“Pesanan meja tiga.”
Aqni mengangkat nampan berisi dua gelas jus alpukat dan melangkah ke meja nomor tiga di dekat pintu masuk kafe. Sesampainya di tujuan, gadis berkuncir kuda itu meletakkan kedua gelas dengan hati-hati di masing-masing pengunjung kafe yang duduk berhadapan.
“Selamat menikmati,” ucapnya sebelum beranjak.
Belum sampai ke meja bar yang berada di bagian belakang kafe, Aqni terpaksa berbelok karena melihat salah satu tamu melambaikan tangan.
Sesampainnya di meja sepuluh Aqni mengeluarkan notes pesanan dan bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”
“Satu cola dan sandwich tuna.”
“Ada lagi?”
Si tamu menggeleng dan Aqni segera melangkah ke bagian belakang kafe untuk menyerahkan catatan pesanan dan langsung membawa satu nampan berisi seporsi nasi goreng dan jus jeruk ke meja bernomor delapan.
“Terima kasih sudah menunggu. Ini pesanan Anda─” Kata-kata Aqni menggantung di udara. Matanya membelalak ngeri dan jantungnya berpacu dalam entakan yang menyakitkan. “Pa-pak Hamdan?” Ia menelan ludah dengan susah payah ketika mengenali tamu di meja delapan.
“Iya. Ini saya,” jawab pria bertubuh besar itu. Matanya tepat mengarah pada Aqni. “Anak-anak sekarang memang suka seenaknya, ya. Padahal di peraturan sekolah jelas ada aturan tidak boleh kerja sambilan, tapi masih melanggar juga.”
Wajah Aqni memucat. “I-itu ... a-anu ....”
“Besok temui Bapak di ruang BK.” Setelah mengatakan itu Pak Hamdan berlalu, meninggalkan Aqni yang terduduk lemas di kursinya. Bahkan saat ada anak yang meminta jumlah pembayaran ia tak menghiraukan. Aqni sibuk memikirkan apa yang akan terjadi padanya besok.
***
Aqni melangkah dengan gugup di koridor sekolah yang ramai. Tangannya terasa lembab sehingga berkali-kali ia menyapukannya ke rok motif kota-kotak hitam selutut yang menjadi bagian seragamnya bersama kemeja putih dan dasi berbentuk pita. Sementara siswa lain bergegas menuju kantin untuk mengisi perut yang keroncongan karena sudah tengah hari, Aqni mengambil arah berlawanan, menuju ruang Bimbingan Konseling. Di waktu istirahat pertama tadi, ia sudah pergi ke sana, tapi Pak Hamdan menyuruhnya kembali saat istirahat makan siang. Entah guru BK itu memang sibuk, atau sengaja membuat Aqni gugup dengan menyuruhnya menunggu. Aqni lebih memilih kemungkinan pertama, karena kemungkinan kedua membuat Pak Hamdan terlihat jahat di matanya.
Ia baru saja hendak mengetuk pintu ruang BK, ketika pintu kayu bercat cokelat itu terbuka. Seorang gadis berkulit sawo matang berdiri di ambang pintu. Gadis itu tak berkata apa-apa, tapi tatapan matanya cukup untuk membuat Aqni beringsut ke pinggir dan memberi jalan.
“Laylah!”
Gadis di ambang pintu itu menoleh ke dalam ruangan.
“Ingat, besok pakailah seragam yang benar.” Terdengar suara Pak Hamdan dari dalam ruangan.
Gadis bernama Laylah itu tersenyum. “Bagi saya, seragam ini sudah benar kok, Pak,” sahutnya. Laylah memandang Aqni dari atas hingga bawah, kemudian mencibir melihat penampilan Aqni yang 180 derajat berbeda dengannya. “Sepertinya, ini hari yang sibuk buat Pak Hamdan. Bukan hanya anak bermasalah, anak rajin juga disuruh datang ke BK. Kamu bikin salah apa? Pacaran di kelas, ya?”
Andai tidak terlalu gugup Aqni pasti sudah membalas Laylah. Namun, ia tak sempat memikirkan balasan, karena Pak Hamdan muncul. Guru BK itu menyuruh Laylah pergi, dan meminta Aqni masuk ke ruang BK.
