Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Bab 35 —
Malam itu, suasana rumah keluarga Perdana terasa hangat tapi sarat rasa bersalah. Di ruang tengah, Wirda duduk di antara kedua orang tuanya. Lampu temaram membuat bayangan wajah mereka tampak sendu.
“Wirda, maafkan Papa,” ujar Pak Perdana lirih, matanya menatap anak perempuannya penuh penyesalan. “Papa salah menilai orang. Papa terlalu cepat menghakimi tanpa tahu kebenaran.”
Sang ibu menggenggam tangan putrinya erat. Air mata menetes di pipinya. “Mama juga minta maaf, Nak. Seharusnya kami percaya padamu sejak awal.”
Wirda menggeleng pelan. “Lupakan saja, Pa, Ma. Semua sudah berlalu. Aku nggak ingin memperpanjangnya.”
“Papa cuma ingin bilang,” lanjut Pak Perdana, suaranya sedikit bergetar, “kami salah karena menilai orang hanya dari pakaian, status, dan pekerjaan. Padahal, hati dan niat seseorang jauh lebih berharga.”
“Papa benar,” sahut sang ibu. “Kami terlalu sibuk menjaga nama keluarga sampai lupa menjaga perasaan anak sendiri.”
Wirda menunduk. Suaranya pelan, nyaris bergetar. “Sudahlah, aku sudah memaafkan. Aku juga banyak salah.”
Hening sesaat. Lalu, Pak Perdana tiba-tiba bertanya, dengan nada hati-hati, “Kalau boleh Papa tahu… sejauh apa hubungan kalian berdua?”
Pertanyaan itu membuat Wirda terdiam. Pertanyaan yang sederhana, tapi menusuk. Ia menatap ayahnya, lalu menjawab hati-hati, “Baru sebatas pacaran, Pa. Nggak lebih dari itu. Kenapa memangnya?”
Pak Perdana saling berpandangan dengan istrinya. “Papa dan Mama mau memperbaiki semuanya. Kami ingin mengenal Aryo Pamungkas lebih dekat. Sebagai bentuk permintaan maaf.”
“Iya, Wirda,” sambung ibunya. “Mama mau undang Aryo makan malam di sini. Kita berempat saja. Supaya Papa Mama bisa minta maaf langsung. Bagaimana?”
Wirda menatap mereka lama. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu orang tuanya tulus… tapi hatinya masih sesak. Ia berdiri, mengambil tas yang sudah disiapkan.
“Mau ke mana kamu, Nak?” tanya sang ibu, menahan pergelangan tangannya. Tapi Wirda menarik diri dengan lembut. “Aku butuh waktu sendiri, Ma. Aku sudah memaafkan Papa dan Mama… tapi izinkan aku pergi sebentar.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar rumah. Malam itu, pintu rumah keluarga Perdana tertutup pelan — menyisakan keheningan dan rasa bersalah.
Sementara itu, di apartemen Meliana, suasana juga tak kalah tegang. Setelah pertempuran dan kekacauan di markas keluarga Sandy, Aryo akhirnya menceritakan semuanya — tentang penyamaran, tentang Wirda, dan tentang peran pura-pura sebagai kekasih.
Yang mengejutkan, Meliana ternyata sudah tahu lebih dulu.
“Aku sudah dengar semuanya,” kata Meliana lembut sambil menatap wajah Aryo yang masih lebam. “Aku nggak marah. Aku cuma kecewa karena kamu nggak bilang jujur dari awal.”
Aryo menghela napas. “Aku cuma nggak mau kamu ikut terbebani.”
“Tapi lihat wajahmu itu.” Meliana mengusap lembut pipi Aryo yang memar. “Kamu butuh istirahat. Biar aku yang urus semua pekerjaan di kantor beberapa hari ini.”
Aryo tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Mel. Luka seperti ini bukan apa-apa.”
Dari sofa, Thania berseru sambil menahan tawa. “Pakai make-up aja, biar aku bantu nutupin lebamnya. Nanti orang kantor nggak panik.”
Meliana melirik Thania sambil tersenyum. “Kalau begitu, mulai besok kamu nggak usah kerja berat dulu, Aryo.”
“Siap, Bu CEO,” sahut Aryo pura-pura hormat, membuat dua wanita itu tertawa kecil.
Namun, di balik tawa, Meliana masih menyimpan keresahan. Dia lega karena Wirda selamat, tapi tak bisa menahan rasa canggung saat tahu wanita itu sempat berpura-pura pacaran dengan Aryo.
“Enak juga ya kamu,” goda Meliana pelan. “Sekali dayung dua pulau terlampaui. Wirda dan aku.”
Thania langsung menimpali dengan tawa jahil. “Hmm, ada yang cemburu nih.”
Aryo hanya tersenyum, tidak membantah, tidak juga menyangkal.
Keesokan harinya di kantor Andara Grups, suasana tampak sibuk. Chris berdiri di depan pintu ruang kerja Meliana — sesuai instruksi Aryo. Mereka tahu Thomas Maraja kemungkinan akan datang berulah lagi, terutama setelah rapat pemegang saham dua hari lalu yang menyinggung keputusan Meliana.
