Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Tiga Hari, Dua Benih, dan Pria Polos
Matahari bergerak melintasi langit.
Sinar terik siang hari memanggang lumpur hingga kering dan retak di sekitar kaki Li Xian.
Para pemabuk di kedai sudah lama bubar, menertawakan "si idiot dan batu peliharaannya". Para wanita desa yang datang ke sumur berdecak kasihan, menganggap anak yatim itu akhirnya kehilangan akal sehatnya. Anak-anak kecil datang, melempar kerikil ke arah Li Xian, lalu lari ketika dia menggeram.
Li Xian tidak peduli.
Dia mencoba menarik. Dia mencoba mendorong. Dia mencoba menggali tanah di bawahnya, berpikir dia bisa menggulingkannya. Jari-jarinya yang kurus tergores, berdarah, dan kuku-kukunya patah.
Batu Kura-kura tetap diam.
Di bawah pohon willow, Zhu Lao tidur siang. Dia tidur nyenyak, mendengkur pelan. Setidaknya, itulah yang terlihat. Kenyataannya, kesadarannya sedang mengamati fluktuasi medan magnet planet, sedikit bosan, sambil menyisihkan sebagian kecil perhatiannya pada drama di alun-alun.
Satu hari, pikir Zhu Lao, saat bayangan mulai memanjang. Lumayan. Kebanyakan makhluk dengan otak menyerah setelah tarikan pertama.
Matahari terbenam. Udara menjadi dingin.
Li Xian masih di sana. Tubuhnya gemetar hebat karena kelelahan dan kelaparan. Dia tidak makan sejak kemarin. Matanya merah, tapi bukan karena tangisan. Itu adalah api murni dari keras kepala yang membara.
Dia menatap batu itu seolah-olah itu adalah musuh bebuyutannya.
Malam tiba. Desa menjadi sunyi. Hanya ada suara jangkrik dan napas Li Xian yang terengah-engah.
Sekitar tengah malam, tubuhnya akhirnya menyerah. Dia tidak menyerah tubuhnya yang mengkhianatinya. Dia pingsan, pipinya menempel di lumpur yang dingin di samping batu itu.
Zhu Lao membuka matanya dalam kegelapan. Dia menghela napas. "Tekad yang luar biasa. Fondasi yang menyedihkan." Dia mempertimbangkan untuk melemparkan buah persik abadi ke arah anak itu, tapi itu akan merusak kesenangan. Dia memutuskan untuk menunggu.
Fajar menyingsing.
Sinar matahari pertama menyentuh wajah Li Xian. Matanya terbuka. Rasa sakit menjalari setiap otot. Selama sedetik, keputusasaan menyelimutinya. Dia gagal. Orang tua itu benar. Dia hanya... lemah.
Dia melihat ke seberang alun-alun. Kakek aneh itu masih di sana, bersandar di pohon, mengunyah sepotong roti kering yang entah didapatnya dari mana. Kakek itu menatapnya, tanpa ekspresi.
Li Xian merasakan gelombang kemarahan baru. Dia tidak akan memberi orang tua itu kepuasan melihatnya menyerah.
Dengan erangan yang menyakitkan, dia bangkit. Dia merangkak kembali ke Batu Kura-kura.
Sialan.
Sialan!
SIALAN KAU, BATU!
Dia menempatkan bahunya di bawah tepian batu dan mencoba mendorong dengan kakinya. Dia mencoba lagi dan lagi.
Pagi berlalu menjadi siang.
Tiga hari.
Li Xian kini lebih mirip hantu lumpur daripada manusia. Bibirnya pecah-pecah. Matanya cekung. Tapi dia masih di sana. Dia tidak lagi berteriak. Dia hanya mendorong, beristirahat sejenak, lalu mendorong lagi. Dalam diam, dalam siklus kegagalan yang tak berujung.
Penduduk desa sekarang mengabaikannya. Dia telah menjadi bagian dari pemandangan.
Pada sore hari ketiga, sebuah suara berat dan polos memecah keheningan.
"Batu ini... sangat berat."