Insiden dengan Laylah terlupakan dengan cepat, kini Aqni sibuk mengatur ritme jantungnya agar lebih tenang. Berhadapan dengan guru BK dalam keadaan yang tak menguntungkan seperti ini memerlukan segenap ketenangan dan kepercayaan diri. Jujur saja, Aqni jarang sekali harus berhadapan dengan guru dalam keadaan seperti ini. Biasanya ia selalu mendapat pujian, menjadi kebanggaan sekolah, bukannya anak yang melanggar aturan. Namun, Aqni tak mampu berbuat apa-apa tentang hal itu. Masalahnya, ia memerlukan uang.
Tiga bulan yang lalu ayahnya dipecat dan sampai sekarang masih pengangguran. Ibunya, yang tak tahan hidup susah, memutuskan meninggalkan suami dan anaknya dengan semua tabungan dan uang keluarga. Aqni beruntung masih bisa sekolah di SMA Harapan, sebuah SMA Swasta yang iuran bulanannya mencapai tujuh digit, dengan beasiswa penuh dari yayasan. Aqni memang siswa pandai dan berprestasi, makanya ia diberi beasiswa penuh. Walau tidak harus pusing untuk masalah uang sekolah, Aqni tetap dibuat kelimpungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebulan lalu, ayahnya pergi ke Kalimantan untuk bekerja di perkebunan karet dengan meninggalkan sedikit uang yang hanya cukup untuk biaya hidup seminggu. Ayahnya tak bisa dihubungi, karena itu mau tak mau Aqni harus mencari cara agar bisa bertahan, dan satu-satunya cara adalah dengan bekerja, walau harus melanggar aturan sekolah.
Dan kini, ia harus berhadapan dengan konsekuensi pelanggaran itu. Jika ia tak bisa menangani situasi dengan baik, besar kemungkinan beasiswanya akan dicabut dan Aqni terpaksa berhenti sekolah.
“Kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita bicarakan,” Pak Hamdan membuka pembicaraan.
Aqni mengangguk. “Iya, Pak.”
“Kamu tahu di mana kesalahanmu?” tanya Pak Hamdan.
“Tahu, Pak.”
“Dan tahu konsekuensinya?”
Aqni menggigit bibir.
Pak Hamdan menghela napas. “Kamu anak yang baik, Aqni. Rajin, pandai, berprestasi. Tidak seharusnya kamu melakukan ini,” ujarnya.
“Saya tak punya pilihan, Pak,” Aqni membela diri, “Saya perlu uang untuk biaya hidup.”
Sebelah alis Pak Hamdan terangkat. “Di mana orangtuamu?”
“Ibu pergi entah ke mana, dan Ayah mungkin ada di Kalimantan,” jawab Aqni.
“Mungkin?”
Aqni mengangkat bahu. “Saya belum mendengar kabar dari Ayah. Terakhir kali kami bicara sebelum Ayah berangkat, waktu itu Ayah bilang akan ke Kalimantan untuk kerja di perkebunan karet atau sawit.”
“Jadi, sekarang kamu sendirian?”
Aqni mengangguk. “Saya tahu, bekerja sambilan melanggar aturan sekolah. Tapi saya tak punya pilihan. Jika ingin bertahan, saya harus bekerja, tapi saya juga ingin tetap sekolah.”
Pak Hamdan kembali menghela napas. “Biarkan Bapak berpikir sebentar,” ujarnya.
Menurut, Aqni mengunci mulut dan membiarkan Pak Hamdan berpikir dalam ketenangan.
“Saya punya solusi,” kata Pak Hamdan beberapa saat kemudian. “Ini bukan hanya akan menyelesaikan masalahmu, tapi juga masalah Bapak dan siswa-siswa lainnya. Anggap saja, bantuan untuk sekolah.”
“Apa solusi yang Bapak punya?” tanya Aqni.
