Para Penolong

Siswa S Class menunggu dengan gelisah di kelas mereka. Bu Riska dan Pak Syamsul ikut menunggu bersama mereka, selain untuk mengawasi para siswa, mereka pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bu Riska dan Pak Syamsul sama sekali tidak dapat percaya jika Aqni seperti yang ramai diberitakan. Aqni tidak terlihat seperti anak yang suka berfoya-foya, apalagi dengan uang yang didapat dari membajak─sesuai istilah yang ada di postingan yang beredar─seorang guru. Jika Aqni begitu kesulitan mendapatkan uang hingga memilih melanggar peraturan sekolah dengan kerja sambilan, dia tidak akan mungkin mau menghambur-hamburkan uang dengan nongkrong di mall dan membeli barang bermerk. Lagi pula, uang yang diberikan Pak Hamdan tidak mungkin begitu besar sampai bisa dibelanjakan seperti itu.

Sementara itu di ruang kepala sekolah Pak Hamdan tengah mencoba membujuk Kepala Sekolah agar tidak pergi ke ruang S Class.

"Saya rasa bukan tindakan bijaksana jika Anda menemui anak-anak itu. Mereka hanya mencoba menggertak Bapak padahal mereka tak punya apa pun untuk dikatakan selain omong kosong."

"Jadi, menurut Pak Hamdan saya harus takut pada gertakan para siswa dan bersembunyi di ruangan saya?" ujar Kepala Sekolah tampak tak senang.

"Bukan begitu maksud saya, Pak," kata Pak Hamdan. "Saya hanya tak ingin Bapak membuang waktu Bapak yang berharga untuk urusan tidak penting seperti ini."

"Kalau tidak penting, Pak Hamdan tidak mungkin melaporkan hal ini kepada saya dan para orangtua siswa tidak akan mempermasalahkan hal ini, juga tak akan ada dua puluh siswa yang mendatangi ruangan saya." Kepala Sekolah memaparkan. "Kenapa Pak Hamdan begitu gelisah? Bukankah Bapak berada di pihak yang benar, jadi Pak Hamdan tak perlu khawatir."

Aqni melihat keringat dingin mengalir turun di dahi Pak Hamdan. Terlihat sekali beliau sedang gugup. Aqni sama sekali tak tahu kebenaran apa yang diketahui teman-temannya, tapi ia merasa senang karena mereka datang untuk membelanya. Sepertinya apa yang diketahui teman-temannya merupakan hal penting sehingga membuat Pak Hamdan khawatir.

"Sudah waktunya kita pergi," kata Kepala Sekolah. "Anak-anak itu mungkin akan datang lagi jika kita tak segera ke sana.

"Saya masih merasa ini bukanlah ide yang baik," Pak Hamdan menggumam, tapi Kepala Sekolah tak mendengarkannya.

Aqni mengikuti langkah Kepala Sekolah menuju ruang di mana orang-orang yang menunggunya berada. Jika sebelumnya ia merasa gugup, khawatir, serta sedikit takut, sekarang ia tak merasakannya lagi. Karena tahu bahwa ia memiliki teman-teman yang percaya kepadanya.

***

Mehran menjadi sangat gelisah karena Kepala Sekolah tak juga muncul. Berkali-kali ia berdiri dan melongok di jendela untuk melihat apakah orang yang bertanggung jawab memimpin sekolah mereka itu sudah dalam perjalanan. Ketika kesabarannya mulai mencapai titik batas, Kepala Sekolah terlihat melangkah di koridor bersama Pak Hamdan dan Aqni di belakangnya.

Melihat Aqni membuat Mehran ingin berlari menggapai gadis itu, menggenggam tangan Aqni dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Sebelum ini perasaan Mehran tak pernah begitu kentara, kadang terasa begitu jelas kadang tidak terlalu. Namun, hari ini ia benar-benar ingin melakukan apa pun untuk melindungi Aqni.

"Kepsek datang!" Dedi yang juga melongok di jendela berseru, membuat keadaan di kelas semakin tegang.

Mehran berpindah ke posisi paling depan, agar bisa langsung berbicara di depan Kepala Sekolah. Dalam mode siap tempur seolah ia akan menghadapi pertandingan final kejuaraan antar sekolah.

Yuan menepuk bahunya pelan. "Kita semua akan mendukung Aqni," ujarnya memberi dukungan. Di samping Yuan, Mikail mengangkat jempol.

