Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Nasehat Pak Broto Surat cerai dari Nurmala
.
"Selamat datang di dunia yang baru, anak muda.” Suara Pak Broto kembali terngiang di telinga Arhan. Padahal dia baru saja mau memejamkan mata, namun, kata-kata itu mengusik ketenangannya.
Pertarungan singkat dengan Bang Tagor tadi siang. Itu memang memberinya kepuasan sesaat, semacam pelampiasan atas segala amarah yang menumpuk. Namun, kejadian itu membuatnya menyadari, dunia baru yang dia hadapi saat ini, adalah dunia yang kejam, penuh intrik, menuntut kekuatan, bukan hanya fisik, tapi juga mental.
“Selamat datang di dunia baru." Kata-kata itu jelas bukan tawaran basa-basi. Ada suatu makna dan pesan khusus dalam tatapan pria tua itu. Kebijaksanaan dan pengalaman hidup yang jauh melampaui tembok penjara ini.
.
Beberapa hari berikutnya, Arhan mulai lebih sering menghabiskan waktu di dekat Pak Broto. Mereka sering duduk bersama di sudut yang relatif sepi saat jam bebas, atau berbagi makanan seadanya. Arhan mendengarkan, sementara Pak Broto sesekali melontarkan pandangan atau nasihat yang tajam. Pria tua itu tak banyak bicara, namun setiap katanya berbobot. Arhan mulai menyadari bahwa Pak Broto adalah sosok yang sangat dihormati, bahkan oleh para narapidana paling sangar sekalipun. Ada aura wibawa yang tak bisa disembunyikan, meskipun kini ia hanya mengenakan seragam penjara yang sama dengan yang lain.
"Kau punya tekad yang kuat, Arhan," ujar Pak Broto suatu sore, sambil menatap jauh ke dinding sel yang kusam. "Itu modal yang berharga di tempat seperti ini, bahkan di luar sana."
Arhan menghela napas. "Tapi tekad saja tidak cukup, Pak. Saya di sini, tidak punya apa-apa. Bagaimana saya bisa melawan mereka yang sudah merenggut segalanya dari saya?"
Pak Broto menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Siapa bilang kau tidak punya apa-apa? Kau punya akal, kau punya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar. Dan yang terpenting, kau punya waktu."
"Waktu?" Arhan tersenyum getir. "Waktu di penjara hanya terasa seperti kutukan, Pak."
"Bagi sebagian orang, mungkin begitu," balas Pak Broto. "Tapi bagi orang yang cerdas, waktu adalah investasi. Di sini, kau bisa belajar banyak hal yang tidak akan kau dapatkan di luar. Kau bisa mengamati, merencanakan, dan mengasah dirimu."
"Belajar apa, Pak? Belajar jadi penjahat?" Arhan bertanya sambil terkekeh setengah bercanda.
"Bukan menjadi penjahat," jawab Pak Broto tenang. Menghadapi Arhan adalah sesuatu yang biasa baginya. Arhan hanya seorang jiwa muda yang sedang bergolak. "Tapi belajar memahami bagaimana dunia bekerja, bagaimana orang-orang berpikir, dan bagaimana kekuasaan itu bergeser.”
“Aku dulu seorang pengusaha, Arhan. Aku membangun kerajaan bisnis dari nol. Aku tahu bagaimana rasanya dikhianati, bagaimana rasanya jatuh, dan bagaimana rasanya bangkit lagi.” Nada suaranya sedikit berubah, ada jejak kepedihan yang tak terucap.
“Masalah kecil yang baru saja kamu hadapi, bahkan tak ada seujung kuku dari apa yang pernah aku hadapi. Hanya sebuah perselingkuhan, kalau keluar dari sini kemudian sukses, akan banyak wanita yang lebih baik dari mantan istrimu akan berjajar mengantri,” lanjutnya.
Arhan merasa tertohok oleh kata-kata Pak Broto. Ia menatap pria tua itu dengan rasa ingin tahu yang besar. "Anda dituduh korupsi, kan, Pak?"
"Begitulah kata mereka," Pak Broto mengangguk. "Sebuah intrik yang rapi, melibatkan banyak pihak. Aku terlalu percaya pada orang-orang dekatku, sama sepertimu. Tapi bedanya, aku sudah terlalu tua untuk memulai dari awal lagi secara fisik. Sementara kau masih muda.”
"Jadi, apa yang harus saya lakukan, Pak?" Arhan bertanya, kini dengan nada yang lebih serius. "Saya ingin membalas mereka, tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana."
"Balas dendam itu seperti catur, Arhan," kata Pak Broto, pandangannya kembali ke dinding. "Bukan tentang kekuatan fisik, tapi tentang strategi. Setiap langkah harus diperhitungkan.”
Arhan mengangguk dan menyimak setiap kata tanpa menyela.
“Pertama, kau harus mengendalikan emosimu. Kemarahan bisa menjadi bahan bakar, tapi juga bisa membakar dirimu sendiri. Seperti yang baru saja terjadi pada dirimu. Karena mengedepankan emosi kamu berakhir berada di penjara.”
Lagi-lagi Arhan hanya bisa mengangguk. Apa yang baru saja diucapkan Pak Broto benar. Kalau saat itu dirinya berpikir tenang, merekam perbuatan mereka saat di atas ranjang misalnya. Itu bisa menjadi bukti tentang perselingkuhan mereka berdua.
“Kedua, kau harus belajar,” lanjut Pak Broto. "Belajar tentang hukum, tentang keuangan, tentang bagaimana sistem ini bekerja. Penjara ini penuh dengan orang-orang yang tahu banyak hal, baik atau buruk. Dengarkan mereka, saring informasinya."
"Bagaimana saya bisa belajar hal-hal seperti itu di sini?" Arhan masih ragu.
"Ada buku di perpustakaan. Perpustakaan penjara mungkin tidak mewah, tapi ada banyak permata tersembunyi di sana. Dan juga, dari orang-orang di sekitarmu. Setiap orang punya cerita, punya keahlian. Jangan remehkan kekuatan informasi," jelas Pak Broto.
"Ingat!” Pak Broto menyentuh dada Arhan dengan jari telunjuknya. "Kau tidak sendirian. Ada banyak mata dan telinga yang bisa kau manfaatkan, jika kau tahu bagaimana caranya."
Arhan merenung. Kata-kata Pak Broto membuka perspektif baru baginya. Penjara ini bukan lagi sekadar tempat hukuman, melainkan sebuah sekolah yang keras. Dan Pak Broto bukan hanya teman sesama narapidana, melainkan seorang mentor, guru yang akan membimbingnya keluar dari kegelapan ini.
*
Seminggu kemudian, seorang petugas polisi mendatangi sel tempat Arhan dikurung. "Saudara, Arhan. Ada yang ingin bertemu denganmu,” ucapnya sambil membuka gembok
Arhan berdiri dan keluar dari ruangannya mengikuti petugas yang membawanya ke sebuah ruangan yang mana di sana telah duduk dua orang yang sangat ia benci.
Arhan duduk di depan keduanya tanpa sepatah kata. Hanya raut datar yang ia tunjukkan.
"Aku datang kemari untuk menyerahkan ini," ucap Nurmala. Wanita itu menyodorkan amplop coklat ke hadapan Arhan. "Tandatangani, agar urusan kita cepat selesai dan aku bisa segera menikah dengan Mas Fadil."
Tanpa berkata Arhan membuka mengambil amplop tersebut, lalu menandatanganinya. Enggan berada lebih lama dengan mereka, Arhan beranjak dari duduknya, ingin segera kembali ke sel.
Nurmala yang melihat itu merasa gusar. “Kamu menandatanganinya tanpa bertanya? Kamu benar-benar tidak keberatan kita bercerai?" Pertanyaan yang tanpa ia sadari membuat tangan Fadil terkepal. Apa maksud wanita ini?
Arhan yang baru saja melangkah, kembali membalikkan badan menatap datar ke arah Nurmala. "Apa yang membuatmu merasa bahwa aku akan mempertahankanmu? Salah. Pertanyaan yang salah. Biar aku ralat, apa yang membuatmu merasa pantas untuk dipertahankan?”
Mata Nurmala melotot tajam, tangannya terkepal dengan rahang mengeras. Bukankah Arhan sangat mencintainya, kenapa sikapnya menunjukkan sebaliknya.
Melihat hal itu, Fadil menggenggam tangan Nurmala. “Sayang, kamu keluar duluan, ya. Biarkan aku memberi pelajaran pada mulutnya yang kurang ajar itu,” ucapnya.
Karena merasa kesal dengan pertanyaan Arhan, Nurmala pun menuruti kata-kata Fadil.
"Apa kamu tahu? Sebenarnya aku dan Nurmala adalah sepasang kekasih sebelum Nurmala menikah denganmu," ucap Fadil.
Arhan terkejut mendengar itu, seketika tangannya terkepal erat. Namun ia lebih memilih diam. Seperti kata Pak Broto, ia harus bisa mengendalikan emosi.
"Aku sengaja menyuruh Nurmala menggodamu, dan sayangnya kamu begitu bodoh mudah tergoda olehnya. Hahahaha..." Fadil tergelak, mengejek Arhan.
Rahang Arhan mengeras, namun ia tetap diam. Tak ada kata terucap. Dia hanya mendengarkan tanpa berniat untuk menyahut atau menyanggah.
"Sekarang aku sangat senang melihatmu begitu patah hati dan hancur. Hahahaha..." Fadil kembali tergelak.
"Kau sudah selesai bicara?” Nada suara Arhan terdengar datar. Fadil pun seketika menghentikan tawanya. “Jika tak ada urusan lagi, aku ingin istirahat. Terima kasih sudah membantu membebaskanku dari keluarga benalu.” Setelah berkata demikian, Arhan membalikkan badannya dan melenggang pergi meninggalkan Fadil yang hanya diam tak mampu berkata.
“Hraaa…” Fadil berteriak kasar begitu punggung Arhan menghilang dari pandangan. Senyum kemenangan yang tadi menghiasi wajahnya lenyap, digantikan oleh rahangnya yang mengeras, dan mata melotot marah.
"Sialan! Dia sama sekali tidak terpancing," umpat Fadil, mengepalkan tangannya. Seharusnya Arhan menghajarnya, lalu dirinya akan membuat tuntutan baru untuk Arhan. Dengan kesal, Fadil berjalan meninggalkan tempat itu, menyusul Nurmala yang telah pergi lebih dulu.
*
*
*
Gusti mboten sare...
orang tua macam apa seperti itu...
membiarkan anaknya melakukan dosa...🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
bukan malah menyalahkan org lain..
wah..minta dipecat dg tidak hormat nih istri...