Dan benar saja. Menjelang siang, Thomas datang dengan langkah sombong.
“Singkir dari pintu,” perintahnya datar namun tajam.
“Maaf, Bu Meliana sedang tidak bisa diganggu,” jawab Chris sopan tapi tegas, menghadang.
Thomas tersenyum sinis. “Oh begitu?” Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon langsung Meliana. Tak lama, Chris menerima pesan dari sang CEO: biarkan dia masuk.
Dengan enggan, Chris menepi. Saat Thomas melintas, ia sempat berbisik pelan, “Kalau kamu macam-macam, aku nggak segan.”
Thomas hanya menyeringai. “Sampaikan juga ancamanmu ke si satpam sok jago itu — Aryo.”
Begitu masuk ke ruangan, Thomas langsung kaget. Di sana, Aryo sedang berbaring santai di sofa dengan tangan di kepala. Ia melirik malas ke arah Thomas.
“Apa-apaan ini?” bentak Thomas. “Kamu pikir ini kamar kos? CEO sibuk kerja, kamu malah tidur-tiduran di ruangannya!”
Aryo bangkit perlahan. “Aku di sini karena diizinkan. Kamu yang justru nggak tahu sopan.”
Thomas maju dan menarik kerah Aryo. “Kau jangan coba-coba menantangku. Aku bisa buat kamu dipecat detik ini.”
Aryo menatapnya dingin. “Silakan buktikan.”
Ketegangan meningkat sampai Meliana menepuk meja keras. “Cukup!”
Ia menatap keduanya tajam. “Thomas, aku tidak akan memecat siapa pun. Chris dan Aryo bekerja atas perintahku. Dan Aryo di sini karena dia bodyguard pribadiku.”
Thomas melipat tangan. “Kalau begitu, aku ingin bicara hal pribadi denganmu. Tanpa orang lain.”
Meliana menatapnya lama. “Masalah pribadiku adalah masalah Aryo juga, karena dia pacarku.”
Aryo menahan tawa kecil. Dalam hati, ada rasa senang yang sulit disembunyikan.
Thomas menatapnya tak percaya. “Suruh dia keluar. Jangan buat aku minta dua kali.”
Meliana akhirnya menyerah, tak mau memperpanjang. “Aryo, tunggu di luar dulu.”
Sebelum keluar, Aryo mendekat ke Meliana dan berkata dengan nada menggoda, “Kalau dia macam-macam, panggil aku ya, sayang.”
Meliana membalas dengan isyarat cium di udara. Thomas menatap mereka berdua dengan wajah memerah karena cemburu dan marah bersamaan.
Begitu pintu tertutup, Thomas mendesis, “Kamu nggak serius, kan? Masa kamu benar-benar pacaran dengan satpam itu?”
“Dia bukan cuma satpam,” jawab Meliana datar. “Dia pacarku. Dan aku bangga.”
Thomas mengernyit, menahan amarah. “Aku nggak percaya. Kamu cuma main-main.”
Meliana tersenyum dingin, lalu menunjukkan foto-foto dan riwayat chat manis dengan Aryo — bahkan foto mereka berdua sedang makan malam. “Masih mau bilang pura-pura?”
Thomas membeku. Wajahnya merah padam. “Kamu sengaja buat ini semua untuk menyuruhku mundur. Tapi aku nggak akan mundur, Meliana.”
“Kalau kamu mau tahu,” ucap Meliana sambil memainkan cincin di jarinya, “aku sudah bertunangan dengannya.”
Thomas menatap cincin itu dengan mata terbelalak. “Tidak mungkin! Meliana yang kukenal tidak akan menikah dengan orang sepertinya.”
Meliana menyandarkan punggung di kursi dan tersenyum tipis. “Meliana yang dulu sudah hilang. Sekarang aku tahu siapa yang benar-benar peduli padaku.”
Thomas membalas dengan tatapan tajam. “Kamu sadar tidak, aku bisa menjatuhkanmu kapan saja? Aku pegang banyak saham di Andara Grup. Aku bisa buat semua keputusanmu dibatalkan.”
Meliana tertawa pendek. “Sudah kuduga. Dari dulu kamu memang tidak berubah. Masih saja anak mama yang suka mengancam pakai kekuasaan orang tua.”
“Berhati-hatilah, Meliana,” kata Thomas dingin. “Kamu tidak tahu siapa lawanmu.”
“Aku tahu persis. Dan kamu hanyalah rintangan kecil dalam hidupku,” balas Meliana, nadAnya setajam pisau.
Thomas mengepalkan tangan. “Kamu akan menyesal.”
Meliana berdiri, menentang pandangannya tanpa gentar. “Sudah selesai mengancam? Kalau sudah, silakan keluar. Aku mau menyusul pacarku.”
“Pacaran di jam kerja!?” seru Thomas, suaranya meledak.
Meliana menoleh dengan senyum menantang. “Setidaknya aku tahu caranya bahagia, Thomas. Sesuatu yang kamu nggak pernah punya.”
Ia melangkah keluar dengan elegan, meninggalkan Thomas terdiam di ruangan yang kini penuh amarahnya sendiri. Apa yang selanjutnya akan terjadi??
Bersambung...