Target Kedua

Aqni benar-benar senang hari itu, Mehran tidak datang terlambat, bahkan datang lebih awal dari yang lain. Ia tak berani mengomentari pemuda itu, takut Mehran ngambek dan meninggalkan kelas, seperti yang seorang lagi. Memandangi bangku Yuan yang kosong membuat perasaan senang Aqni berkurang setengahnya. Sepertinya apa yang Aqni katakan di pertemuan terakhirnya dengan Yuan masih membuat pemuda itu marah sehingga memilih untuk tidak datang.

“Yuan sedang sakit, makanya hari ini nggak masuk. Kemarin juga nggak masuk sekolah.”

Aqni menoleh pada Mehran. “Tahu dari mana?”

“Nanya,” jawab Mehran tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.

“Sama siapa?” Aqni gemas karena Mehran menjawab setengah-setengah.

“Sama orangnyalah, masa sama kamu,” sahut Mehran. Aqni langsung keki dan memutuskan untuk mengabaikan Mehran.

Namun, jawaban Mehran membuat perasaan Aqni sedikit lebih baik. Setidaknya, alasan ketidakhadiran Yuan adalah sakit, bukan karena marah kepadanya.

Seolah bisa menebak jalan pikiran Aqni, Mehran bersuara, “Dia masih marah padamu.”

Aqni memberengut. Baru saja ia merasa senang, Mehran sudah menghancurkannya. “Tahu dari mana?” tanyanya sewot.

“Nggak punya pertanyaan jenis lain, dari tadi itu-itu doang,” sahut Mehran. “Variatif dikit napa.”

Muka Aqni semakin bertekuk. Ia membuang muka, tak mau memandang pemilik mata cokelat itu.

“Sebenarnya, kamu nggak salah kok.” Mau tak mau Aqni mengembalikan pandangannya ke arah Mehran. Anehnya, Aqni mendengar suara Mehran begitu lembut dan menenangkan. “Kamu nggak tahu kalau itu topik sensitif buat Yuan. Orangtua, uang, dan masa depan. Tiga topik itu gampang membuat Yuan marah, apalagi kalau dijadikan satu.”

“Tahu dari─” Aqni segera menutup mulutnya.

“Masih mau nanya begitu juga?” tanya Mehran dengan sebelah alis terangkat. “Aku tahu karena kami berteman. Aku tahu cukup banyak tentangnya, begitupun sebaliknya.”

Mulut Aqni membentuk huruf ‘O’. “Kalian sahabatan?”

“Berteman,” jawab Mehran.

“Apa bedanya?”

Mehran hanya mengangkat bahu menanggapi pertanyaan Aqni.

“Sudah lama?”

Mehran mendelik. “Kenapa ingin tahu?”

“Cuma penasaran,” jawab Aqni.

“Aku nggak mau bilang,” sahut Mehran.

“Dasar pelit.” Aqni menjulurkan lidah ke arah Mehran.

“Aku nggak mau ngasih info ke orang kalau nggak ada gunanya,” jelas Mehran, sedikit pun tak terlihat kesal dengan tingkah kekanakan Aqni.

Aqni jadi malu sendiri karena bersikap seperti itu. “Jadi, kamu bakal ngasih tahu kalau ada gunanya.”

“Yep.” Mehran menyimpan ponsel. “Omong-omong hari ini nggak ada kelas, ya? Anak-anak pada belum datang.”

“Gini nih, orang yang biasanya datang telat,” kata Aqni. “Sekarang baru jam dua kurang lima belas. Biasanya anak-anak baru datang di menit-menit terakhir.”

“Emang masuknya jam berapa?”

“Memangnya kamu nggak tahu jadwal masuknya jam berapa?” Aqni balas bertanya.

Kening Mehran berkerut. “Jam setengah tiga, kan?”

“Jam tiga.”

“Ekh? Kupikir jam setengah tiga, makanya aku datang jam setengah empat biar telat sejam.”

Aqni memutar bola mata. Jika mengingat jam masuk kelas saja Mehra seperti ini, entah bagaimana nanti saat mereka belajar.

***

Benar saja, lama tak digunakan untuk belajar otak Mehran benar-benar tumpul. Butuh kesabaran tingkat dewa untuk mengajari Mehran matematika. Aqni sampai harus menjelaskan berkali-kali agar pemuda itu bisa mengerjakan satu soal. Makanya, saat Mehran berhasil mengerjakan satu soal seorang diri, Aqni sangat senang.

“Nah, bisa kan. Kalau usaha pasti bisa,” kata Aqni.

“Tapi kepalaku mau pecah rasanya,” sahut Mehran sambil memijit pelipisnya.

“Hanya rasanya, nggak pecah beneran, kan?” kata Aqni ceria, keberhasilan Mehran masih membuatnya sangat senang.

Mehran begidik. “Omonganmu serem banget sih?”

“Nggak usah dibayangin kali,” ujar Aqni dengan entengny. “Sekarang kerjakan soal selanjutnya. Caranya masih sama seperti yang tadi.”

