Kamu Tak Sendiri

Dikeluarkan?! Jika ada satu hal yang sangat tak Aqni inginkan dalam hidupnya adalah dikeluarkan dari sekolah. Ia sudah ditinggalkan ibunya, kemudian ayahnya menghilang, kehidupannya sudah jelas kacau, dan sekarang ia akan dikeluarkan dari sekolah. Aqni tak bisa menanggungnya. Ia tak bisa diam saja sementara Pak Hamdan terus memojokkannya. Dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya, Aqni bersuara, “Maaf, Pak. Bolehkan saya bicara untuk membela diri?”

“Kamu ini, jangan menyela saat orang yang lebih tua sedang bicara,” hardik Pak Hamdan. “Nah, Pak Kepala Sekola lihat sendiri bagaimana kelakuannya. Sungguh tidak punya sopan-santun.”

“Tapi, Pak, saya hanya mencoba membela diri sendiri,” ujar Aqni.

Pak Hamdan memelototi Aqni. “Kamu─”

“Sampai saat ini, Pak Hamdan terus memojokkan saya.” Aqni mengabaikan Pak Hamdan dan menatap lurus pada Kepala Sekolah. “Bukankah saya juga punya hak untuk membela diri? Bapak tentu ingin mendengar masalah ini dari kedua sisi, bukan dari Pak Hamdan saja. Benar, kan, Pak?” Dengan jantung berdebar Aqni menunggu jawaban dari Pak Rahmadi, Kepala Sekolah.

“Ya, saya ingin mendengar pembelaanmu.” Akhirnya Kepala Sekolah memberi Aqni kesempatan, yang tentu saja langsung diprotes oleh Pak Hamdan.

“Tapi, Pak, anak ini─”

Pak Rahmadi menoleh pada Pak Hamdan. “Pak Hamdan, berikan kesempatan bagi Aqni untuk bicara.”

“Baik, Pak,” jawab Pak Hamdan walau enggan.

Pak Rahmadi kembali menatap Aqni dan berkata, “Silakan bicara, Aqni.”

“Sebenarnya, saya tak pernah mengajukan diri menjadi asisten pengajar maupun penanggung jawab kelas tambahan.” Aqni memulai, dan Pak Hamdan langsung menyela.

“Itu tidak benar, Pak. Saya tidak pernah─”

Namun, lirikan Kepala Sekolah membuat Pak Hamdan menutup mulut.

“Pak Hamdanlah yang manawari saya untuk melakukannya.” Aqni melirik Pak Hamdan, wajah guru BP itu terlihat tidak senang, bahkan mengirimkan tatapan tajam ke arahnya. Aqni buru-buru mengalihkan pandangan, berfokus pada Kepala Sekolah. “Sehari sebelum tawaran itu diberikan, Pak Hamdan memergoki saya sedang bekerja di sebuah kafe sebagai pramusaji. Saya melakukan pekerjaan itu karena terpaksa, keluarga saya sedang dalam masalah. Ibu pergi setelah ayah dipecat, dan ayah pergi ke Kalimantan dan tak memberi kabar sampai sekarang. Saya sendirian, satu-satunya yang terpikir saat itu adalah mendapatkan uang agar bisa bertahan hidup. Jadi, saat melihat ada lowongan pekerjaan sebagai pekerja paruh waktu, saya langsung mengajukan diri.” Aqni menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Saya baru bekerja selama seminggu saat Pak Hamdan memergoki saya. Keesokan harinya, saya dipanggil ke ruang BK. Pak Hamdan berjanji tidak melaporkan saya ke pihak sekolah, dengan syarat saya harus mau membantu di kelas tambahan, bahkan Pak Hamdan menjanjikan akan memberi saya uang lelah yang dapat saya pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari.”

“Anak ini sangat pandai mengarang cerita.” Pak Hamdan mendengus sebal di belakang Kepala Sekolah.

“Saya tidak mengada-ada, Pak. Apa yang saya katakan adalah kejadian yang sebenarnya,” ujar Aqni.

“Jadi, kamu menuduh saya berbohong?!” sahut Pak Hamdan. “Lagi pula, apa untungnya bagi saya berbohong?”

“Saya tidak tahu apa keuntungan yang Bapak dapatkan. Saya hanya menceritakan kebenaran,” Aqni menyahut dengan mantap.

“Anak ini!” geram Pak Hamdan.

“Pak Hamdan, tolong tenangkan diri Bapak,” ujar Kepala Sekolah. “Silakan lanjutkan, Aqni.”

“Baik, Pak.” Aqni melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan segalanya, tak menutupi satu kisah pun.

“Saya tahu, saya melakukan kesalahan, Pak, dan saya tidak akan mengingkarinya. Saya siap menerima konsekuensinya, hanya saja saya ingin Bapak mempertimbangkan apa yang sudah saya katakan. Kasihani saya, Pak, saya masih ingin sekolah,” Aqni memohon. “Beri saya kesempatan lagi, Pak. Kali ini, saya akan berusaha sebaik-baiknya.”

“Jangan sampai Anda percaya kata-kata anak ini, Pak Kepala Sekolah. Anak-anak sekarang sangat pandai mengarang kisah bohong agar tidak dipersalahkan. Lagi pula, kita tidak bisa memertahankannya di sini. Para orangtua siswa akan marah, sekarang saja mereka sudah menuntut agar anak ini dikeluarkan.”

Aqni tidak mengerti mengapa orangtua siswa terlibat dalam masalah ini. Lalu ia teringat kata-kata Kepala Sekolah tentang berita yang sudah menyebar ke publik, tapi ia belum tahu kabar yang bagaimana yang beredar.

“Tetap membiarkannya di sekolah ini akan membuat reputasi sekolah kita tercoreng, Pak. Apalagi sebentar lagi kita akan membuka pendaftaran siswa baru, itu akan─”

“Pak Hamdan, bisakah Anda diam sebentar dan biarkan saya menelaah masalah ini,” ujar Pak Kepala Sekolah. Pak Hamdan pun langsung diam, dan mengarahkan matanya kepada Aqni dengan mengintimidasi. Aqni menunduk dalam, tak sanggup membalas tatapan gurunya itu.

“Setelah mendengar pembelaanmu, Bapak memerlukan waktu─” Terdengar keributan di luar ruangan. “Apa yang terjadi di luar sana.”

Aqni berputar ke arah pintu, sedang Pak Hamdan bergegas ke jendela di dekat pintu dan mengintip keluar. Guru BP itu terlihat terkejut, kemudian dengan terburu-buru menghampiri Kepala Sekolah.

“Ada apa , Pak Hamdan?” tanya Kepala Sekolah.

“Ada banyak siswa di luar sana, Pak.”

“Siswa kelas berapa? Apa yang mereka lakukan?”

“Siswa kelas tambahan,” jawab Pak Hamdan. “Saya tidak tahu apa yang mereka inginkan.”

***

Sementara itu, di luar ruang Kepala Sekolah. Bu Riska, Pak Syamsul, dan beberapa guru lainnya tengah menahan siswa-siswa S Class.

“Tenang, Anak-anak, tenang. Kami tidak bisa mendengar kalian, jika kalian bicara bersamaan!” Pak Syamsul meninggikan suaranya agar didengar. Berangsur-angsur siswa mulai diam. “Nah, jika seperti ini, kan, enak. Silakan yang mewakili berbicara.”

Mehran maju selangkah. “Kami ingin menemui Kepala Sekolah,” ujarnya.

“Kalian ingin menyampaikan sesuatu kepada Bapak Kepala Sekolah, itu bagus. Tapi saat ini Bapak Kepala Sekolah sedang sibuk, kalian kembali saja dulu, nanti Bapak Kepala Sekolah akan menemui kalian di ruang S Class,” jawab Pak Syamsul.

“Kami tidak bisa menunggu, Pak. Kami ingin bertemu dengan Kepala Sekolah sekarang, ada hal penting yang ingin kami sampaikan,” kata Mehran.

“Apa pun itu, Anak-anak, pasti bisa menunggu sampai Bapak Kepala Sekolah selesai dengan urusan beliau,” ujar Pak Syamsul.

“Masalahnya, ini menyangkut urusan yang sedang Pak Kepala Sekolah tangani di dalam sana,” Laylah ikut bicara. “Jadi, tolong kami, Pak. Biarkan kami menemui Pak Kepala Sekolah. Beliau harus tahu kebenarannya.”

“Kebenaran apa yang kalian maksud?” tanya Bu Riska.

“Kebenaran tentang Aqni, Bu,” jawab Kanita. “Aqni tidak bersalah, Bu. Dia tidak seperti yang seseorang sebarkan di media sosial. Semua itu fitnah,” Kanita menambahkan dengan menggebu-gebu.

“Kami tahu dan yakin Aqni tidak bersalah, Bu,” Mikail ikut bicara.

“Dan kami ingin Pak Kepala Sekolah mendengarkan kami, sebelum memberikan hukuman apa pun terhadap Aqni,” Yuan menambahkan.

“Sikap kalian sangat baik ingin membantu teman kalian, tapi saat ini─”

Pintu ruang kepala sekolah terbuka sebelum Bu Riska sempat menyelesaikan kalimatnya. Kepala sekolah berdiri di ambang pintu dan menatap siswa S Class yang berkumpul di depan ruang kepala sekolah. Keadaan menjadi senyap dalam sekejap.

“Kalian kembali ke ruang kelas tambahan, kita akan membicarakan masalah ini di sana,” titah Kepala Sekolah.

Para siswa mengangguk, kemudian membubarkan diri dan menuju ruang S Class.

Terpopuler

Comments

Febi Miftah Rianti

Febi Miftah Rianti

Guru BK kok seperti itu.. Jahat sekali

2020-10-29

1

indy kalia

indy kalia

p hamdan trnyata jahat

2020-05-03

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!