Kepercayaan

Ulangan kenaikan kelas datang dengan cepat. Tak seperti sebelumnya, warga S Class menyambutnya dengan lebih tenang, karena kali ini mereka mempunyai persiapan yang sangat cukup. Meski harus mengerjakan ulangan di kelas yang berbeda karena mengaturan ruang dibagi berdasarkan kelas reguler mereka, anak-anak S Class tetap saling support. Tak jarang mereka belajar bersama sebelum maupun sesudah ulangan, padahal kelas tambahan mereka sengaja diliburkan.

Dua minggu berlalu. Ulangan kenaikan kelas sudah selesai. Sekarang yang dilakukan para siswa adalah menunggu hasilnya keluar. Semua pelajaran nilainya akan diumumkan hasilnya secara serentak. Setelah pengumuman barulah anak-anak akan ribut untuk mengikuti remedial dari masing-masing guru mata pelajaran. Sementara ini, jam bebas diberlakukan di sekolah. Banyak yang memilih menghabiskan waktu bermain di lapangan, nongkrong, bergosip, atau bermain dengan gadget masing-masing. Anak-anak S Class lebih memilih nongkrong di ruang khusus mereka. Mengerumbungi lima personil utama; Kanita, Mehran, Yuan, Laylah, dan Mikail, yang sedang melakukan permainan paling mengasyikkan di seluruh dunia, ular tangga.

Mikail melepar dadu. “Lima!” anak-anak berseru. Mikail menjalankan bidaknya sebanyak lima kali dan berakhir di kotak nomor 67.

“Buntut ular,” seru Laylah senang. “Turun! Turun! Turun!” Koor anak-anak.

Sambil cemberut, Mikail menggerakkan bidaknya menuruni badan ular dan berhenti di kotak nomor 35.

“Giliranku!” Laylah meraup dadu, mengocok dan kemudian melempar dadu itu. “Enam!” serunya girang. Ia mengambil dadu lagi dan kembali melempar, kali ini dadu kembali menunjukkan angka enam. Laylah semakin bersemangat karena semakin jauh meninggalkan pesaingnya, dengan bidak berdiri di kotak 76.

“Semoga enam lagi,” Mikail berdoa dengan nyaring.

Laylah mengirimkan lirikan tajam pada Mikail. “Doa playboy nggak bakal dikabulin Tuhan.”

“Kata siapa aku playboy, aku ini hanya pecinta wanita,” kilah Mikail.

“Sama aja,” sahut Laylah.

Mereka berdua berkelahi seperti hanya mereka yang bermain, padahal Mehran, Yuan, dan Kanita juga ikut serta.

“Jangan berantem mulu, cepet lempar dadunya biar aku bisa jalan,” kata Mehran. Bidaknya berdiri di kotak 54, enam kotak tertinggal dari bidak Yuan yang berada di kotak 60, sedang Kanita berada dua kotak di belakangnya.

Laylah melempar dadu. Dadu menggelinding di permukaan meja, untuk sesaat seperti akan berhenti di angka empat, tapi kemudian berputar dengan angka lima menghadap ke atas.

Mikail menyeringai. “Got you, Babe!” serunya penuh kemenangan.

Laylah ternganga. Jika ia menjalankan bidaknya maju lima kotak, maka ia akan berhenti di angka 81, kotak buntut ular dengan kepala ular yang berada di kotak 13. “Itu nggak sah, aku mau ngulang sekali lagi!” serunya.

“Itu namanya curang, La,” kata Kanita.

“Huum, cepat jalan,” suruh Mehran.

“Tapi ....” Laylah melirik Mikail yang tertawa dengan puas. “Aku nggak mau main lagi,” ujarnya merajuk. Membuatnya mendapat sorakan dari anak-anak di kelas. Laylah tak peduli, ia melipir ke sisi Aqni, sementara anak lain menggantikan posisinya bermain ular tangga.

