Bagaimana cara meningkatkan nilai anak-anak kelas tambahan?
Kepala Aqni berasap memikirkan jawaban dari pertanyaan itu. Melihat hasil tes kemarin, nilai anak-anak kelas tambahan jelas berada di kategori mengkhawatirkan. Ia hanya bisa berharap Pak Syamsul dan Bu Riska serta Pak Hamdan punya solusi untuk hal ini, mengingat ulangan kenaikan kelas yang semakin dekat.
“Aqni.”
Panggilan berikut colekan di bahunya, membuat Aqni memutar tubuh. “Kenapa, Na?”
“Udah ngerjain PR Fisika?”
Aqni mengangkat alis. “Sudah,” jawabnya. Jika Nana berniat meminjam PR Fisikanya, Aqni berniat untuk menolak.
“Alhamdulillah, bisa bantu jelasin cara ngejawab soal nomor 5. Aku nggak ngerti. Sudah ngerjain berkali-kali, tapi belum nemu juga jawabannya,” pinta Nana.
Aqni yang semula berniat bersikap sinis, melunak karena permintaan itu. Ia pun membantu Nana mengerjakan soal tersebut, berikut soal-soal lain yang belum bisa Nana jawab. Bahkan tak hanya Nana yang mendengarkan penjelasan Aqni, beberapa teman sekelasnya pun ikut bergabung.
“Thanks, Aqni. Aku bener-bener ngerti sekarang,” ujar Nana.
“Yup. Ternyata ada cara simpel buat jawabnya. Aku malah muter-muter ngitungnya,” timpal Agus sambil tertawa.
“Kamu mah emang suka muter-muter, kan, Gus,” Ida menimpali.
“Yang penting sampai ke hatimu,” sahut Agus disertai kedipan mata pada Ida. Lalu ia kembali menatap Aqni dan berkata, “Makasih, ya, Aqni. Jadi kelar deh PR-ku tanpa perlu nyontek.”
“Aku juga, makasih banget loh. Sering-sering aja bantu kita gini, biar kita cepet paham. Soalnya penjelasan kamu lebih ringkas dan mudah dipahami,” Ida menimpali.
“Gitu, ya?” Aqni tampak mencerna perkataan Ida.
“Hu’um, kamu bisa jadi guru yang hebat,” kata Nana.
“Makasih,” ucap Aqni.
“Tapi jangan jadi guru, deh. Gajinya kecil,” ujar Agus. “Mending jadi pacarku aja,” tambahnya.
“Emang kalo jadi pacarmu gajinya berapa?” tanya Aqni polos.
“Ekh?!” Ketiga temannya kaget.
“Aqni, kamu sehat, kan?”
“Kamu salah minum obat, ya? Atau nggak sempat minum obat tadi pagi?”
“Pasti tadi pagi kepalamu kejedot di kamar mandi, deh.”
Beragam tanggapan muncul. Aqni tersenyum kecut. Sepertinya, ia perlu mengendalikan diri. Karena kondisi keuangannya memprihatinkan sekarang, dengan tagihan listrik dan air menunggu untuk dibayar, belum lagi uang asuransi kesehatan, makanya omongan yang menyerempet tentang uang selalu ditanggapinya dengan serius.
“Tapi kalau kamu mau jadi pacarku, nggak papa deh, aku ikhlas. Lagian, aku kan jadi bisa belajar gratis.”
Sekarang Aqni benar-benar berada di ujung tanduk berkat pertanyaan spontannya tadi. “Tadi aku cuma bercan─”
“Hoy, cewek barbar!”
Aqni menghentikan kalimatnya yang belum selesai, memutar tubuh ke belakang dan berhadapan dengan Mehran.
“Siapa yang kamu panggil cewek barbar?” tanyanya seraya berdiri. Meskipun sudah berdiri, ia masih merasa terintimidasi karena puncak kepalanya hanya mencapai dada Mehran sehingga masih harus mendongak agar bisa bersitatap dengan pemuda itu.
“Kamu, siapa lagi?” sahut Mehran.
“Hei, dengar, ya, gergasi─”
“Apa? Gergasi? Bahasa apa itu?” Mehran memotong kata-kata Aqni.
“Kamu nggak perlu tahu,” jawab Aqni. “Yang jelas, kamu nggak boleh manggil aku cewek barbar!” tegasnya.
“Kenapa? Tadi kamu juga manggil aku ger─”
“Gergaji,” celetuk Nana.
“Apalah itu.” Mehran melambaikan tangan. “Kamu juga nggak boleh manggil aku begitu.”
“Kan, kamu yang duluan,” tantang Aqni.
“Itu karena kemarin kamu mengambil makananku,” Mehran membela diri.
“Dan sudah kukembalikan,” sahut Aqni.
“Tapi sudah dingin.”
“Itu bukan urusanku.”
“Tentu saja, urusanmu, kamu yang ambil.”
“Siapa suruh kamu makan di kelas?!”
“Aku tidak makan di kelas.”
“Belum, tapi akan segera makan kalau nggak kuambil.”
“Nah, akhirnya kamu ngaku ngambil makananku.”
Dengan satu gerakan cepat Aqni menginjak ujung kaki Mehran yang berbalut sepatu. Mehran mengaduh kesakitan, dan Aqni tersenyum penuh kemenangan.
“Dasar cewek barbar!” Mehran mendumel sembari melangkah menjauh.
Aqni memandangi Mehran yang menjauh, bertanya-tanya apa yang membuat Mehran tadi memanggilnya. Apa Mehran ingin membicarakan sesuatu dengannya?
***
Saat kelas tambahan dimulai hari itu, Aqni memiliki niat yang kuat untuk membantu teman-temannya di kelas tambahan. Menilik keberhasilannya membantu teman-temannya di kelas tadi pagi, Aqni optimis pun dapat membantu anak-anak di kelas tambahan. Bukan karena uang lelah yang dijanjikan Pak Hamdan─walaupun hal itu memiliki pengaruh, tapi hanya sedikit─yang membuat Aqni berinisiatif menawarkan diri menjadi tutor, tapi karena ia gemas melihat nilai merah siswa kelas tambahan. Aqni percaya, siapa pun yang mau bersusah payah belajar akan mampu mendapatkan nilai yang baik. Dan jika anak-anak kelas tambahan mau belajar, mereka juga bisa mendapatkan nilai bagus.
Jadi, setelah Bu Riska pergi setelah menjelaskan materi dan memberikan soal latihan, Aqni berinisiatif menawarkan diri untuk membantu siapa saja yang merasa kesulitan menjawab soal latihan. Semula tak ada yang merespon, semua tampak sibuk mengerjakan soal, lalu seorang gadis berjilbab mengangkat tangan. “Aku nggak bisa ngerjain soal nomor dua, bantuin dong,” ujarnya.
“Bentar.” Aqni bergegas menghampiri gadis itu, kemudian membantu mengerjakan soal yang menurut gadis bernama Bulan itu susah. Sementara Aqni menjelaskan, siswa yang duduk di sebelah Bulan ikut mencuri dengar, walau berusaha terlihat tak tertarik.
“Eh, segampang itu?!” decak kagum Bulan menarik perhatian.
“Yup. Ini cara ringkasnya. Kalau pakai cara ini, kamu bisa menghemat waktu mengerjakannya. Jawabannya juga sama, kan?”
Siswa yang duduk di samping kanan dan kiri, serta yang duduk di depan dan belakang Bulan mulai tertarik.
“Iya, sama. Aku nggak tahu ada cara singkat begini. Soal berikutnya juga bisa pakai cara ini?”
“Iya. Coba aja.”
Bulan mengerjakan soal nomor tiga dengan cepat, tak sampai lima menit ia sudah mendapat jawabannya. “Keren! Sebelumnya, aku nggak bisa ngejawab soal kayak gini. Kamu genius!”
“Nggak kok. Aku nggak sepintar itu.” Aqni menyambut pujian itu dengan rendah hati.
“Tapi yang jelas lebih pinter dari aku,” kata Bulan. “Makasih, ya.”
“Sip.” Aqni memandang seisi kelas. “Ada yang perlu bantuan lagi?”
Kemudian seisi kelas sibuk bertanya pada Aqni. Aqni sedikit kewalahan menghadapi mereka, tapi dalam hati ia merasa senang karena teman-temannya sudah antusias belajar. Namun, tetap saja ada beberapa orang yang tidak terihat antusias. Si Tuan Putri terlihat sibuk mengikir kukunya yang sudah terlihat sempurna, tapi Aqni tahu bahwa Kanita sudah mengerjakan soal latihan karena di tes kemarin Kanitalah yang mendapat nilai 80. Lagi pula, alasan Kanita berada di kelas ini bukan karena nilainya jeblok melainkan sebab absensinya yang kurang. Hadir di kelas tambahan berfungsi untuk memperbaiki nilai absensi Kanita. Di sebelah Kanita, Mikail sibuk dengan ponselnya, entah apa yang dilakukannya, Aqni sudah menegur tapi percuma saja karena Mikail malah membalas dengan merayunya. Jadi, Aqni memutuskan untuk menjauh dari yang satu itu. Lalu ada Yuan yang sibuk menggambar di buku gambar A3-nya. Dari yang Aqni lihat, bangunan selalu menjadi obyek utama gambar Yuan. Lain lagi dengan Laylah, gadis itu malah sibuk dengan make up dan majalah fashion-nya, sewaktu Aqni mendekat Laylah malah menyuruhnya memilih gaun di halaman majalah.
Keempat orang itu masih lebih baik dibanding Mehran. Yah, setidaknya mereka masih sadar. Sedang Mehran langsung menelungkup di meja sesaat setelah Bu Riska meninggalkan kelas. Pemuda itu memang tidak memiliki motivasi belajar sama sekali, padahal kalau urusan basket Mehran sangat bersemangat.
Aqni tak tahu mesti melakukan apa untuk membuat kelima anak itu punya motivasi belajar, dan ia pun tak ingin terlalu memikirkannya. Toh, ia hanya bertanggung jawab mengawasi sedang untuk bantuan seperti yang ia lakukan sekarang, dilakukannya hanya karena kebaikan hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
icha.sunflower
bagus ini perlu ilmu pedekatan hati. wkk
2020-05-30
2