“Seharusnya, aku dengerin kata Mehran dan yang lain,” ujat Aqni setelah meminum setengah isi gelas choco magnum.
“Soal apa?” tanya Mikail. Pemuda itu hanya mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan tanpa minat.
Setelah menjauh dari keributan tadi, Mikail membawa Aqni ke food court. Membeli minuman untuk mereka berdua dan beberapa camilan. Sementara Aqni makan dengan lahap, Mikail malah sebaliknya.
“Soal kamu?” sahut Aqni sambil memilih potongan chiken pok-pok yang paling banyak terkena saus korea, yang ia pilih sebagai siraman, dan memasukkannya ke mulut.
“Memangnya aku kenapa?” Mikail penasaran.
Aqni hanya mengangkat bahu. “Nggak tahu,” jawabnya dengan mulut penuh.
“Kalau ngomong makanannya dihabisin dulu,” ujar Mikail seraya menyodorkan gelas minuman Aqni.
“Makasih,” ucap Aqni setelah mulutnya kosong. “Mereka cuma bilang kalau aku nggak boleh dekat-dekat kamu.”
“Kenapa?”Mikail terlihat semakin penasaran.
“Karena kamu playboy, perayu, suka mainin perempuan, pembual, suka main drama, nggak tepat janji─”
Mikail mengangkat tangan, menghentikan aliran kata dari Aqni. “Omonganmu menusuk tepat ke jantungku.”
Aqni mengedikkan bahu, lalu kembali memakai sepotong ayam. “Kamu nggak terlihat kayak orang yang sakit hati mendengar ucapanku.”
“Emang nggak,” sahut Mikail. “Hei, aku mau bilang maaf juga terima kasih buat hari ini. Kamu sudah nolongin aku,” ucapnya kemudian.
Aqni tersedak mendengar ucapan Mikail, dan buru-buru mengambil minuman.
“Dih, nggak usah segitu kagetnya. Aku kan juga manusia, bisalah ngucapin maaf dan terima kasih.” Mikail bersungut.
Aqni mengangguk-angguk. “Cuma nggak biasa aja dengarnya.”
“Akhir-akhir ini kamu juga sering dengar ucapan terima kasih, kan?” kata Mikail. “Dari anak-anak yang kamu tolongin belajar.”
“Ya, tapi tetap aja nggak terbiasa dengarnya, apalagi dari kamu,” sahut Aqni. “O ya, kenapa sih kamu nggak mau belajar?” tanyanya langsung ke pokok permasalahan yang membuatnya rela datang hari ini.
“Memangnya kenapa harus belajar?”
“Karena tugas utama kita sebagai pelajar adalah belajar,” Aqni menjawab dengan mantap sampai membuat Mikail yang mendengarnya melongo sesaat, kemudian tertawa terpingkal-pingkal.
“Gila! Jawabanmu itu udah kayak Pak Kepsek aja,” ujar Mikail setelah tawanya usai.
Bibir Aqni maju dua senti. “Cuma itu jawaban yang paling masuk akal menurutku.”
“Jadi, menurutmu kita sebagai pelajar nggak boleh main?” tanya Mikail.
“Boleh. Tapi jangan kebanyakan, kayak kamu sekarang ini. Main boleh, belajar wajib.” Aqni menegaskan bagian akhir kalimatnya.
“Ngomong sama kamu diceramahin mulu,” keluh Mikail. “Kok Mehran betah, ya? Kamu kasih apa dia?”
Mendengar nama Mehran wajah Aqni memerah. Akhir-akhir ini selalu begitu. Terkadang bahkan Aqni jadi salah tingkah bila ada yang menyebut-nyebut hubungannya dengan pemuda itu. “Aku nggak gitu sama Mehran,” kilahnya.
“Terus kayak gimana? Cerita dong.”
Aqni memutar bola mata, menyadari jika Mikail tengah memancingnya untuk bercerita dan melupakan tujuan utamanya. “Bukan urusanmu. Balik ke masalah tadi, deh. Kenapa Wina ngejar-ngejar kamu gitu padahal dia udah punya pacar?”
“Karena aku gantenglah,” sahut Mikail narsis. Membuat Aqni ingin muntah.
