyaman. Di sela itu, Xanara bisa mendengar napas Harvey. Tenang, tapia da sesuatu di nada suaranya setiap kali ia memanggil nama Xanara. Seolah ada pesan tak terucap yang menunggu waktu untuk keluar.

“Selamat tidur Xanara, mimpi yang indah” - Harvey

“Selamat tidur” – Xanara

“Semoga mimpimu tentang aku” – Harvey

Keesokan paginya, Xanara masih merasakan sisa senyum dari percakapan semalam. Tangannya lincah memegang pensil, tapi pikirannya melayang pada suara berat Harvey yang sempat mengucap ‘Selamat tidur’ dengan nada yang entah kenapa, terdengar terlalu pribadi untuk seorang klien.

Sampai bunyi suara pintu dibuka terdengar pada telinga Xanara yang ia pikir itu adalah stafnya. Tapi begitu ia menoleh, Harvey sudah berdiri diambang pintu dengan menggunakan kemeja biru tua yang membuat matanya semakin tajam.

“Kamu?” Ucap Xanara terpotong.

“Bukannya kamu ada meeting pagi ini?” lanjut Xanara bertanya kepada Harvey.

“Ada” jawab Harvey dengan santai sambil melangkah masuk.

“Tapi aku ingin lewat sini dulu”

“Lewat sini?” Tanya Xanara

“Iya. Lihat kamu langsung jauh lebih baik dari pada lewat telepon” ucap Harvey tanpa ragu, matanya mengunci pandangan Xanara.

Xanara mencoba tersenyum biasa saja, tapi jantungnya justru berdebar lebih kencang. Ia berusaha mengalihkan dengan menunjukan kain-kain di meja.

“Aku lagi cek stok kain, kalau kamu butuh sesuatu..”

“Aku butuh” potong Harvey cepat.

“Apa?” Tanya Xanara

“Waktu kamu, lima menit saja”

Lima menit itu ternyata menjadi setengah jam. Mereka duduk di sofa yang berada di balik butik, dekat dengan ruang fiiting. Obrolan mereka mengalir tanpa jeda, sesekali tatapan Harvey jatuh pada tangan Xanara yang bergerak ketika bercerita atau pada sudut bibirnya yang melengkung saat tersenyum.

Ditengah percakapan, Harvey tiba-tiba mencondongkankan tubuh, jaraknya begitu dekat hingga Xanara bisa mencium aroma aftershavenya.

“Kamu selalu seperti ini kalau sedang fokus?” Tanya Harvey.

“Seperti ini bagaimana?”

“Bibir kamu sedikit menggigit, dan itu mengganggu konsentrasi orang yang melihatnya”

Xanara tersedak kecil dan buru-buru menetralkan dirinya.

“Kamu terlalu memperhatikan”

“Mungkin” jawab Harvey dengan nada rendah.

“Tapi hanya kepada orang yang layak diperhatikan”

Mereka saling menatap lama, sampai akhirnya Harvey menyandarkan punggung dan tersenyum samar.

“Baiklah, aku harus pergi sekarang tapi mala mini jangan tidur terlalu cepat”

“Kenapa?”

“Aku mau telepon kamu lagi” Ucap Harvey dengan santai.

Harvey meninggalkan butik, tapi kehadirannya masih terasa di udara. Bahkan setelah ia pergi, Xanara tetap tidak bisa memusatkan pikirannya pada pekerjaan. Setiap kali ia mencoba menggambar, yang muncul di benaknya hanya tatapan Harvey, tatapan yang membuatnya bingung antara ingin menjauh atau justru ingin semakin dekat.

Ting! Ponsel Xanara berdering

“Aku sudah rindu” – Harvey

“Kita baru bertemu” – Xanara

“Justru itu masalahnya” – Harvey

Xanara menatap lama pada layar ponselnya, sebelum mengetik balasan. Tapi sebelum ia kirim, ponselnya kembali berdering, ada panggilan masuk dari Harvey.