Pak Hamdan membuka laci meja, mengeluarkan sebuah map biru. “Bapak berencana membuat kelas belajar khusus bagi anak-anak yang nilainya tidak mencapai KKM. Di kelas ini mereka akan belajar intensif agar bisa menaikkan nilai mereka dan tak mendapat hambatan untuk bisa naik ke kelas 12.”
Aqni menyimak dengan saksama semua yang dikatakan Pak Hamdan.
“Kelas ini sudah memiliki guru pengampu, tapi Bapak juga ingin ada yang bertanggung jawab untuk mengawasi kelas ini. Anak-anak ini,” Pak Hamdan menunjuk map biru, yang di dalamnya terdapat daftar nama siswa yang harus mengikuti kelas tambahan. “perlu diawasi, dijaga, juga dibantu. Kamu bisa memegang tanggung jawab itu?”
Mata Aqni melebar tak percaya. Ia akan diberi tanggung jawab mengawas kelas khusus. Itu sama sekali tak pernah terpikir olehnya.
“Jika kamu mau melakukan tugas ini, Bapak akan tutup mulut soal kerja sambilanmu.”
“Jadi, saya tetap bisa kerja, Pak?” tanya Aqni penuh harap.
“Tidak,” jawab Pak Hamdan tegas. “Kamu harus segera berhenti. Lagi pula jika mengawas kelas tambahan kamu tidak akan punya waktu untuk kerja sambilan. Kelas tambahan dimulai pukul 3 dan berakhir pukul 6 sore.”
“Tapi, Pak ... saya ....” Aqni tak mampu meneruskan kata-katanya.
“Saya mengerti, kamu perlu uang untuk biaya hidup, kan?”
Aqni meringis menahan malu. Mengungkap betapa tak berdayanya ia dalam masalah uang sungguh amat sangat memalukan, sebab sebelum ini ia hidup dengan nyaman tanpa perlu pusing memikirkan berapa uang yang ia habiskan untuk belanja dan jajan.
“Bapak akan mengatur itu,” kata Pak Hamdan. “Kamu akan mendapat uang lelah dari mengawas kelas tambahan.”
Aqni ingin bersorak saking senangnya, tapi karena masih berada di ruang BK, ia menahan diri. Walau senyum lembar di wajahnya tetap tak bisa ia tahan.
“Bapak serius?” tanyanya tak percaya.
“Ya, Bapak serius,” jawab Pak Hamdan meyakinkan. “Apa kamu bisa memegang amanah mengawas kelas khusus?”
Mengangguk mantap, Aqni menjawab dengan penuh keyakinan. “Saya sanggup, Pak.”
“Bagus. Nanti sepulang sekolah kamu kembali ke sini, kita akan membicarakan tentang kelas khusus ini bersama Pak Syamsul dan Bu Riska.”
Aqni semakin senang ketika Pak Hamdan menyebut nama dua guru favoritnya. Pak Syamsul dan Bu Riska adalah dua guru yang sangat baik terhadap Aqni.
“Sekarang kamu boleh pergi.”
“Terima kasih, Pak.”
Aqni sudah setengah jalan ke pintu, ketika Pak Hamdan memanggilnya. “Bapak harap soal kerja sambilan dan uang lelah itu tidak kamu katakan kepada orang lain, karena itu adalah kebijakan pribadi Bapak. Bukan hanya kamu, tapi Bapak juga akan kena masalah kalau hal itu sampai ketahuan. Mengerti?”
“Saya mengerti, Pak.” Setelahnya, Aqni melangkah keluar dari ruang BK dengan perasaan riang. Bahkan saat sebuah bola basket hampir mengenai kepalanya ia tidak protes, ia bahkan memungut bola itu dan mengembalikannya pada siswa yang tengah bermain di lapangan.
“Lain kali hati-hati mainnya,” ujar Aqni.
“Yep. Makasih, Aqni.”
Aqni menelengkan kepala. Bingung dari mana pemuda tinggi itu tahu namanya. Namun, ia tak punya waktu lama-lama memikirkan pemuda itu karena bel masuk sudah menggema di seantero sekolah. Ia bergegas menuju kelasnya yang jaraknya masih jauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Ann Soe
🙂🙂🙂
2020-03-13
2