“Kita akan membela Aqni habis-habisan,” kata Mikail.

Memandang ke belakang Mikail, ia juga melihat niat yang sama dari teman-teman yang lain. Semua ingin membantu Aqni, sama seperti dirinya.

***

Kedatangan Kepala Sekolah disambut dengan keheningan. Namun, tak seorang pun siswa di kelas itu menunduk ketakutan, sebab mereka memang tak memiliki alasan untuk takut. Mereka sekarang berada di pihak yang benar.

Kepala sekolah berdiri di depan kelas dengan Pak Hamdan dan Aqni di kedua sisi. Kepala Sekolah terlihat ramah, sebagaimana ekspresi yang sering beliau perlihatkan di depan siswa SMA Harapan. Pak Rahmadi memang jarang sekali marah, beliau bukan tipe kepala sekolah otoriter, yang akan marah karena masalah kecil. Namun, Pak Rahmadi juga memiliki sisi tegas bila berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan para siswa. Setiap pelanggaran peraturan yang dilakukan para siswa dan diketahui oleh Pak Rahmadi akan mendapat hukuman yang sesuai.

“Selamat siang, Anak-anak,” sapa Kepala Sekolah.

“Selamat siang, Pak,” jawab para siswa serempak.

“Wah, kelas ini benar-benar solid, bahkan menjawab salam saja begitu kompak,” ujar Kepala Sekolah. Usaha Kepala Sekolah untuk mencairkan suasana tidak terlalu berhasil, anak-anak masih begitu tegang di hadapan beliau. “Rileks saja, Anak-anak, Bapak di sini bukan untuk menghukum kalian.”

“Bapak memang tidak akan menghukum kami semua, hanya salah satu dari kami saja.” Dengan berani Mehran mengutarakan pikirannya.

“Jika yang kalian maksud adalah Aqni, Bapak belum memutuskan untuk menghukumnya,” kata Kepala Sekolah.

Anak-anak S Class saling tatap, begitupula Bu Riska dan Pak Syamsul.

“Tapi, Pak, bukankah─” Pak Hamdan berhenti bicara saat melihat tangan Pak Rahmadi terangkat sebagai isyarat baginya agar menutup mulut.

“Bapak sudah mendengarkan kebenaran versi Pak Hamdan dan Aqni, sekarang Bapak ingin mendengar kebenaran versi kalian,” ujar Kepala Sekolah.

Terdengar suara ketukan, semua mata mengarah ke pintu. Di sana tampak Kanita dan Laylah berdiri mengapit Ilana di bagian tengah, tangan mereka mengunci tangan Ilana agar tidak bisa melarikan diri. Wajah Pak Hamdan langsung memucat dan secara refleks mundur selangkah hingga secara tak sengaja menabrak whiteboard, menjatuhkan spidol dan penghapus yang digantung di bagian sudut atas. Aqni langsung bergerak untuk memunguti spidol dan penghapus, sementara Pak Hamdan membeku menatap Ilana.

“Maaf, Pak, kami terlambat.” Ucapan Kanita memecah keheningan.

“Tidak apa-apa, silakan masuk,” sahut Kepala Sekolah. “Kenapa kalian membawa Ilana kemari?”

“Karena Ilana adalah bagian dari kebenaran versi kami.” Mehran yang menjawab pertanyaan Kepala Sekolah.

“Saya tidak ada hubungannya, Pak!” Ilana berusaha memberontak ketika Kanita dan Laylah membawanya masuk. “Saya tidak melakukan kesalahan apa pun!”

“Menyebarkan berita bohong adalah kesalahan, kamu bisa dituntut karena menyebarkan berita hoax dan merusak nama baik orang lain,” kata Indra seraya maju ke depan sambil membawa laptopnya. “Nama saya Indra Fahriansyah, Pak.” Ia memperkenalkan diri pada Kepala Sekolah. Kemudian menunjukkan layar laptopnya kepada Kepala Sekolah. “Ini adalah postingan asli dari postingan yang beredar di media sosial,” jelasnya, “Postingan ini diunggah tadi malam, pukul 22.12 dari akun Lan Lan Ilana, milik Ilana.”

“Itu bukan milik saya,” jerit Ilana, namun tak seorang pun yang mendengarkannya.