“Bisa nggak kamu sekali-sekali nggak ngerasa paling ganteng se-Indonesia? Egomu itu gedenya udah ngalahin pulau Borneo, tahu.”
“Karena emang sudah sebesar benua Amerika.”
Sekali lagi Aqni memutar bola mata. Susah kalau sudah berhadapan dengan orang narsis. “Yang serius dong,” pintanya.
“Jawabannya emang itu, karena menurut Wina aku ganteng, baik, perhatian, nggak kayak pacarnya,” jawab Mikail.
“Pacarnya juga ganteng,” celetuk Aqni.
“Gantengan mana sama Mehran?”
“Gantengan Mehran ke mana-manalah.” Aqni segera menutup mulutnya, lalu memelototi Mikail.
Mikail memasang senyum penuh kemenangan. “Pantesan perhatian banget sama Mehran, ternyata naksir, toh.”
“Ih, siapa juga yang naksir Mehran.” Walau bagaimanapun Aqni mengelak, wajahnya yang memerah membongkar semua kebohongannya. “Bisa nggak, kita nggak ngomongin itu?”
Mikail tertawa lalu menyedot isi gelasnya yang berupa es kopi susu. “Pacarnya Wina itu kasar, cuek, dan yang paling bikin Wina nggak betah adalah karena dia pacar kedua.”
“Jadi, Laylah pacar pertama dan Wina ini pacar kedua,” simpul Aqni.
Mikail mengangguk.
“Wina tahu soal itu dan tetap pacaran sama tuh cowok?”
Mikail mengangguk lagi.
Aqni begidik. “Kayak nggak ada cowok lain aja.”
“Makanya dia mau sama aku.”
“Yang selain kamu, deh.”
Ucapan Aqni membuat Mikail memberengut. “Iya, deh, aku akuin kalo di matamu aku nggak lebih ganteng dari Mehran.”
“Kenapa sih Mehran mulu yang diomongin,” protes Aqni. “Apa Laylah tahu soal Wina?” ujarnya mengembalikan obrolan ke topik utama.
“Sebelum tadi Laylah nggak tahu soal Wina, tapi Wina tahu soal Laylah. Makanya dia mau ninggalin Fedi, tapi Fedi nggak mau ditinggal. Aku awalnya nggak tahu, Wina yang cerita. Dia pengen aku bantuin dia.”
“Terus kenapa nggak dibantu?”
“Aku nggak suka dilibatin dalam keruwetan. Itu urusan dia sama pacarnya, aku nggak mau terlibat.”
“Tapi kamu malah ngelibatin aku.”
Mikail meringis. “Makanya aku minta maaf soal itu.”
Aqni menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. “Okelah, nggak papa. Yang penting masalahnya udah kelar. Ya, kan?”
“Ya. Aku harap udah kelar. Semoga aja setelah ini Wina nggak gangguin aku lagi.”
“Tapi dia tadi nakutin juga, ya. Sampai marah gitu,” ujar Aqni.
“Satu lagi yang bikin aku melarikan diri dari dia. Wina itu posesif,” jelas Mikail. “Tapi sebenarnya dia pernah bilang kalau sayang banget sama Fedi. Andai Fedi putus sama Laylah, dia bakal mau bertahan sama Fedi.”
“Kamu terbebas dari Wina, Wina bahagia sama Fedi, trus gimana sama Laylah?”
“Nanti aku yang bakal ngehibur dia,” ujar Mikail pede abis.
“Emang bisa?” tanya Aqni.
“Kenapa nggak bisa?” Mikail balas bertanya.
Tak ingin mendebat, Aqni menyahut, “Suka-sukamulah.” Ia kembali menekuni chiken pok-nya, makan dengan lahap sampai Mikail tergoda sehingga ikut makan.
“Eh, kamu nggak nanya kenapa aku milih kamu?” ujar Mikail setelah memesan seporsi lagi chiken pok, kali ini dengan rasa barbeque.
“Emang penting, ya?”
“Nggak juga, sih.”
“Ya udah, kalo gitu nggak usah dibahas,” tutup Aqni.