Li Xian terkejut. Dia melihat ke atas. Seorang pria muda bertubuh raksasa berdiri di sampingnya, menatap Batu Kura-kura dengan rasa ingin tahu yang tulus.
Pria itu setidaknya dua kepala lebih tinggi dari pria tertinggi di desa. Bahunya selebar pintu lumbung. Dia memiliki wajah yang jujur dan sepasang mata yang jernih dan sederhana. Ini adalah Shen Hu, "si beruang besar" desa. Dia dikenal karena kekuatannya yang luar biasa dan pikirannya yang polos. Dia bisa mencabut pohon kecil dengan tangan kosong tetapi kesulitan berhitung sampai dua puluh.
"Minggir, Shen Hu," desis Li Xian, suaranya serak.
"Tapi... kau terlihat lelah," kata Shen Hu, menggaruk kepalanya. "Ibu bilang kita harus membantu orang yang lelah. Apa kau mencoba memindahkan batu ini ke sumur? Batu ini menghalangi jalan."
"Aku..." Li Xian terlalu lelah untuk berdebat. "Aku tidak bisa."
"Oh." Shen Hu tampak bingung. "Kalau begitu, biarkan aku."
Sebelum Li Xian bisa berkata apa-apa, Shen Hu meludah ke telapak tangannya yang besar, menggosoknya, dan berjongkok. "Aku pandai mengangkat barang."
Penduduk desa yang kebetulan lewat, berhenti. Ini akan menarik.
Shen Hu menyelipkan lengannya yang setebal batang pohon di bawah Batu Kura-kura. Dia mengambil kuda-kuda bukan teknik kultivasi, hanya cara yang baik untuk mengangkat barang berat.
"HNGGG...!"
Shen Hu menarik napas dalam-dalam. Otot-otot di punggungnya menonjol, merobek sedikit kain di kemeja katunnya. Wajahnya yang polos memerah karena usaha.
"Angkat!" teriak seorang anak.
"HUUU... RRAAAAAHH!"
Raungan Shen Hu mengguncang jendela-jendela di kedai seberang. Tanah di bawah kakinya retak karena tekanan. Urat-urat di lehernya tampak seperti akan meledak.
Dan Batu Kura-kura...
...tidak bergeming.
Tidak seinci pun. Tidak sehelai rambut pun.
Shen Hu berkedip. Dia melepaskan cengkeramannya. Dia menatap telapak tangannya, bingung. Ini tidak masuk akal. Dia bisa mengangkat gerobak penuh bijih besi. Dia pernah mengangkat sapi yang terjebak di parit.
"Aneh," gumam Shen Hu. "Batunya... tertancap."
Dia mencobanya sekali lagi, kali ini dengan seluruh kekuatannya, mengabaikan segalanya. Hasilnya tetap sama. Batu itu seolah-olah menyatu dengan bumi.
Shen Hu akhirnya menyerah, menggaruk kepalanya lagi. "Maaf, Li Xian. Batu ini rusak. Aku tidak bisa mengangkatnya."
Dia menepuk bahu Li Xian tepukan yang hampir membuat Li Xian yang kelelahan jatuh lalu berjalan pergi, tampak bingung, untuk melanjutkan tugasnya mengantarkan kayu bakar.
Kerumunan kecil itu terdiam.
Jika Shen Hu tidak bisa menggerakkannya, maka batu itu memang tidak bisa digerakkan. Itu adalah fakta. Tugas itu mustahil.
Li Xian menatap batu itu. Dia telah menyaksikan kekuatan terbesar di desanya gagal total. Semua alasan akan mengatakan kepadanya untuk berhenti.
Dia menyeka darah kering dari jarinya. Dia kembali berjongkok.
Di bawah pohon willow, Zhu Lao tersenyum untuk pertama kalinya hari itu.
Satu benih dari kemauan yang tak terpatahkan, pikirnya, menatap Li Xian.
Dia kemudian melihat ke arah Shen Hu yang berjalan pergi, yang kini dengan mudah mengangkat gerobak kayu bakar yang patah as rodanya dengan satu tangan.
Dan satu lagi benih dari kekuatan murni yang bodoh.
Dua. Awal yang baik.
😍💪
💪