“Postingan ini yang kemudian disebarluaskan oleh orang-orang tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Membuat para siswa dan orangtua siswa sekolah kita resah, karena tersiar kabar ada siswa yang berperilaku tidak pantas dengan memanfaatkan kepintarannya untuk mendapatkan uang dari sekolah, atau bisa dikatakan salah satu oknum guru di sekolah kita.”

Anak-anak memandang kagum ke arah Indra yang terlihat begitu layaknya seorang profesional, begitupula para guru dan Kepala Sekolah.

“Saya bisa mengatakan bahwa gambar kolase yang disebarkan Ilana ini sama sekali tidak valid, karena─”

“Aku sudah bilang bahwa bukan aku yang memposting photo itu,” Ilana berkeras.

Indra memutar tubuh menghadap Ilana. “Kamu mau aku membuktikannya?” Ketiadaan respon Ilana diartikan Indra sebagai persetujuan. “Baiklah.” Indra meletakkan laptop di meja, lalu duduk di depan layar 14 inci tersebut. “Aku akan membuktikan bahwa memang kamu yang melakukannya. Aku bisa membuktikan alamat IP yang digunakan untuk mengunggah photo ini sama dengan alamat IP komputer milikmu.”

“Akunku dibajak,” Ilana beralasan. “Seseorang menggunakan akunku untuk melakukan keisengan ini.”

“Ini bukan keisengan, Ilana, tapi kejahatan. Apa yang kamu lakukan bisa membuat Aqni dikeluarkan dari sekolah?”

Ilana memandang Aqni, kemudian menggeleng pelan. “Aku tidak bermaksud begitu, Om Hamdan bilang─”

“Tutup mulutmu, Ilana!” hardik Pak Hamdan.

Kepala Sekolah menangkap reaksi Pak Hamdan yang tak biasa itu, tapi belum mau mengambil kesimpulan. “Pak Hamdan, bisa jelaskan apa sebenarnya yang terjadi?” pinta Kepala Sekolah.

“Saya sudah menjelaskannya kepada Anda tadi, Pak,” ujar Pak Hamdan sambil menyapu peluh dari keningnya.

“Memang. Tapi saya ingin mendengarnya sekali lagi, dan kali ini saya tidak ingin ada bumbu kebohongan sedikit pun,” tegas Kepala Sekolah.

“Saya tidak berbohong, Pak. Saya mengatakan yang sesungguhnya,” kata Pak Hamdan. “Aqni memang benar-benar datang kepada saya untuk mengajukan diri sebagai penanggung jawab kelas tambahan dan meminta bayaran, bahkan Bu Riska dan Pak Syamsul, juga anak-anak kelas tambahan juga tahu tentang hal itu.”

“Saya sama sekali tidak tahu tentang hal itu,” kata Bu Riska, “yang saya ketahui adalah Pak Hamdan yang mengajukan nama Aqni untuk membantu saya dan Pak Syamsul, dan untuk uang yang diberikan kepada Aqni memang diberikan sebagai uang lelah dan dimasukkan ke dalam anggaran untuk kelas tambahan.”

“Setahu saya Aqni tidak pernah merekomendasikan dirinya, Pak Hamdalah yang mengajukan nama Aqni saat saya dan Bu Riska mencari seseorang yang bisa membantu kami. Sebelumnya, kami hendak memilih seorang guru magang, tapi urung dilakukan karena Pak Hamdan secara khusus meminta kami menerima Aqni,” Pak Syamsul menambakan.

“Saya melakukan hal itu karena Aqni memohon kepada saya. Saya merasa kasihan dan merekomendasikan namanya,” Pak Hamdan membela diri.

“Saya tidak pernah meminta menjadi pengawas kelas tambahan,” Aqni bersuara. “Saya hanya meminta Pak Hamdan agar tidak melaporkan tentang kerja sambilan saya ke pihak sekolah. Saya menerima tanggung jawab di kelas tambahan karena itu syarat yang Pak Hamdan berikan agar beliau tidak melaporkan saya. Dan untuk uang itu, saya akan mengembalikannya karena saya memang berencana seperti itu. Saya merasa tidak enak hati mengambil uang itu karena merasa seperti memanfaatkan teman-teman saya di kelas ini.”

“Aqni sama seperti kami, Pak, merasa terpaksa ada di kelas ini,” kata Mehran. “Tapi akhirnya dia mau melakukan dengan sungguh-sungguh sehingga mampu membuat kami semua di kelas ini ikut bersungguh-sungguh.”

“Aqni sudah banyak membantu saya, Pak,” Yuan menambahkan.

“Saya juga,” ujar Kanita.

“Saya juga,” kata Laylah.

“Saya juga,” Mikail juga bersuara. Berikutnya, masing-masing siswa yang mengikuti kelas tambahan juga mengatakan hal yang sama.

“Kami memang tak punya bukti kuat yang mengatakan Pak Hamdan berbohong, tapi kami semua percaya pada perkataan Aqni,” kata Mehran.

“Yang kami punya hanya ini, Pak.” Kanita menunjuk Ilana. “Ilana yang memposting photo itu di media sosial, tujuannya agar image Aqni di mata sekolah menjadi jelek sehingga Aqni dikeluarkan dari sekolah, dan dia mendapat posisi rangking pertama.”

“Saya tidak bermaksud membuat Aqni dikeluarkan,” Ilana bersuara. “Sa-saya hanya ingin dia tidak mendapatkan beasiswa ke Amerika itu karena saya menginginkan beasiswa itu. Lagi pula, kata Om─Pak Hamdan Aqni hanya akan mendapat peringatan, makanya saya mau melakukan semua rencana ini.”

“Ilana!” tegur Pak Hamdan.

“Pak Hamdan, jangan menaikkan suara di depan saya.” Pak Hamdan mendapat teguran dari Kepala Sekolah. “Apakah Pak Hamdan membantumu menjalankan rencana ini?” Kepala Sekolah bertanya pada Ilana.

Ilana menelan ludah. “Tidak, Pak. Sayalah yang membantu Pak Hamdan,” akunya. “Semua ini rencana Pak Hamdan, saya hanya menjalankan karena diiming-imingi beasiswa, Pak. Saya benar-benar ingin sekolah ke luar negeri.” Ilana menunduk dalam. “Saya benar-benar minta maaf karena sudah membuat kekacauan ini.”

Kepala Sekolah kembali pada Pak Hamdan. “Pak Hamdan─”

“Jangan salahkan saya! Ini kesalahan wanita ****** itu!” Pak Hamdan menunjuk Aqni, yang membelalak ngeri melihat kemarahan Pak Hamdan yang ditujukan kepadanya.

Mehran segera memosisikan di depan Aqni, seketika Aqni langsung menempel di belakang pemuda itu mencari perlindungan.

“Tolong jaga kata-kata, Bapak,” kata Mehran.

“Ibumu, Aqni. Jika kamu ingin menyalahkan seseorang salahkan ibumu. Dia sudah menipuku. Dia merayuku dan membawa kabur semua milikku. Tabungan, uang hasil penjualan rumah, semuanya. Dan sekarang dia menghilang bersama ayahmu untuk menikmati uangku. Membiarkan aku di sini terlilit hutang yang harus kubayar seumur hidup. Orangtuamu sudah menghancurkan hidupku, dan aku akan menghancurkan hidupmu!”

Perkataan Pak Hamdan membuat Aqni begidik. Benarkah orangtuaku melakukan itu? Pertanyaan itu tak mau hilang dari kepala Aqni.

Pak Hamdan meraung, maju hendak menyerang Aqni. Namun, Mehran bergerak dengan cepat menahan Pak Hamdan sehingga tak dapat mengenai Aqni. Kepala Sekolah dan Pak Syamsul menahan kedua sisi tubuh Pak Hamdan yang meronta dengan kuat. Bu Siska bergerak cepat memanggil sekuriti sekolah.

Beberapa menit kemudian Pak Hamdan sudah diamankan. Sekuriti terpaksa memanggil polisi karena Pak Hamdan terus mengamuk.

“Kalau begini, masalah sudah selesai. Ya, kan, Pak?” tanya Laylah pada Kepala Sekolah.

“Ya, kita semua sudah tahu siapa sebenarnya yang bersalah, tapi masalahnya tidak bisa selesai begitu saja.” Kepala Sekolah menghela napas. “Ada postingan yang harus dijelaskan kepada para orangtua siswa.”

“Soal itu, tenang saja, Pak. Sudah terdelete sempurna,” kata Indra.

“Dan soal orangtua siswa, kami sudah melakukan gerakan siap tanggap,” kata Yuan sambil mengangkat ponselnya. “Kami sudah menjelaskan kepada orangtua masing-masing tentang keadaan sebenarnya, dan sekarang forum orangtua sedang ramai dengan pembela Aqni.”

“Wah, kalian benar-benar siap tanggap,” komentar Bu Riska.

“Ternyata kami bisa diandalkan di saat-saat genting, ya, Bu,” ujar Laylah.

“Iya, kalian hebat.” Bu Riska mengangkat dua jempolnya.

“Berarti sekarang tidak ada masalah lagi, kan, Pak?” tanya Mikail pada Kepala Sekolah.

“Aqni tidak akan dikeluarkan, kan?” tanya Kanita.

“Aqni tetap akan mendapat beasiswanya, kan?” Mehran juga bertanya.

Semua anak menatap Kepala Sekolah penuh harap. “Baiklah, Bapak tidak akan mengeluarkan Aqni dari sekolah, dan Aqni akan tetap mendapat beasiswanya jika nilainya bagus.” Anak-anak bersorak. “Tapi dia tetap akan mendapat hukuman.”

“Yaaaahhh ....” Mereka lemas seketika.

“Tenang saja, Bapak tidak akan memberinya hukuman berat.”

Mereka kembali bersorak senang.

Namun, Aqni tak bisa ikut merasa senang. Ia melangkah keluar meninggalkan keriuhan kelas.

***

“Sudah kuduga kamu ada di sini.”

Suara itu membuat Aqni mendongak, tatapannya bertemu dengan mata sewarna madu milik Mehran. “Kamu mencariku?”

“Bukan hanya aku, tapi anak-anak sekelas,” jawab Mehran. “Kenapa pergi?”

Aqni menggeleng pelan. “Aku butuh waktu sendirian untuk berpikir.”

“Kata-kata seperti itu tidak akan mempan untuk mengusirku,” ujar Mehran seraya duduk di sebelah Aqni di bawah pohon mangga yang mulai berbunga. “Apa yang mengganggu pikiranmu?” Mehran bertanya kemudian. “Apa ini soal orangtuamu?”

Aqni mengangguk. “Aku sudah mencoba menghubungi mereka, tapi tak seorang pun menjawab. Nomor mereka sudah tidak aktif.” Ia memandangi layar ponselnya. “Apa menurutmu mereka memang seperti yang dikatakan Pak Hamdan?” Aqni menoleh pada Mehran dan menatap penuh harap.

“Aku tidak tahu.” Mehran menggeleng pelan. “Aku ingin mengatakan padamu bahwa mereka tidak seperti itu, tapi aku tidak ingin berbohong.”

Meskipun ingin mendengar hal baik tentang orangtuanya, Aqni lebih menyukai jika Mehran berkata jujur. Ia kembali menatap layar ponsel.

“Aku memang tidak tahu apakah orangtuamu memang seperti yang dikatakan Pak Hamdan atau tidak. Tapi aku tahu satu hal.” Perkataan Mehran membuat Aqni mengembalikan tatapannya pada pemuda itu. “Bahwa kita tidak harus menanggung kesalahan orangtua kita. Lanjutkan hidupmu, walau apa pun yang orang lain katakan tentang orangtuamu. Jika saatnya tepat, Tuhan akan mengungkap kebenarannya. Dan bagaimanapun kebenaran itu, pahit maupun manis, kita harus tetap mencintai orangtua kita. Karena mereka adalah alasan kita terlahir ke dunia.”

“Wah, kamu beneran jadi filsuf sekarang.” Aqni tersenyum lebar.

“Nah, gitu dong. Kamu lebih cantik kalau tersenyum,” kata Mehran, yang membuat Aqni kembali menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Lama keduanya hanya diam, menikmati embusan angin yang membelai lembut.

“Hei, kita jadi pergi makan bakso, kan?” Mehran buka suara.

Aqni mengangguk. “Jadi,” jawabnya.

Mehran berdiri, kemudian mengulurkan tangan ke arah Aqni. “Ayo, pergi.”

Dengan senang hati Aqni menerima uluran tangan itu. Untuk sekarang Aqni hanya akan menatap ke depan, mencoba menjalani hidupnya. Jika nanti orangtuanya kembali, ia akan mempertanyakan masalah ini. Namun, sebelum masa itu datang Aqni akan menikmati waktunya di sekolah ini, bersama anak-anak S Class dan Mehran.

Terpopuler

Comments

Febi Miftah Rianti

Febi Miftah Rianti

Sahabat yang baik..

2020-10-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!