***
Selanjutnya, Mikail mengajak Aqni nonton film. Karena tiketnya sudah dibeli, Aqni tidak enak menolak. Lagi pula, itu film super hero yang memang ingin Aqni tonton. Di tengah film, Aqni pergi ke toilet. Ia bergegas karena tak ingin ketinggalan banyak bagian film. Namun, langkahnya terhenti di depan toilet yang tertutup. Tertahan seperti beberapa gadis lainnya.
“Ada apa? Toiletnya rusak, ya?” tanya Aqni.
“Nggak tahu,” sahut salah seorang gadis di sana. “Tulisannya emang gitu, tapi di dalam kedengaran kayak orang lagi berantem.”
Aqni menajamkan telinganya. Ia pun mendengar hal yang sama. Terdengar teriakan juga makian.
“Tolong panggilin sekuriti di depan,” ujar Aqni. Kemudian ia memberanikan diri membuka pintu.
Di dalam sana memang tengah terjadi perkelahian. Seorang gadis tampak disudutkan oleh tiga gadis lainnya.
“Bagusnya kita apain, ya?”
“Cukur alisnya?”
“Pertama-tama aku mau ambil antingnya dulu.”
Aqni mengenali salah satu dari tiga gadis itu, gadis yang berdiri di tengah adalah Wina, dan gadis yang tengah dikeroyok itu adalah Laylah. Tanpa banyak berpikir, Aqni bergerak. Mendorong gadis di sisi kanan dan menarik Laylah sebelum Wina sempat menggapai telinga Laylah.
“Ayo pergi!” Aqni membawa Laylah keluar dari toilet, berpapasan dengan sekuriti yang datang untuk memeriksa. Ia terus menarik Laylah menjauh, keluar dari bioskop, menuruni eskalator, sampai mereka berada di luar mal. Ia benar-benar lupa bahwa Mikail sedang menunggunya di dalam bioskop.
***
Aqni baru menghentikan langkah saat mereka berada di depan pintu masuk mal. Berputar menghadap Laylah, ia bertanya, “Kamu nggak papa?” Pertanyaannya disambut tawa oleh Laylah. Tawa yang begitu nyaring sampai membuat orang-orang di sekitar mereka menatap heran.
“Gila!”
Kata itu harusnya ditujukan pada Laylah, bukannya dikatakan sendiri oleh gadis itu. Laylah menghentikan tawanya dan menghampiri Aqni. “Siapa namamu?”
“Aqni.” Aqni menjawab dengan agak waswas.
“Yuk, jalan.”
“Ke mana?”
“Ke mana aja yang asyik,” jawab Laylah seraya menarik tangan Aqni.
***
Laylah membawa Aqni berkendara ke pantai. Hari itu pantai cukup ramai, tapi kebanyakan hanya duduk-duduk di pantai di bawah payung teduh. Hanya sedikit yang berenang maupun memainkan wahana air yang tersedia di sana. Mungkin karena hari sudah siang dan air laut menjadi hangat, yang membuat para turis enggan untuk bermain air.
Laylah langsung melepas sepatu dan berlari ke bibir pantai, kemudian berteriak nyaring ke laut lepas. Aqni memungut sepatu yang dilempar asal oleh Laylah, lalu duduk di atas pasir menunggu gadis itu selesai mencurahkan isi hatinya kepada sang penguasa laut. Laylah sepertinya tak peduli dengan banyaknya orang di sekitarnya. Ia berteriak lagi dan lagi sampai suaranya serak. Setelah merasa lelah, ia menghampiri Aqni, dan menjatuhkan diri di atas pasir pantai.
“Kamu pasti berpikir aku gila,” ujar Laylah.
Aqni menggeleng. “Aku pun begitu kalau lagi stres,” akunya.
“Jadi, kamu bisa stress juga?”
Aqni tertawa. “Aku kan juga manusia. Apalagi akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi dalam kehidupanku.”
“Kehidupan itu menjengkelkan, ya.”
“Terkadang, kalau kita sedang ada masalah,” sahut Aqni.
“Kamu tahu, aku sangat sayang pada Fedi,” kata Laylah. Aqni melihat kesedihan di mata biru berlensa kontak Laylah. “Dia cinta pertamaku. Kami pacaran sejak kelas sepuluh. Sudah setahun lebih kami bersama, kupikir dia juga sayang padaku. Nyatanya─” Laylah menghentikan kalimatnya dan menghela napas. “Aku bahkan mikir mau nikah sama dia.” Ia meringis.
Aqni ikut menghela napas. “Sebenarnya, aku belum pernah ngadepin orang yang baru patah hati. Jadi, aku nggak tahu mesti ngomong apa.”
“Dan aku juga baru pertama kali patah hati.”
Dan mereka berdua tertawa.
***
Aqni dan Laylah berada di pantai sampai sore. Bermain air, membuat istana pasir, sampai naik banana boat bersama. Untuk yang terakhir Aqni sempat menolak karena tidak punya uang, tapi Laylah berkeras membayar bagian Aqni. Walau sempat merasa tidak nyaman, akhirnya Aqni ikut menikmati menaiki permainan itu. Di penghujung hari mereka duduk bersisian memandang matahari yang secara perlahan menenggelamkan diri ke dalam lautan.
“Makasih sudah menemaniku hari ini,” ucap Laylah.
“Untuk orang yang pertama kali patah hati, kamu kelihatan kuat,” puji Aqni.
“Dan untuk orang yang pertama kali nemenin orang yang lagi patah hati, kamu asyik juga,” balas Laylah.
“Ternyata kamu orang yang baik, padahal kukira menakutkan,” aku Aqni.
Laylah tertawa. “Kamu juga. Kupikir tipe anak manis yang selalu nurut sama guru. Eh, ternyata punya nyali juga.”
“Kita emang nggak bisa menilai orang dari luarnya,” kata Aqni. “Aku sudah bertemu beberapa orang yang ternyata tak seperti terlihat dari luar.”
“Anak-anak kelas tambahan, ya?”
Aqni mengangguk. “Semula, bagiku mengawas kelas tambahan adalah beban. Sebuah hukuman yang harus kulakukan. Tapi sekarang aku tidak berpikir begitu. Aku senang ada di sana, punya teman, sahabat, bahkan sekarang aku nggak terlalu mikirin lagi soal uang lelah yang dijanjikan Pak Hamdan, tapi beasiswanya masih kupikirin sih.” Ia langsung menutup mulut dengan tangan karena baru saja keceplosan bicara. Takut-takut ia menoleh pada Laylah. Aqni tak menyangka akan melihat Laylah tersenyum dan berkata dengan tenang, “Jadi, niat awalmu nggak murni untuk membantu kami?”
Aqni meringis. “Ya. Aku melakukannya dengan terpaksa.” Ia pun menceritakan semua dari Pak Hamdan yang memergokinya sedang kerja sambilan hingga rencana yang melibatkan Laylah di dalamnya.
“Aku target terakhir, ya,” Laylah menanggapi dengan geli. Tak ada kemarahan, tuduhan, maupun kata-kata tak menyenangkan yang ditujukan Laylah kepada Aqni, malah Laylah menanggapinya dengan santai.
“Kamu nggak marah?” tanya Aqni hati-hati.
“Kenapa harus marah? Semua orang punya alasan sendiri untuk melakukan sesuatu, dan alasanmu menurutku logis. Nggak semua orang berhati malaikat sehingga mau membantu orang lain tanpa pamrih. Bahkan seorang guru saja dibayar untuk mengajar.”
“Apa menurutmu teman-teman yang lain akan marah kalau aku mengakui ini?” Aqni bertanya lagi.
“Aku tak tahu karena kita nggak bisa menebak hati manusia. Tapi jika mereka adalah teman yang baik, mereka akan mengerti. Ya, kan?”
Aqni mengangguk-angguk setuju. “Lalu apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
“Maksudmu?”
“Apa kamu akan mengikuti kelas khusus dengan serius, masalahnya nilaimu masih kurang baik.”
Laylah menelengkan kepala. “Soal itu akan kupikirkan, oke?”
Aqni tak berkata apa-apa lagi. Ia tahu bukanlah tindakan bijaksana jika ia membujuk Laylah sekarang, malah bisa membuat gadis itu mengambil langkah seribu menjauh darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments