Target Ketiga

Berteman dengan Kanita nyatanya sangat menyenangkan. Di balik keangkuhan Kanita, tersembunyi pribadi yang hangat, penyayang, dan kejam. Kekejaman Kanita terbukti saat membantu Aqni mengawas anak-anak kelas tambahan. Kanita menerapkan hukuman bagi siapa saja yang tidak bisa mengerjakan soal dalam jangka waktu tertentu. Beberapa anak yang kena hukuman mengeluh karena mereka harus berdiri di depan kelas dengan sebelah kaki di angkat dan kedua tangan memegang telinga secara menyilang.

Saat teman-temannya berkeluh-kesah pada Aqni, ia hanya tertawa dan berkata pada mereka itu risiko karena lebih memilih dibantu Kanita daripada dirinya. Berkat Kanita juga, Mikail tak berani macam-macam. Mikail terpaksa diam karena Kanita mengancam akan memukul pemuda itu dengan rotan jika berani menggoda gadis-gadis. Selama Kanita menangani kelas, Aqni jadi bisa berkonsentrasi mengajari Mehran, yang pelajarannya masih jauh tertinggal.

Kanita juga terbukti teman mengobrol yang asyik. Aqni bisa membicarakan apa saja dengan gadis itu, dari buku, musik, hingga urusan tanaman. Mereka sering menghabiskan waktu istirahat dan makan siang bersama. Aqni tak menyangka sebuah buku menjadi awal permulaan persahabatan mereka. Buku yang kini dapat Aqni koleksi dengan karena Kanita memberinya secara cuma-cuma plus tanda tangan juga. Terkadang mereka makan siang bersama Mehran, tentunya sambil mengajari pemuda itu.

“Bagaimana menurutmu tulisan yang kuterbitkan di Noveltoon kemarin?” tanya Kanita saat ia dan Aqni berjalan bersisian di koridor setelah makan siang.

“Aku suka idenya, tapi menurutku tokoh laki-lakinya kurang menggigit, lebih keren peran antagonisnya,” jawab Aqni. Berteman bukan berarti akan membuat Aqni terus memuji karya Kanita, justru ia menjadi pengkritik pertama karya-karya Kanita, dan hal ini yang membuat Kanita semakin senang berteman dengan Aqni. Karena Aqni tipe yang berterus-terang. Kanita sendiri lebih menyukai kejujuran yang menyakitkan daripada kebohongan yang melenakan.

Teman yang baik adalah mereka yang menegurmu ketika melakukan kesalahan, dan membantu memperbaiki kesalahan itu.

“Masa? Menurutmu Kai lebih keren dari Lou?” Kanita memastikan.

“Yep. Aku malah mikir kalo endingnya dibikin plot twist bakalan bagus,” usul Aqni.

“Plot twist gimana?”

“Bikin aja Erin jadian sama Kai di endingnya.”

“Heh? Bisa gitu?”

“Bisa dong. Masa kamu yang penulisnya nggak mikir gitu?”

“Nggak pernah kepikiran sama sekali,” aku Kanita.

“Coba deh dipikirin dulu. Emang melenceng dari outline yang udah kamu bikin, tapi hasilnya bakal keren. Bayangin kalau Erin jadian sama Kai bakal─” Aqni seketika terdiam, ketika berpapasan dengan seseorang yang ia kenal. Seseorang yang memang ia cari beberapa hari ini. Yuan.

“Aqni?” panggil Kanita.

“Bentar, ya, Ka.” Aqni bergegas balik arah dan mengejar Yuan.

“Yuan, tunggu!”

Pemuda di depan Aqni menghentikan langkah dan berbalik. Sebelah alisnya terangkat heran. “Kamu?”

“Iya, ini aku,” sahut Aqni dengan napas yang sedikit tersengal karena berlari. “Aku mau minta─”

“Apa pun yang kamu katakan, aku nggak akan kembali ke kelas tambahan,” potong Yuan.

“Tapi─”

“Mungkin kamu sudah berhasil dengan Mehran, kamu bisa membuatnya patuh. Tapi aku tidak begitu.” Lagi-lagi pemuda bermata sipit itu tak membiarkan Aqni menyelesaikan kata-katanya. “Dan jangan memanfaatkan Mehran untuk membujukku, itu tidak akan berhasil.”