Mehran mengerang. “Lagi?”

“Yep. Hari ini kamu harus bisa nyelesein sepuluh soal, sekarang baru lima,” Aqni menjawab dengan ceria sambil menunjuk soal-soal di buku.

“Dasar tukang siksa,” gerutu Mehran, tapi pemuda itu memegang kembali pensil mekanik dan mulai mengerjakan.

Aqni tersenyum senang. Semoga saja semangat belajar Mehran awet sampai akhir semester nanti, doanya dalam hati.

“Halo~ kita juga perlu bantuan di sini,” teriak seorang siswa.

“Kita juga dibantuin dong, Aq, jangan si Mehran aja,” keluh yang lain.

“Kami juga perlu perhatian.” Seorang lagi menimpali dengan penuh drama.

Aqni hanya bisa tertawa menanggapi mereka. “Sorry, untuk hari ini aku nggak bisa bantuin kalian. Ada yang perlu perhatian khusus soalnya.”

“Aqni pilih kasih, ih. Padahal kita-kita kan juga perlu perhatian dan kasih sayang.”

“We need help, Babe!”

Aqni terkikik mendengar teman-temannya yang mulai lebay. “Kalau kalian separah dia bakal kubantuin deh,” ujarnya

“Emang Mehran separah apa?”

“Separah anak SD yang baru belajar berhitung,” sahut Aqni asal. Membuatnya mendapat pelototan dari Mehran.

“Wuih, parah banget.”

“Jagoan basket kita nggak bisa ngitung ternyata.”

“Kamu harus banyak belajar, Bro.”

“Tapi kalo Aqni yang ngajarin pasti bisalah. Buktinya kita-kita bisa.”

Aqni tersenyum senang. “Bukan cuma yang ngajar, tapi yang diajarin pun harus harus punya semangat. Kalo nggak ya ....” Aqni melirik Mehran.

“Apa?” tanya pemuda jangkung itu yang ternyata menangkap lirikan Aqni.

“Nggak apa-apa. Terusin aja.”

Walau memasang wajah cemberut, Mehran tidak membalas perkataan Aqni.

“Nggak semua orang mau diajarin sama dia.” Komentar sinis itu datang dari Kanita. “Dia nggak segitu hebatnya, kok.”

Suasana kelas seketika menjadi hening. Semua mata menatap Aqni, termasuk Mehran. Mereka menunggu bagaimana Aqni menanggapi Kanita.

“Kata siapa aku hebat? Aku sama aja kayak kalian di sini. Aku bukan genius yang dapat nilai bagus tanpa perlu belajar. Sama seperti kalian, aku juga belajar mati-matian biar bisa dapat nilai bagus. Dan aku juga bisa salah, kok. Buktinya, kemaren aku salah jawab, kan? Jawabanku sama Bulan beda, dan ternyata jawaban Bulan yang benar. Karena itu, aku juga butuh bantuan kalian di sini. Kita belajar bareng. Saling bantu,” Aqni menjawab dengan diplomatis. Kanita mendengus sebal, tapi tidak mengatakan apa pun. Mungkin Kanita berpikir Aqni akan membalas dengan kata-kata yang sinis juga, tapi Aqni sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak terbawa emosi.

“Nggak nyangka Mehran dodol,” ujar seorang gadis, mengembalikan suasana kelas seperti semula.

Aqni melirik Mehran, takut kalau pemuda itu marah, tapi Mehran terlihat anteng mengerjakan soal di bukunya.

“Padahal ganteng, ya,” timpal yang lain.

“Nggak lebih ganteng dari aku, kan?” Mikail ikut bicara.

“Ya, nggaklah. Kamu tetap yang paling ganteng di hatiku.”

“Yup. Yang paling ganteng seantero SMA Harapan.”

Mulut Aqni gatal ingin mengatakan bahwa kegantengan Mikail tak akan membuat mereka naik kelas, malah sangat mungkin kebalikannya. Kalau mereka terus menghabiskan waktu memberi tatapan memuja pada Mikail dan tidak belajar, sudah jelas nilai merah menanti mereka. Aqni harus segera melakukan sesuatu untuk menyudahi rayuan gombal Mikail dan membuat gadis-gadis di kelas kembali fokus pada pelajaran.

Target kedua sudah ditentukan. Aqni akan membereskan masalah rayuan gombal ala Mikail sebelum seluruh gadis di kelas terkontaminasi Mikailisme. Ups! udah kayak penganut kepercayaan aja.

Merasa dirinya sedang diperhatikan, Aqni menoleh. Ia bertemu pandang dengan Kanita yang langsung membuang muka. Aqni benar-benar merasa tak nyaman dengan perlakuan Kanita yang menganggapnya musuh. Hanya karena sebuah kesalahan kecil, mereka bertingkah seperti orang yang sudah bermusuhan lama. Sepertinya Aqni harus mengubah target keduanya. Bukan Mikail tapi Kanitalah yang harus diurus lebih dulu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!