Setengah jam kemudian Aqni berpamitan pada orangtua Yuan. Om Yahya menawarkan sopirnya untuk mengantar Aqni pulang, tapi ia menolak dan mengatakan akan memakai jasa ojek online saja. Belum sempat Aqni memesan ojek, Yuan masuk ke rumah dengan marah. Mata pemuda itu langsung menemuka Aqni dan menghampirinya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?!”
Wajah Aqni memucat berhadapan dengan kemarahan Yuan. “A-aku ....” Tergagap, ia tak dapat menjawab.
“Apa sih masalahku denganmu? Kenapa kamu ikut campur dalam kehidupanku?”
Aqni mengeret di sofa menghadapi ledakan emosi Yuan. Om Yahya dan Tante Ayesha mencoba membantu Aqni, tapi Yuan terlalu dikuasai kemarahan untuk mendengar perkataan orangtuanya.
“Keluar dari rumahku! KELUAR!!!”
Sambil memeluk ranselnya erat-erat, Aqni berlari ke pintu, bergegas keluar dari pagar, dan tak menoleh lagi ke belakang.
Senja sudah berlalu, langit mulai terlihat gelap. Aqni kebingungan mencari tujuan, karena ia tadi keluar dengan asal dari rumah Yuan. Merasa dirinya tersesat, Aqni menepi masuk ke bawah kanopi toko yang sudah tutup sementara hujan turun dengan tiba-tiba. Hujan yang turun dengan lebat mengganggu sinyal ponsel Aqni, yang kualitasnya memang tak terlalu baik, sehingga ia tak bisa mencari tahu keberadaannya lewat aplikasi maping, maupun memanggil ojek online. Menggigil dalam udara yang semakin dingin, Aqni hanya bisa menunggu sampai hujan reda dan ponselnya mendapatkan sinyal.
Sendirian Aqni menatap bulir air yang turun membasahi bumi. Datang ke rumah Yuan bukanlah keputusan yang salah, hanya saja akhirnya tidak terlalu bagus. Mungkin setelah mendapat penjelasan dari orangtuanya amarah Yuan akan surut, dan mungkin akan menyusul Aqni. Ia hanya bisa berharap, kan?
Kedinginan, Aqni memeluk tubuhnya, berharap dirinya membawa jaket di dalam ransel agar dapat merasa lebih hangat. Sayang, jaketnya ia tinggalkan di rumah tadi pagi. Kegelapan semakin pekat, dan tanpa lampu sebagai penerangan Aqni merasa sedikit ketakutan.
Rasa takut Aqni semakin parah tatkala sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Aqni mundur, tapi kemudian menyadari jika ia bergerak ke belakang tak akan ada jalan keluar. Jadi, ia mengarah ke sisi lain, menjauhi mobil, dan memikirkan rute pelarian terbaik. Pilihan terbaik adalah menyusuri jalan yang ia lewati tadi dan kembali ke rumah Yuan. Ia akan meminta Om Yahya meminjamkan mobil dan sopir untuk mengantarnya pulang.
Pintu mobil terbuka, dan Aqni bersiap untuk lari. Namun suara familiar membuat Aqni menghentikan gerakannya.
“Aqni!” Pemuda itu berseru di antara gemuruh hujan. Kepala Aqni tertoleh, membelalak tak percaya melihat siapa yang muncul di hadapannya.
“Mehran?” Aqni menghela napas lega. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya.
“Tadi aku mengantar Yuan pulang,” jawab Mehran. “Saat berhenti di warung sate di dekat rumah Yuan, aku melihatmu keluar dari rumah Yuan. Aku berusaha memanggil, tapi kamu berjalan sangat cepat. Aku menyusulmu tapi kamu tidak terlihat. Aku sampai dua kali memutari jalan ini untuk menemukanmu.”
“Kamu menyusulku?” tanya Aqni. “Kenapa?”
“Karena aku khawatir,” jawab Mehran tanpa sempat menahan diri. “Ma-maksudku, aku ....” Pemuda itu tak mendapatkan kata yang tepat untuk mengelak.
“Terima kasih,” ucap Aqni penuh syukur. “Aku benar-benar ketakutan tadi.”
“Ayo, masuk ke mobil. Aku akan mengantarmu pulang.” Aqni mengekori Mehran masuk ke dalam mobil, dan langsung bersandar di jok penumpang setelah berada di dalam.
Mehran melajukan mobil, meninggalkan emperan toko tempat Aqni berteduh tadi dengan cepat. “Apa yang kamu lakukan di rumah Yuan?” tanya Mehran.
“Boleh nggak sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku nanya duluan,” ujar Aqni.
Mehran mengangguk.
“Kamu punya air minum nggak? Kalau ada sama camilan sekalian. Aku lapar.”
Mehran tak dapat menahan tawanya. “Kalau gitu kita singgah di warung makan aja. Di dekat sini ada warung soto yang enak. Dingin-dingin begini, lebih enak makan makanan berkuah yang hangat.”
Aqni setuju saja karena perutnya sudah berdendang minta jatah makanan.
***
Beberapa menit kemudian Mehran menepikan mobilnya di parkiran sebuah restoran.
“Kamu bilang mau mengajakku ke warung makan,” Aqni memprotes. Memikirkan harus membeli makanan di tempat ini membuat perut Aqni mulas. Tadi ia sudah mengeluarkan uang ekstra untuk ongkos ojek, Aqni tak mau menambahnya lagi dengan membeli makanan di tempat seperti ini. Bisa-bisa ia tidak makan seminggu.
“Ini memang warung makan.” Mehran menunjuk ornamen nama restoran yang menempel di bagian depan. Di sana tertulis “Warung Makan Hj. Maimunah”. Walau tertulis warung, tapi tetap saja tempat itu adalah restoran.
“Kalau kupikir-pikir lagi sebaiknya kamu antar aku pulang saja. Aku tidak terlalu lapar,” ujar Aqni, tapi perutnya berkhianat dengan berbunyi nyaring.
“Kamu jelas lapar, tapi nggak mau makan,” ujar Mehran, “Kenapa? Nggak mau makan bareng aku?”
Aqni menggeleng. “Bukan begitu. Hanya saja ....” Mengakui pada Mehran bahwa ia tidak punya uang rasanya sangat sulit dan memalukan. “A-aku ... tidak bawa uang,” Aqni mengatakannya dengan suara lirih, yang langsung mengundang tawa Mehran.
“Astaga, kupikir apa, ternyata masalahnya itu toh,” ujar Mehran geli. “Tenang saja, aku yang traktir. Anggap aja ucapan terima kasih karena sudah mau kurepotkan setiap hari.”
Wajah Aqni berbinar. “Serius?”
“Masalah perut mana bisa bercanda,” sahut Mehran.
“Makasih, ya,” ucap Aqni girang.
“Makasihnya nanti aja kalau sudah kenyang.” Mehran menjangkau ke belakang jok mobil, menarik keluar sebuah payung lipat. “Cuma ada satu, kamu pakai.” Mehran menyerahkan payung itu pada Aqni.
“Payungnya gede, kan? Pakai sama-sama aja,” kata Aqni.
“Yakin?” Mehran memastikan.
“Yakin. Memangnya kenapa?” tanya Aqni bingung.
“Nggak papa,” jawab Mehran. “Bentar aku turun duluan.” Mehran membuka pintu kemudian payung, lalu turun dari mobil dan berputar ke sisi Aqni.
Aqni membuka pintu, Mehran langsung bergerak mendekat, memayunginya. Ia segera merapat ke Mehran, tapi menjauh kembali karena jantungnya jumpalitan berada terlalu dekat dengan pemuda itu. Air hujan membasahi bahu Aqni, Mehran segera melindunginya dari air hujan walau harus mengorbankan bahunya sendiri.
***
Satu jam kemudian mereka kembali ke mobil dengan perut kenyang. Sepanjang acara makan tadi, Mehran mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang Aqni kerjakan di rumah Yuan. Aqni tak mempunyai alasan untuk berbohong, jadi ia menceritakan semuanya, dan ujung-ujungnya membuat Mehran kesal karena merasa Yuan memperlakukan Aqni dengan sangat buruk. Bahkan di mobil pun pemuda itu masih mendumel.
“Aku nggak nyangka Yuan bisa seperti itu. Mengusirmu begitu saja setelah apa yang kamu lakukan buatnya.”
“Yuan belum tahu apa yang terjadi, makanya dia bersikap begitu,” Aqni mencoba menyikapinya dengan tenang.
“Walau begitu dia tetap tidak harus melakukan hal itu. Mengusirmu di tengah hujan, memangnya dia tidak punya hati?”
“Saat itu hujan belum turun.” Aqni masih mencoba menyabari Mehran. “Lagi pula, Om Yahya sudah menawarkan untuk mengantarku pulang, tapi aku menolak.”
Mehran mendengus sebal, tapi tak berkata apa-apa lagi.
“Boleh aku nanya sesuatu?” ujar Aqni.
“Tuh, udah nanya.”
Aqni cengengesan. “Bukan yang itu.”
“Lalu apa?”
“Kamu punya SIM, kan?” tanya Aqni hati-hati.
“Punya.”
Aqni menghela napas lega. “SIM A?”
“SIM C.”
“Mehran! Itu SIM untuk pengemudi motor, bukan mobil!” Aqni memekik kaget.
“Sama aja, surat izin mengemudi juga,” sahut Mehran.
“Beda!”
“Alah, anggap aja sama,” tanggap Mehran dengan santainya
“Kalo beda, ya, tetap beda,” protes Aqni.
Mereka berdebat sepanjang perjalanan pulang hingga Aqni lupa memberi alamatnya pada Mehran. Namun yang anehnya, Mehran berhasil mengantar Aqni sampai depan rumah.
***
Aqni melompat turun dari tempat tidur keesokan paginya sambil memekik ngeri. Pukul setengah tujuh. Ia terlambat bangun. Aqni tidur begitu lelap semalam hingga tak mendengar bunyi alarm ponsel maupun wekernya. Mengambil handuk dan seragam, ia berlari ke kemar mandi. Sepuluh menit kemudian ia sudah siap berangkat sekolah. Setelah membubuhkan bedak dan pelembab bibir sekadarnya, Aqni mencomot kaos kaki dan sepatu, kemudian tasnya. Untung saja semalam, Aqni sudah menyiapkan buku pelajaran hari ini sehingga bisa sedikit menghemat waktu. Ia tak sempat membuat sarapan, dan tak ada simpanan roti maupun sereal yang bisa ia makan sehingga ia berangkat sekolah dengan perut kosong.
Pukul tujuh kurang sepuluh, Aqni mengunci pintu rumah sembari berpikir jika ia berlari atau berjalan cepat melalu jalan-jalan pintas ke sekolah, ia masih sempat sampai di sekolah sebelum bel masuk berbunyi pukul setengah delapan. Sepertinya pagi ini ia harus berolahraga demi menghemat ongkos ojek, yang bisa dipakai untuk membeli makanan nanti siang. Jumlah uang hasil penjualan ponselnya hanya tinggal sedikit karena sebagian harus Aqni gunakan membeli bahan kebutuhan pokok dan membayar tagihan listrik dan air, juga membeli gas. Dengan sisa uang yang tak banyak dan belum mendapat kabar dari ayahnya, Aqni harus pintar berhemat. Jika tak harus, ia tak boleh mengeluarkan uang.
Aqni baru saja menutup pagar kayu setinggi satu setengah meter yang mengelilingi rumahnya, ketika matanya mendapati Mehran duduk di atas motor matic di dekat pagar.
“Kok kamu di sini?” tanya Aqni seraya menghampiri Mehran.
“Nungguin kamu,” jawab pemuda itu.
“Ada urusan apa?” Aqni menelengkan kepala karena bingung.
“Pengen jemput,” sahut Mehran.
“Emangnya aku minta jemput?” Aqni semakin bingung.
“Kamu kebanyakan tanya deh. Cepat naik, kita berangkat, ntar telat lagi.” Mehran menepuk-nepuk jok penumpang di bagian belakang.
Tak ingin terlambat ke sekolah, Aqni segera naik di belakang Mehran. Mengambil helm yang disodorkan pemuda itu dan memakainya. Mehran mengangkat sesuatu ke depan mata Aqni, terlalu dekat sehingga ia harus mendorong tangan Mehran sedikit agar dapat melihat apa yang dipegang pemuda itu. Ternyata yang ditunjukkan Mehran adalah SIM C.
“Kutunjukkan sebelum kamu nanya,” jelas Mehran, “dan aku juga punya STNK-nya.”
Aqni tersenyum. Rupanya Mehran tak mau berdebat lagi dengannya seperti tadi malam sehingga memilih membawa motor dan menunjukkan surat-surat penyertanya.
“Aku siap,” ujar Aqni.
“Nggak mau nyuruh aku jangan ngebut?” tanya Mehran.
Aqni menggeleng. “Kamu boleh ngebut dikit soalnya kita hampir telat,” jawab Aqni.
“Siap, Bos!”
Motor yang dikemudikan Mehran melesat, dan Aqni tak perlu khawatir tentang datang terlambat ke sekolah.
***
Mereka tiba di sekolah lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. Mehran menyerahkan sebuah kantong kertas─yang masih terasa hangat─pada Aqni setelah mereka turun dari motor dan beranjak dari parkiran.
“Apa ini?” tanya Aqni.
“Sarapan buatmu. Kamu belum makan, kan?”
Aqni mendongak menatap Mehran. “Tahu dari mana?”
“Emang perlu dijelasin?” Mehran balas bertanya.
“Kan aku mau tahu.”
“Kalau aku nggak mau ngasih tahu?”
“Harus ngasih tahu, dong.”
“Nggak bisa, ya, terima aja tanpa banyak tanya?”
“Nggak bisa. Karena segala sesuatunya harus─” Kata-kata Aqni menggantung tak terselesaikan. Di kejauhan ia melihat Yuan mendekat. Refleks Aqni mmenggunakan tubuh Mehran untuk menyembunyikan diri, membuat Mehran menatap bingung sebelum menoleh ke belakang.
Mengetahui siapa yang datang, Mehran berbalik dan memosisikan diri di depan Aqni. Belum sempat Yuan bersuara, Mehran sudah berkata dengan sengit, “Mau apa lagi?”
Seketika mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Di jam seperti ini para siswa memang sedang ramai-ramainya datang ke sekolah.
Aqni menarik-narik seragam Mehran agar pemuda itu sedikit menahan diri.
“Bisa aku bicara dengan Aqni sebentar?” pinta Yuan.
“Nggak!” sahut Mehran.
Bukan marah, malah Yuan terlihat geli melihat sikap overprotective yang ditunjukkan Mehran.
“Bentar aja, Bro. Pacarmu nggak bakal kuapa-apain, kok.”
“Mehran bukan pacarku!”
“Aqni bukan pacarku!”
Sahut Aqni dan Mehran bersamaan.
Terdengar suara tawa Yuan. “Baiklah, terserah kalian saja,” ujarnya, “aku cuma pengen minta waktu Aqni sebentar. Aku mau ngomongin soal kemaren.”
“Oh, soal kamu yang ngusir Aqni dan ngebiarin dia pulang hujan-hujanan?”
Berkat kata-kata Mehran tawa hilang dari wajah Yuan.
“Kamu keterlaluan. Mengusirnya malam-malam waktu hujan pula. Kamu nggak mikirin gimana caranya dia pulang?”
Pembicaraan mereka semakin menjadi magnet bagi siswa lain.
Yuan memucat. “Aku nggak mikirin itu sama sekali,” ujarnya merasa bersalah. “Kemarin kamu pulang gimana?”
“Aqni datang buat balikin bukumu, malah kamu perlakukan seperti itu. Punya hati nggak kamu?”
Yuan tertunduk. Rasa bersalah semakin besar di dalam dirinya.
Melihat itu Aqni merasa kasihan. Ia menarik tangan Mehran, sebagai isyarat meminta pemuda itu berhenti memojokkan Yuan.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak tahu kalau kemarin ... aku salah paham, dan langsung marah padamu. Aku─seharusnya aku ....” Yuan tak dapat berkata dengan jelas.
Aqni keluar dari persembunyiannya di belakang Mehran. “Udah aku maafin, kok,” ujarnya.
Kepala Yuan terangkat. Mencari kesungguhan di mata Aqni.
“Aku ngerti kalau kemaren itu hanya salah paham. Aku tahu kamu nggak punya niat jahat sama sekali,” kata Aqni.
Mehran mendengus, dan Aqni menyikutnya.
“Kamu beneran udah maafin aku?” Yuan masih sangsi.
Aqni mengangguk. “Iya.”
Yuan tersenyum. “Makasih banyak,” ucapnya. “Rasanya, makasih aja nggak cukup karena kamu sudah melakukan banyak untukku. Kemarin aku bicara dengan orangtuaku tentang impianku menjadi arsitek. Aku nggak menyangka mereka akan mendukung impianku, karena selama ini Papa selalu memaksaku untuk mengikuti jejaknya. Dan semua itu berkat kamu. Kamu mengubah pikiran Papaku.”
“Bukan aku, tapi rasa sayang orangtua ke anak yang membuat Papamu berubah pikiran. Jadi, kamu nggak perlu berterima kasih padaku,” kata Aqni.
“Tidak. Aku tetap akan berterima kasih padamu,” Yuan berkeras.
Aqni mengangkat bahu. “Terserahlah.”
“O ya, Mama ngundang kamu makan siang di rumah, katanya sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih,” kata Yuan.
“Bilangin ke Tante Ayesha nggak perlu repot-repot,” ujar Aqni.
“Tapi Mama maksa. Minggu nanti datang ke rumah, ya,” pinta Yuan. Aqni melirik Mehran yang berdiri tak acuh di sebelahnya. Menyadari itu, Yuan segera menambahkan, “Kamu boleh bawa teman, kok.”
Wajah Aqni seketika memerah, dan langsung ia sembunyikan dengan menunduk dalam.
“Bro, kita oke, kan?” Yuan beralih pada Mehran.
“Apanya?” Mehran menyahut acuh tak acuh.
“Ayolah, aku nggak mau berantem sama kamu. Nanti aku nggak punya teman lagi,” bujuk Yuan.
“Ck ....” Mehran berdecak. “Kalau Aqni sudah maafin kamu, aku bisa apa?”
Yuan langsung merangkul bahu Mehran. “Thanks, ya, Bro.” Yuan beralih pada Aqni. “Aku masih penasaran, gimana kamu pulang tadi malam?”
“Ah, itu ... aku─”
“Denganku.” Mehran memotong kata-kata Aqni.
Mulut Yuan membentuk huruf ‘O’ tanpa suara. Namun, senyum yang muncul di wajah pemuda itu menandakan sebuah kesimpulan sudah terbentuk di kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments