Menikah dulu... Cinta belakangan...
Apakah ini cinta? Atau hanya kebutuhan?
Rasa sakit dan kecewa yang Rea Ravena rasakan terhadap kekasihnya justru membuat ia memilih untuk menerima lamaran dari seorang pria buta yang memiliki usia jauh lebih tua darinya.
Kai Rylan. Pria buta yang menjadi target dari keserakahan Alec Maverick, pria yang menjadi kekasih Rea.
Kebenaran tanpa sengaja yang Rea dengar bahwa Kai adalah paman dari Alec, serta rencana yang Alec susun untuk Kai, membuat Rea menerima lamaran itu untuk membalik keadaan.
Disaat Rea menganggap pernikahan itu hanyalah sebuah kebutuhan hatinya untuk menyembuhkan luka, Kai justru mengikis luka itu dengan cinta yang Kai miliki, hingga rahasia di balik pernikahan itu terungkap.
Bisakah Rea mencintai Kai? Akankah pernikahan itu bertahan ketika rahasia itu terungkap? Apa yang akan terjadi jika Alec tidak melepaskan Rea begitu saja, dan ingin menarik Rea kembali?
Ikuti kisah mereka....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Paman atau Sayang?
"Karena kau hanya mencintaiku!"
Menggali lubang sendiri.
Satu kalimat itulah yang Jim sematkan untuk seorang Alec yang sudah dengan cerobohnya membuka kartunya sendiri di depan Kai juga dirinya. Walaupun ia sudah mengetahui rencana Alec secara keseluruhan yang akan merebut bisnis atasannya, termasuk menggunakan wanita yang kini berhasil membuat atasannya jatuh cinta, ia tetap diam, begitu pula dengan Kai yang tidak memberikan penyelaan apapun seolah mereka berdua sudah sepakat untuk melihat sampai sejauh mana skenario yang akan Alec mainkan di depan mereka.
"Hanya mencintaimu..." ulang Rea tersenyum kecut.
Kai mencengkram kuat tongkat penuntun di tangannya, berusaha untuk tidak menunjukkan apa yang tengah hatinya rasakan kala Rea melepaskan pelukannya, memupus harapan yang sempat muncul di hatinya bahwa Rea akan memilih dirinya saat wanita itu justru membawa langkahnya mendekat pada Alec. Berdiri tepat di depan pria itu.
"Kau berpikir aku bodoh karena aku membuka kartuku sendiri, itu yang kamu pikirkan saat ini. Bukankah begitu, Rea?" Alec tersenyum miring, menatap lekat wanitanya.
"Itu juga yang kalian berdua pikirkan, benar bukan?" sambung Alec beralih pandang pada Jim serta Kai secara bergantian yang masih tetap tidak memberikan tanggapan.
Seakan itu belumlah cukup, Alec menarik Rea mendekat, melingkarkan satu tangannya di pinggang wanitanya dengan senyum mengembang.
"Aku dan Rea saling mencintai," ujar Alec menatap dua pria di depannya.
"Dan keadaan yang sedang aku hadapi saat ini sudah aku prediksikan sebelumnya. Tentu kamu tidak lupa dengan itu kan, Sayang?"
Rea menyipitkan mata, menyadari sikap yang Alec tunjukkan hanya akan menjadi penegasan bahwa dirinya masih berpihak pada Alec sekaligus alasan yang akan membuat Kai tidak akan mempercayainya. Gerakan saat Rea akan mendorong Alec menjauh pun urung ia lakukan saat Alec melanjutkan kalimatnya.
"Perencanaan pernikahan sudah diatur," Alec berkata lagi.
"Apapun yang akan Paman lakukan setelah ini dengan tujuan membatalkan pernikahan hanya akan membuat Paman rugi dengan jumlah tidak sedikit,"
"Paman tentu tidak lupa, jika pernikahan ini batal, maka dua keluarga akan membenci Paman, dan Paman harus memberikan sebagian besar saham yang Paman miliki untuk Rea,"
Rea membeku, kedua matanya melebar sempurna. Apa yang baru saja Alec ucapkan jauh berbeda dengan rencana yang pernah Alec bahas dengannya. Pikiranya berusaha untuk menerka apa yang sebenarnya Alec rencanakan, tetapi semuanya terasa samar.
Hal yang tidak bisa ia mengerti adalah, mengapa Kai bisa kehilangan sebagian besar saham yang pria itu miliki jika pembatalan pernikahan terjadi? Mengapa? Atas dasar apa? Perjanjian seperti apa sebenarnya yang sudah disepakati pria itu bersama keluarganya? Dan mengapa Alec bisa mengetahui lebih banyak dari dirinya sendiri? Apakah kedua orang tuanya juga mengetahui apa yang Alec lakukan?
Begitu banyak pertanyaan masuk ke dalam pikiran Rea tanpa menemukan jawabannya, pandangan Rea nanar menatap wajah Alec yang kini memperlihatkan senyum kemenangan seolah pernyataannya hari ini bahwa mereka sepasang kekasih adalah bagian dari rencana yang sudah Alec susun.
"Aku berharap pernikahan Paman batal..."
'Plakk...!'
Kai tersentak kaget, begitu pula dengan Jim yang tidak pernah menyangka dengan apa yang baru saja ia lihat.
Suara tamparan keras itu bahkan terdengar sebelum Alec menyelesaikan kalimat yang sedang pria itu ucapkan, cukup untuk membuat Alec mengangkat satu tangannya untuk mengusap pipi yang baru saja mendapatkan tamparan dari wanitanya.
"Apa-apaan kau, Rea? Kenapa menamparku?" protes Alec.
Satu tangannya terkepal dengan tatapan nyalang seakan ingin memberikan satu pukulan pada wanita yang sudah berani menamparnya. Tetapi, akal sehatnya mengingatkan bahwa ia masih membutuhkan Rea untuk menjalankan rencananya. Rencana yang tidak ada seorangpun yang tahu. Dan rencana itu hanya akan berhasil jika pernikahan itu terjadi, sementara apa yang baru saja ia ucapkan hanyalah pancingan untuk mengacaukan pola pikir Kai beserta asistennya yang sulit Alec hadapi.
"Kamu terlalu banyak bicara, dan mulutmu bau!" ucap Rea sembari mengibaskan tangannya.
"Aku lebih ingin menendangmu jika kamu ingin tahu, tapi kakiku sakit. Jadi, kurasa tamparan itu cukup untuk mengurangi rasa kesal yang sedang aku rasakan saat ini,"
Rea melangkah mundur tanpa melepaskan pandangannya dari Alec, memposisikan tubuhnya di depan Kai sebagai penegasan bahwa ia sudah menentukan pilihannya.
"Pernikahan ini tidak akan pernah batal!" tegas Rea.
"Bagus!" Alec mendengus, netranya mengunci wajah Rea.
"Apa yang baru saja kamu lakukan padaku, akan kuanggap kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar. Jadi, temui aku setelah kau keluar dari rumah sakit, maka aku akan memaafkan semua tindakanmu,"
"Kuharap kamu ingat bahwa aku tidak memiliki banyak kesabaran untuk menunggu,"
"Enyah!" Rea berucap dingin.
Sekali lagi Alec hanya bisa mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak melayangkan pukulannya pada Rea, lalu berbalik pergi.
"Anda berbakat menjadi seorang artis, Nona. Akting Anda sungguh luar biasa,"
Suara bernada sindiran itu cukup untuk membuat Rea menoleh, mendapati Jim tengah menatapnya dengan sorot yang tidak bisa ia pahami. Sikap yang baru pertama kali ia lihat sejak dirinya mengenal sosok Kai.
Namun, justru dari sikap pria itu jugalah Rea bisa menarik kesimpulan bahwa dua pria yang berdiri di depannya sudah mengetahui semua rencananya sejak awal.
"Bisakah kita berbicara di dalam saja, Paman?" pinta Rea.
Kai menghela napas panjang, tak sedikitpun terlihat gurat kekesalan di wajah tampan itu. Satu tangannya mendorong pintu ruang perawatan, lalu meminta Rea untuk masuk.
"Tangan mana yang kamu gunakan untuk menampar kekasihmu?" tanya Kai.
"Apa?" wajah Rea yang sebelumnya menunduk seketika terangkat. Tak mengerti dengan maksud dari pertanyaan yang Kai ajukan.
"Jim, panggilkan dokter!" ucap Kai memberi perintah.
"Baik,"
Rea menatap bingung, tetapi pria itu hanya meminta dirinya untuk duduk di atas tempat tidur. Wanita itu baru mengerti dengan apa yang Kai maksud saat dokter masuk ke dalam ruang perawatannya untuk memasang kembali jarum infus yang terlepas dari pergelangan tangan Rea, dan pergi setelah tugasnya selesai.
"Dia bukan lagi kekasihku, Paman," ucap Rea memecah keheningan yang sempat terjadi sesaat setelah dokter keluar.
"Apakah itu benar atau tidak, hanya kau yang tahu," jawab Kai.
"Tapi, yang aku katakan benar..."
"Aku akan memberimu satu kesempatan lagi, apakah kamu akan berubah pikiran untuk menikah denganku atau tidak?" potong Kai cepat.
"Aku tidak akan mengubah keputusanku," jawab Rea.
Hembusan napas panjang Kai kembali terdengar, seakan masih meragukan jawaban yang diberikan wanita di depannya. Senyum di bibir Rea bahkan terbentuk dengan begitu mudah.
"Baiklah, tapi ada perjanjian yang perlu kamu tandatangani," sahut Kai.
"Tak masalah," jawab Rea.
Senyum di bibir Rea mengembang, dari sudut matanya, ia bisa melihat wajah kesal Jim yang gagal pria berkacamata itu sembunyikan. Menumbuhkan sisi jahil yang ada di dalam diri Rea untuk keluar dari tempatnya.
"Jadi, panggilan apa yang harus aku gunakan? Paman atau Sayang?"
. .. ..
. . . . .
To be continued...