“Nanti malam, akan aku buat kamu lupa kalau kita cuma bicara lewat telepon” – Harvey

Dan entah kenapa, Xanara tidak berani menanyakan maksud dari Harvey tersebut.

The Runway Home

Chapter 12 – Bisik-Bisik Dibalik Manekin

Butik Xanara siang itu seperti panggung mode mini, penuh tawa, suara sepatu hak mengetuk lantai dan aroma parfum bercampur kopi yang dibawa oleh pelanggan.

Tapi ditengah semua itu, ada satu hal yang membuat suasana sedikit berbeda, bisik-bisik gosip yang menyebar seperti api kecil yang menyambar kain kering.

“Aku dengar Harvey Adinata sering datang kesini”

“Masa sih? Dia kan calon pengantin orang

“Iya, tapi kalau sering-sering datang, bukan untuk tunangannya, artinya ada yang lain kan?”

Bisikan itu disertai tatapan-tatapan iseng dari dua pelanggan yang pura-pura melihat-lihat kain di rak dekat pintu.

Lucy sedang berada di luar negeri, jadi tidak ada yang bisa memotong gosip itu secara frontal.

Xanara memilih untuk pura-pura tidak mendengar, meskipun telinganya menangkap jelas setiap kata.

Dan seolah semesta sedang menguji kesabarannya, pintu butik terbuka begitu saja dan disana Harvey berdiri, diambang pintu butik milik Xanara.

Rapi, gagah, wangi dan entah kenapa tatapannya langsung mengunci Xanara di balik meja desain.

“Pagi Xanara” Suaranya tegas, tapi nada yang terlalu akrab untuk sekedar urusan bisnis.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” Xanara menelan ludah, berusaha tetap profesional.

“Aku ingin melihat desain jas lagi” Jawabnya, dan langkahnya sudah mendekat tanpa memberi ruang untuk mengatur jarak.

“Dan mungkin kitab isa bicarakan soal detail yang kemarin?” Tanya Harvey.

Tatapan mata mereka bertemu terlalu lama untuk disebut kebetulan. Disudut ruangan, dua pelanggan yang tadi bergosip pura-pura sibuk memberiksa kain, tapi telinga mereka jelas ikut menguping.

Harvey bersandar sedikit di meja, tubuhnya cukup dekat hingga Xanara bisa mencium aroma maskulinnya.

“Kalau kamu punya ide baru untuk ja situ, aku mau lihat sekarang” Ucap Harvey dengan nada dalam, nyaris seperti perintah.

Xanara memalingkan wajah, setengah untuk menghindar, setengah untuk menenangkan degup jantungnya.

“Desainnya belum selesai” jawab Xanara pelan.

Bisikan-bisikan kecil di sudut ruangan semakin ramai, tapi Xanara sudah tidak peduli. Satu-satunya suara yang ia rasakan hanyalah detak jantungnya sendiri, dan kehadiran Harvey yang begitu dekat, seolah yanpa niat untuk pergi.

“Kalau begitu, aku tunggu” Ucapnya.

Harver benar-benar menepati ucapannya untuk menunggu, ia duduk di kursi di seberang meja desain Xanara, tapi tubuhnya condong ke depan, matanya mengikuti setiap Gerakan tangan Xanara yang sedang menggambar.

“Kamu selalu menggambar dengan alis sedikit berkerut” Ucapnya pelan, nadanya nyaris seperti gumaman pribadi.

“Itu membuatmu terlihat fokus, dan entah kenapa menarik” lanjut Harvey.

“Saya hanya melakukan pekerjaan saya” Xanara coba mengabaikan.

“Pekerjaanmu kebetulan membuatku betah disini” balas Harvey tanpa ragu.

Saat Xanara memindahkan pensil dari satu sisi kertas ke sisi lain, Harvey tiba-tiba bergerak. Tangannya menyentuh pungguh tangan Xanara, hangat, mantap, dan terlalu lama untuk sekedar sentuhan biasa. Xanara terhenti, menatapnya dengan mata sedikit melebar.

“Boleh?” Tanyanya, meraih pensil itu seolah ingin ikut menggambar. Tapi jarinya tetap berada diatas jemari Xanara, menahan mereka ditempat.

“Pak Harvey, ini-“ xanara menelan ludah, mencoba menguasai diri.

“Harbey” potongnya lembut tapi tegas.

“Panggil aku Harvey, dan biarkan aku lebih dekat”

Harvey berdiri, lalu melangkah ke sisi Xanara. Dari posisi itu, tubuhnya nyaris menutupi punggung Xanara. Bahunya menyentuh bahu Xanara, dan ketika ia membungkuk untuk melihat sketsa, napas hangatnya menyapu kulit di sisi leher Xanara, yang membuatnya merinding.

“Kamu membuatkan jas untukku, tanpa aku minta” bisik Harvey. Suaranya begitu rendah hingga hanya mereka yang bisa mendengarnya.

“Aku menghargainya, tapi jangan heran kalau aku akan datang lagi hanya untuk melihat kamu”

Jari-jari Harvey mulai bergerak pelan diatas punggung tangan Xanara, meninggalkan sensasi yang bertahan, bahkan setelah ia melepaskannya. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini Xanara tidak langsung memalingkan wajah.

Disudut butik, gosip semakin berbisik. Tapi di meja desain itu, dunia seolah menyempit, menyisakan hanya dua orang, satu meja dan sketsa yang kini menjadi alasan paling tipis untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih intens.

.

.

Sejak hari itu di butik, hubungan mereka mulai bergerak dengan ritme yang hanya mereka pahami. Bukan lagi sekedar klien dan desainer, ada sesuatu diantara pesan singkat dan panggilan telepon larut malam yang perlahan mengaburkan batas.

“Sudah makan?” – Harvey

“Sudah” – Xanara

“Jangan bohong. Aku tahu kalau kamu sinuk, kamu sering lupa” – Harvey

Xanara tersenyum kecil menatap layar ponselnya.

“Baik, saya akan makan. Puas?” – Xanara

“Baru puas kalau aku bisa lihat kamu makan secara langsung” – Harvey

Hari berganti, dan intensitas pesan itu semakin meningkat. Panggilan telepon yang awalnya singkat, kini bisa memakan waktu hingga setengah jam. Membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak penting, tapi terasa penting bagi mereka berdua.

Dan malam ini, saat Xanara sedang di meja kerja. Dia mendengar ponselnya berdering, nama Harvey muncul pada layar ponselnya.

“Kenapa belum tidur?’ – Harvey

Suaranya begitu berat, terdengar seperti sedang berbaring.

“Aku masih menggambar” – Xanara

“Hmm, aku bisa mendengar suaramu sambil menutup mata, seperti kamu sedang disini” – Harvey

“Kamu sedang merayu?” – Xanara

“Kalau iya, apa kamu akan merah?” – Harvey

“Tidak, tapi itu akan membuatku berhenti bekerja” – Xanara

“Kalau begitu, biarkan aku menemani kamu sampai kamu selesai” – Harvey

Lalu mereka berbicara lagi, tentang music yang diputar oleh Xanara malam itu, tentang kopi favoritnya, bahkan tentang kenangan masa kecil Harvey yang tak pernah ia ceritakan kepada orang lain.

Beberapa kali, ada jeda hening yang justru terasa nyaman. Di sela itu, Xanara bisa mendengar napas Harvey. Tenang, tapia da sesuatu di nada suaranya setiap kali ia memanggil nama Xanara. Seolah ada pesan tak terucap yang menunggu waktu untuk keluar.