“Aku tidak─” Belum sempat Aqni menyelesaikan kata-katanya, Yuan berbalik dan meninggalkannya. Aqni ingin mengejar Yuan, tapi ia tak tahu harus mengatakan apa pada pemuda itu.

“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Kanita, yang kini berdiri di sisinya.

Aqni mencoba tersenyum. “Aku nggak papa,” jawabnya. “Kita harus balik ke kelas nih, bentar lagi bel.”

Kanita tak bertanya lagi, mereka berdua berjalan menuju kelas masing-masing.

***

Meskipun hari itu Yuan datang ke kelas tambahan, karena Mehran menyeretnya untuk datang, Yuan tak melakukan apa pun selain menggambar di buku gambarnya. Lalu setelah Pak Syamsul pergi, Yuan pun ikut pergi. Mehran tak bisa menahan pemuda itu, apalagi Aqni. Ia hanya terdiam melihat Yuan pergi.

“Tak perlu terlalu memikirkannya,” kata Mehran.

“Aku tahu,” Aqni menggumam. Tetap saja ia memikirkan Yuan. Pemuda itu membuatnya khawatir, bukan karena beasiswanya, tapi karena Yuan terlihat menarik diri dari orang-orang di sekitarnya. “Apa dia selalu begitu?” tanyanya pada Mehran.

“Apanya?” Mehran balas bertanya tak mengerti.

“Apa Yuan selalu menghidar dari orang lain? Apa dia sulit berteman?” Aqni memperjelas pertanyaannya.

“Ya, dia memang begitu. Sulit didekati,” jawab Mehran.

“Tapi kamu bisa mendekatinya,” ujar Aqni. Ia berharap Mehran memberitahunya cara agar bisa dekat dengan Yuan, dan ia memintanya langsung. “Bagaimana cara mendekatinya?”

Mehran menatapnya lama, dan Aqni tak bisa mengerti apa arti tatapan itu. Lalu Mehran berkata, “Lebih baik jangan, kamu bakal terluka.”

“Emangnya Yuan suka mukul?” tanya Aqni polos membuat Mehran menghela napas.

“Jangan diartikan secara harfiah.”

Mulut Aqni membentuk huruf ‘O’. “Tapi aku tetap ingin dekat dengannya,” ujarnya. Ia menatap bangku yang baru ditinggalkan Yuan. “Aku harus bisa dekat dengannya.”

“Kenapa?” tanya Mehran.

“Apanya?”

“Apa kamu suka padanya?”

“Ekh?” Aqni melambaikan kedua tangan dengan gerakan cepat. “Kamu salah mengerti, bukan seperti itu,” sahutnya cepat dengan wajah memerah dan jantung yang memacu cepat, bukan karena membicarakan Yuan, tapi karena Mehran yang menatapnya dengan intens. Tatapan pemuda itu seolah mengatakan sesuatu, tapi Aqni tak berani mengartikannya.

“Oh, baguslah.” Dua kata itu diucapkan dengan lirih, tapi Aqni masih bisa mendengarnya, dan ia tak berhenti memikirkan kata-kata itu sampai kelas berakhir hari itu.

***

Aqni baru selesai mengumpulkan semua lembar jawaban tes simulasi dan bersiap mengantarnya ke ruang guru kemudian pulang, ketika mendapati sesuatu menonjol dari laci meja Yuan. Ia mengambil benda yang ternyata buku gambar ukuran A2 milik Yuan. Memberanikan diri melihat isinya, Aqni menemukan gambar bangunan dan denah di dalamnya. Gambar-gambar hasil goresan tangan Yuan membuat Aqni kagum.

Karena tak mungkin meninggalkan buku itu di sana, Aqni memasukkan buku itu ke ranselnya. Setelah menyerahkan hasil tes kepada Pak Syamsul di ruang guru, Aqni memutuskan untuk mengembalikan buku gambar Yuan. Jam masih menunjukkan pukul setengah enam, jadi Aqni berpikir ia masih sempat pergi ke rumah Yuan. Sebenarnya ia punya motif tersembunyi melakukan ini. Mungkin saja setelah ia mengembalikan buku itu Yuan mau dibujuk mengikuti kelas dengan serius. Yah, walau kemungkinannya tidak sampai 25%, Aqni rela mencoba.