Tak seperti anak lain, Aqni sedikit gugup hari ini. Ia menanti dengan tidak sabar hasil ulangan umum. Meskipun percaya bahwa teman-temannya sudah melakukan yang terbaik, ia tetap khawatir akan ada yang hasilnya kurang memuaskan, dan jika itu terjadi ia tetap akan kehilangan beasiswa karena perjanjiannya dengan Pak Hamdan mengharuskannya membuat seluruh anak S Class mendapat nilai baik.

“Aq, kamu kenapa?” tanya Laylah.

Aqni tersenyum simpul. “Nggak─”

“Jangan bilang nggak papa, ketahuan kali kalau kamu lagi banyak pikiran,” potong Laylah dengan suara nyaring, membuat seisi kelas kini menatap Aqni.

“Ada apa?” Mehran bangkit dan duduk di depan Aqni. Biasanya jika Mehran menampakkan perhatian pada Aqni, anak-anak akan mulai menggoda mereka, tapi kali ini tidak ada yang bersuara. “Apa yang kamu khawatirkan?”

Aqni memandang teman-temannya, merasa tak enak mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.

“Ayolah, Aq. Kami semua temanmu. Jika ada masalah kamu harus cerita ke kami, biar kami bisa bantu.” Kanita juga mendekat.

Sekarang Aqni duduk dengan Kanita dan Laylah di kedua sisinya, dan Mehran di depannya, sehingga ia tak bisa kabur, kecuali ia bisa menembus atau menghancurkan tembok di belakangnya.

Tak nyaman ditatap oleh anak-anak sekelas, Aqni akhirnya buka mulut. “Aku hanya gugup.”

“Kenapa?” tanya Mehran.

Aqni tak langsung menjawab.

“Kamu gugup menunggu hasil ulangan kami, kan?” tebak Yuan.

Perubahan raut wajah Aqni ditangkap oleh teman-temannya, dan mereka langsung tahu bahwa tebakan Yuan tepat sasaran.

“Ah, jadi ... kamu tak percaya pada kami?” ujar Mehran.

“Bukan begitu,” sahut Aqni cepat.

“Lalu?”

Semua orang menunggu jawaban Aqni.

“Aku percaya pada kalian tapi tidak seratus persen, hanya sembilan puluh sembilan persen,” Aqni mengakui.

“Kok nanggung banget sih, Aq?” keluh Mikail.

“Pernah dengar istilah, jangan pernah percaya sama orang seratus persen, nggak sih?” ujar Aqni. “Aku mau percaya pada kalian, dan aku emang percaya. Tapi tetap aja waswas nungguin hasil ujian. Soalnya, seperti yang kalian semua tahu bahwa nasibku dipertaruhkan. Aku nggak bakal bisa sekolah di sini tahun depan kalau ada di antara kalian yang gagal.”

“Kalau masuk list remedi, nggak termasuk gagal, kan?” tanya Bulan.

Aqni menggeleng.

“Itu artinya apa?” tanya Mehran.

“Kalau ada di antara kalian yang masuk daftar remedi, aku tetap gagal,” jelas Aqni.

“Wah, perjanjiannya berat amat,” ujar Laylah. “Pak Hamdan keterlaluan deh.” Yang lain menggumam mengiakan.

“Apa boleh buat, aku sudah terlanjur setuju,” kata Aqni.

“Salahmu sendiri,” ujar Mehran. Dua kata itu membuat Aqni hampir menangis dan anak lain memelototinya karena dianggap keterlaluan dalam bicara. Tapi Mehran tak terlihat peduli. “Salahmu karena tak bisa memercayai kami sepenuhnya. Kamu yang membantu kami, Aq. Mengajariku dari yang tidak bisa menghitung luas segitiga sampai bisa mengerjakan soal aljabar. Kamu tahu benar bagaimana kami berusaha selama dua bulan terakhir. Kamu yang paling tahu kemampuan kami. Seharusnya, dengan itu kamu nggak meragukan kami. Seharusnya, kamu yang paling yakin bahwa kami bisa.”

Aqni terdiam. Perkataan Mehran merupakan tamparan tak kasat mata baginya. Pukulan telak yang mengenai ulu hati Aqni, yang menimbulkan rasa bersalah begitu besar. Selama ini ia percaya bahwa dengan berusaha segalanya bisa tercapai, dan ia sudah melihat bagaimana perjuangan S Class dalam belajar. Mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh, lalu merngapa Aqni harus meragukan mereka? Bukankah ia juga bagian dari perjuangan ini? Seharusnya, ialah orang yang paling memercayai kelas ini. Namun, yang dilakukannya justru, meninggalkan satu persen ketidakyakinan di hatinya untuk teman-temannya. Mungkin, orang mengatakan bahwa kita tak boleh memercayai seratus persen. Tapi untuk kali ini, Aqni akan melakukannya. Ia akan memberikan kepercayaan penuh kepada teman-temannya, dan soal hasil, lihat saja nanti.

Seisi kelas pun ikut terdiam, dalam pikiran mereka, mereka membenarkan perkataan Mehran.

“Selama ini, kalian mengira aku yang paling pintar.” Aqni akhirnya memecah kebisuan. “Ternyata, aku yang paling bodoh, ya, kan?”

Tak ada yang bersuara.

“Aku bodoh karena tidak percaya pada kalian semua. Aku benar-benar minta maaf pada kalian semua,” ucap Aqni. “Yah, aku memang masih gugup dengan hasilnya. Tapi aku percaya kalian mampu melewatinya.”

Semula tidak ada yang merespon. Lalu Mehran berkata dengan santai, “Nah, gitu dong. Positif thingking. Percaya kalau kami bisa. Lagian, kami kan nggak mau ikut remedi.”

“Ogah banget deh, kalau harus remedi. Malas belajar lagi,” ujar Mikail.

“Huuuuu .....!!!” Seisi kelas bersorak.

“Hei, kalian punya rencana apa buat liburan nanti?” tanya Laylah mengalihkan topik pembicaraan. Karena pertanyaan itu tak ditujukan dengan jelas pada siapa, hampir semua anak di ruangan itu menjawab. Jawaban mereka beragam, dari yang mau pergi naik gunung sampai liburan jadul dengan pergi ke rumah nenek.

“Gimana kalau kita pergi liburan bareng?” usul Laylah.

“Ke mana?”

“Kapan?”

“Naik apa?”

Bermacam pertanyaan muncul membuat kelas menjadi kacau karena masing-masing buka suara. Laylah maju ke depan, menyuruh mereka diam dan membuka diskusi rencana liburan. Sementara anak-anak asyik membahas tentang liburan, Aqni menghampiri Mehran.

“Hei, makasih buat yang tadi,” ucapnya.

“Nggak masalah. Sekali-sekali kita tukeran, aku yang nolong kamu,” sahut Mehran.

“Tapi omonganmu pedas juga,” ujar Aqni.

“Kalau nggak gitu, kamu nggak bakalan sadar, kan?”

Aqni menyengir lebar. “Yep. Pasti sampai sekarang masih galau.”

“Ya udah, sebagai ucapan terima kasih, traktir aku makan bakso,” kata Mehran.

“Ih, orang kere disuruh traktir,” sahut Aqni.

“Kalau gitu, aku yang traktir kamu. Pulang sekolah kita pergi makan bakso.”

Dari yang minta traktir menjadi orang yang mentraktir, hanya Mehran yang bisa begitu.

“Boleh.”

“Oke, nanti tunggu aku di─” Kalimat Mehran mengambang di udara. Ruangan mendadak sunyi, karena semua mata mengarah pada Mehran dan Aqni.

“Ciye .... ada yang mau kencan pulang sekolah nanti.”

Kemudian kelas dipenuhi suara anak-anak yang menggoda Aqni dan Mehran. Mereka baru berhenti saat terdengar pengumuman dari speaker bahwa Aqni diharapkan menghadap ke ruang kepala sekolah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!