“Selamat tidur Xanara, mimpi yang indah” - Harvey

“Selamat tidur” – Xanara

“Semoga mimpimu tentang aku” – Harvey

Keesokan paginya, Xanara masih merasakan sisa senyum dari percakapan semalam. Tangannya lincah memegang pensil, tapi pikirannya melayang pada suara berat Harvey yang sempat mengucap ‘Selamat tidur’ dengan nada yang entah kenapa, terdengar terlalu pribadi untuk seorang klien.

Sampai bunyi suara pintu dibuka terdengar pada telinga Xanara yang ia pikir itu adalah stafnya. Tapi begitu ia menoleh, Harvey sudah berdiri diambang pintu dengan menggunakan kemeja biru tua yang membuat matanya semakin tajam.

“Kamu?” Ucap Xanara terpotong.

“Bukannya kamu ada meeting pagi ini?” lanjut Xanara bertanya kepada Harvey.

“Ada” jawab Harvey dengan santai sambil melangkah masuk.

“Tapi aku ingin lewat sini dulu”

“Lewat sini?” Tanya Xanara

“Iya. Lihat kamu langsung jauh lebih baik dari pada lewat telepon” ucap Harvey tanpa ragu, matanya mengunci pandangan Xanara.

Xanara mencoba tersenyum biasa saja, tapi jantungnya justru berdebar lebih kencang. Ia berusaha mengalihkan dengan menunjukan kain-kain di meja.

“Aku lagi cek stok kain, kalau kamu butuh sesuatu..”

“Aku butuh” potong Harvey cepat.

“Apa?” Tanya Xanara

“Waktu kamu, lima menit saja”

Lima menit itu ternyata menjadi setengah jam. Mereka duduk di sofa yang berada di balik butik, dekat dengan ruang fiiting. Obrolan mereka mengalir tanpa jeda, sesekali tatapan Harvey jatuh pada tangan Xanara yang bergerak ketika bercerita atau pada sudut bibirnya yang melengkung saat tersenyum.

Ditengah percakapan, Harvey tiba-tiba mencondongkankan tubuh, jaraknya begitu dekat hingga Xanara bisa mencium aroma aftershavenya.

“Kamu selalu seperti ini kalau sedang fokus?” Tanya Harvey.

“Seperti ini bagaimana?”

“Bibir kamu sedikit menggigit, dan itu mengganggu konsentrasi orang yang melihatnya”

Xanara tersedak kecil dan buru-buru menetralkan dirinya.

“Kamu terlalu memperhatikan”

“Mungkin” jawab Harvey dengan nada rendah.

“Tapi hanya kepada orang yang layak diperhatikan”

Mereka saling menatap lama, sampai akhirnya Harvey menyandarkan punggung dan tersenyum samar.

“Baiklah, aku harus pergi sekarang tapi mala mini jangan tidur terlalu cepat”

“Kenapa?”

“Aku mau telepon kamu lagi” Ucap Harvey dengan santai.

Harvey meninggalkan butik, tapi kehadirannya masih terasa di udara. Bahkan setelah ia pergi, Xanara tetap tidak bisa memusatkan pikirannya pada pekerjaan. Setiap kali ia mencoba menggambar, yang muncul di benaknya hanya tatapan Harvey, tatapan yang membuatnya bingung antara ingin menjauh atau justru ingin semakin dekat.

Ting! Ponsel Xanara berdering

“Aku sudah rindu” – Harvey

“Kita baru bertemu” – Xanara

“Justru itu masalahnya” – Harvey

Xanara menatap lama pada layar ponselnya, sebelum mengetik balasan. Tapi sebelum ia kirim, ponselnya kembali berdering, ada panggilan masuk dari Harvey.

“Nanti malam, akan aku buat kamu lupa kalau kita cuma bicara lewat telepon” – Harvey

Dan entah kenapa, Xanara tidak berani menanyakan maksud dari Harvey tersebut.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!