Berbekal alamat yang ia dapat dari data anak kelas tambahan Aqni menuju rumah Yuan. Ia memesan ojek online dan berangkat ke alamat itu. Tak sampai setengah jam Aqni berdiri di depan pagar sebuah rumah besar berlantai dua.

Seorang satpam keluar setelah ia memencet bel. Dari balik pagar sekuriti itu menanyakan siapa Aqni dan tujuannya datang. Setelah yakin Aqni tak memiliki maksud buruk satpam itu membukakan pagar dan menyuruhnya masuk. Aqni di antar sampai ke depan pintu utama rumah, kebetulan sang pemilik rumah sedang bersantai di ruang tamu.

“Pak, Bu, ada yang mau bertemu Mas Yuan,” kata satpam itu.

“Sore, Om, Tante,” Aqni menyapa dengan sopan.

Wanita berusia akhir tiga puluhan menghampiri Aqni. Matanya mengamati Aqni dari kepala hingga kaki, kemudian tersenyum. “Tante nggak tahu kalau Yuan sudah punya pacar, dan pacarnya semanis ini pula.”

“Eh?” Aqni menjadi bingung.

“Disuruh masuk dong, Ma. Bawa duduk sini,” ujar pria yang masih duduk di sofa panjang.

“Ayo, masuk, Sayang.” Wanita itu membimbing Aqni masuk ke dalam rumah dan mendudukkannya di sofa tunggal. “Mbak Nur,” wanita itu memanggil seseorang yang langsung datang menghampiri. “Tolong buatin minum, ya.” Wanita itu menoleh pada Aqni. “Kamu mau minum apa, Nak?”

“Teh hangat saja, Tante,” jawab Aqni.

“Bikinin teh hangat, ya, Mbak Nur.” Setelahnya, wanita itu duduk di sofa panjang. “Aduh, sampai lupa. Kita belum kenalan. Saya Ayesha, mamanya Yuan, dan ini papanya Yuan, Yahya.”

“Nama saya Aqni, Om, Tante, dan saya bukan pacarnya Yuan, hanya teman sekelasnya,” Aqni menjelaskan.

“Aduh, Tante minta maaf, ya, Aqni. Tante salah paham,” ujar Tante Ayesha. “Tante kira kamu pacarnya Yuan.”

“Bukan, Tante. Kita hanya berteman.” Bahkan ketika Aqni mengaku sebagai teman Yuan itu adalah sebuah kebohongan karena Yuan memusuhinya. “Saya ke sini mau mengembalikan buku gambar Yuan.” Ia mengeluarkan buku gambar milik Yuan dari ransel dan meletakkannya di meja. “Yuannya mana, ya, Tante?”

“Yuan belum pulang.” Om Yahya yang menjawab pertanyaan Aqni. “Anak itu memang sering pulang telat, bahkan malam baru ada di rumah. Bukannya belajar supaya bisa masuk jurusan bisnis malah kelayapan entah ke mana.”

Tante Ayesha menghentikan gerutuan suaminya dengan menepuk pelan lutut Om Yahya.

Aqni merasa tak nyaman berada di tengah pembicaraan ini sehingga berpikir untuk segera pulang. Tapi Mbak Nur datang membawakan minuman untuknya, jadi Aqni terpaksa tinggal lebih lama.

“Kamu teman sekelas Yuan?” tanya Tante Ayesha.

“Kami sekelas di kelas tambahan,” jawab Aqni.

“Kamu juga masuk kelas tambahan?” Kali ini Om Yahya yang bertanya.

“Iya, Om. Saya ditugaskan Pak Hamdan untuk membantu teman-teman di sana, mengawasi juga jadi pendamping belajar,” jelas Aqni.

“Wah, ada yang semacam itu rupanya.”

“Iya, Om. Kadang siswa enggan bertanya sama guru, dan lebih leluasa berdiskusi dengan teman seangkatan, makanya saya dapat tugas bantu-bantu di sana.”

“Berarti nilai kamu bagus dong.”

“Alhamdulillah, Om, terbaik seangkatan saya.”

“Wah, harusnya Yuan mencontoh kamu. Dia itu malas belajar, sukanya main saja. Apa di kelas tambahan juga begitu?”

Aqni ingin menjawab bahwa Yuan jarang masuk kelas tambahan, tapi rasanya itu tidak bijaksana. Jadi, ia membuat alasan. “Yuan mengikuti kelas dengan serius, Om.” Setidaknya, ia tak benar-benar berbohong karena Yuan memang selalu serius di kelas. Bukan untuk belajar melainkan menggambar, tapi menggambar pun bisa dikategorikan belajar, kan?

“Ah, anak itu nggak pernah bisa serius,” kata Om Yahya.

“Itu karena Papa memaksa dia mengikuti apa yang Papa inginkan,” Tante Ayesha membela anaknya.

“Papa hanya ingin yang terbaik untuknya. Papa ingin Yuan belajar bisnis agar bisa mengelola usaha keluarga.”

“Tapi kita tak bisa memaksanya,” ujar Tante Ayesha.

Aqni seharusnya diam. Bukan ranahnya untuk ikut campur masalah Yuan, tapi mendengar pembicaraan orangtua Yuan dan menghubungkannya dengan apa yang pernah didengarnya dari Mehran, Aqni mencapai sebuah kesimpulan, bahwa alasan Yuan tak mau memperbaiki nilainya adalah untuk memberontak. Yuan tak ingin mengikuti jejak ayahnya menjadi pengusaha, ada impian lain yang ada dalam diri Yuan yang dituangkannya ke dalam-gambar dan sketsa serta denah bangunan di buku gambarnya.

“Maaf, Om, Tante,” Aqni menyela. Perhatian kedua orang dewasa itu mengarah padanya. “Apa Om dan Tante pernah bertanya pada Yuan apa yang dia inginkan?” Orangtua Yuan saling tatap. “Pasti akan terasa berat jika kita melakukan sesuatu yang tidak kita sukai.”

Om Yahya terlihat ingin bicara, tapi Tante Ayesha buka suara lebih dulu. “Apa Yuan pernah bercerita padamu tentang apa yang diinginkannya?”

Aqni menggeleng. Ia menyentuh buku gambar berukuran A2 di meja. “Tapi buku ini akan memperlihatkan apa yang Yuan sukai pada Om dan Tante.”

Tante Ayesha mengambil buku gambar itu, membuka halaman demi halaman. Om Yahya ikut melihat isi buku itu bersama istrinya. “Ini ...?”

“Saya juga tak tahu apa yang Yuan inginkan untuk masa depannya, Om, Tante. Tapi sebagai orangtua yang menyayangi anaknya, Om dan Tante pasti lebih mengerti apa yang harus dilakukan,” ujar Aqni dengan berani. Ia mengambil risiko mendapatkan amukan dari Ayah Yuan dengan mengatakan itu. Mungkin saja setelah ini ia akan diusir keluar, tapi ia tak akan menarik kata-katanya. Apa yang ia katakan memang yang harus ia katakan.

Aqni tak menyangka akan mendapatkan senyum dari Tante Ayesha. “Terima kasih, Aqni,” ucap wanita itu.

“Rasanya malu harus mengakui ini,” ujar Om Yahya, “tapi akan lebih memalukan lagi jika tidak mengakuinya. Kamu benar, Nak. Kami tidak pernah menanyakan pada Yuan tentang apa yang dia inginkan. Kami, terutama Om, selalu memaksanya mengikuti jejak Om. Dia anak tertua dan sudah seharusnya mengambil alih usaha keluarga, tapi jika itu akan mengorbankan dirinya, Om rasa itu tidak benar. Ya, kan?”

Aqni tersenyum. “Om dan Tante tentu lebih tahu daripada saya tentang mana yang benar dan salah.” Betapa girangnya Aqni karena berhasil melakukan sesuatu untuk Yuan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!