Target pertama penaklukan Aqni adalah Mehran. Karena Mehran yang berada paling dekat dengan Aqni dan masalah pemuda itu hanya satu yaitu kemalasan. Sebenarnya, kemalasan Mehran hanya muncul jika menyangkut pelajaran, lainnya tidak. Menurut data yang dikumpulkan Aqni, Mehran tidak pernah datang terlambat ke sekolah dan tak pernah melanggar aturan sekolah, artinya Mehran anak yang disiplin. Mehran juga punya ketertarikan khusus─selain ketertarikannya pada basket─dengan pelajaran boga, pemuda itu sangat bersemangat saat praktik memasak. Contohnya hari ini, saat anak-anak lagi jejeritan gaje karena harus praktek membersihkan dan memasak ikan, Mehran melakukannya dengan senang Mehran menyiangi ikan nila sambil bersenandung, membumbuinya, kemudian menggoreng ikan tersebut. Dan hasil masakannya ... tentu saja enak. Pemuda itu bahkan mendapat bintang emas dari guru boga, dan terlihat sangat bangga.
Jadi, kesimpulan Aqni. Mehran sebenarnya tidak buruk hanya malas dalam belajar, kecuali untuk hal-hal yang disukainya. Yang harus Aqni lakukan adalah membuat Mehran suka belajar, tapi itu butuh waktu lama, dan ia tak punya banyak waktu. UKK semakin dekat dan masih ada empat orang menunggu giliran setelah Mehran. Alhasil, Aqni mengambil shortcut─jalan pintas, yang dapat membuat Mehran mau belajar.
Jalan satu-satunya yang terpikir oleh Aqni adalah menantang Mehran.
“Aq, kamu yakin mau ngelakuin ini?” bisik Nana.
“Yakin seratus persen,” jawab Aqni sambil mengikat kencang tali sepatu olahraganya. “Memangnya kenapa? Kamu pikir aku bakal kalah?”
Nana tersenyum kecut. “Kamu itu pinter, Aq. Paling pinter di angkatan kita. Tapi kali ini, kamu ngelakuin hal bodoh. Menantang ace tim basket sekolah main basket one on one ....” Nana menggeleng pelan, “Kamu gila, apa?”
Gila? Enak aja! Aqni masih waras sewaras-warasnya. Ia hanya sedang melakukan pertaruhan nekad demi tetap bisa sekolah.
“Masih ada kesempatan untuk mundur,” Nana menyarankan.
Aqni mendelik tajam. “Aku nggak akan mundur!”
“Tapi─”
“Temanmu benar, sebaiknya kamu mundur sebelum kamu malu gara-gara kalah dariku.”
Dagu Aqni terangkat penuh keangkuhan mendengar kata-kata meremehkan dari Mehran. “Mungkin kamu yang harus bersiap malu karena aku tidak akan kalah,” tantangnya.
“Aku ini ace tim basket sekolah. Top scorer di kejuaraan basket tingkat SMA. Mana mungkin pemain sehebat aku ini kalah dari amatiran.” Mehran memandang Aqni sebelah mata.
Aqni memincingkan mata. “Dengar, ya, Tuan Sok Hebat, dalam setengah jam ke depan kamu akan menyesal sudah meremehkanku.”
“Bersiaplah membelikan makan siang untukku selama sebulan,” kata Mehran. Pemuda itu menjauh kemudian melakukan peregangan di dekat ring basket.
Napas Aqni memburu. Ia tidak boleh kalah. Sekarang bukan hanya beasiswa dan gengsi yang dipertaruhkan, tapi juga uang makannya selama sebulan. Bisa dibilang pertandingan ini tak memiliki manfaat jangka pendek untuk Aqni, bahkan berpotensi menimbulkan mudarat. Jika Aqni menang, Mehran akan ikut kelas tambahan secara sukarela, tapi jika Aqni kalah, Mehran akan mendapat makan siang secara gratis selama sebulan. Melihat cara makan Mehran yang rakus, Aqni tidak yakin uang sepuluh ribu akan cukup untuk sekali makan. Jangankan untuk memberi makan Mehran, untuk makan sendiri saja Aqni harus merelakan Apple-nya diganti dengan smartphone merk Cina.
Pokoknya Aqni sudah bertekad tidak akan kalah. Dengan cara apa pun ia kan memenangkan pertandingan ini.
Aqni pun melakukan peregangan. Sesekali matanya melirik Mehran yang terlihat santai. Rupanya pemuda itu benar-benar meremehkannya.
“Aku harap kamu punya kemampuan bermain basket seperti salah satu anggota GOM ,” ujar Nana.
Aqni meringis. Andai saja ia memiliki kemampuan salah satu dari tokoh fiksi itu, mungkin ia bisa mengalahkan Mehran. “Aku nggak perlu kemampuan Kiseki no Sedai untuk mengalahkan si gembul itu, hanya perlu bermain sebaik mungkin.”
Nana memandang Mehran, kemudian berkata dengan ragu, “Memangnya bisa ngalahin dia?”
“Bisa kalau usaha,” sahut Aqni.
“Good luck, deh, kalo gitu.”
“Kok kayak nggak ikhlas gitu sih?” Aqni memberengut.
“Bukannya nggak ikhlas, tapi ragu sama hasilnya,” jelas Nana.
“Yakinlah kepadaku,” kata Aqni.
“Yakin itu kepada Tuhan, bukan sama manusia,” sahut Nana.
“Kalau gitu, doain supaya datang keajaiban yang membuatku menang.” Setelah mengatakan itu, Aqni berjalan mendekati ring basket.
Agus bertindak sebagai juri pertandingan itu, dan anak-anak kelas XI IPS 1 menjadi penonton. Untungnya, saat itu memang jam pelajaran olahraga dan Pak Hardi memberikan jam bebas sehingga mereka bisa memilih olahraga apa saja untuk dimainkan. Tapi tak ada satu pun yang berolahraga, satu kelas lebih memilih duduk lesehan di sekeliling lapangan basket outdoor menonton pertandingan satu lawan satu antara Aqni dan Mehran.
“Siap?” Agus bertanya kepada kedua pemain.
“Tunggu!” Mehran mengangkat tangan. “Karena lawanku perempuan, dan sepertinya masih amatir,” kata Mehran dengan nada yang sengaja meremehkan Aqni.
Aqni mendengus sebal, tapi tidak membalas. “Biarkan keangkuhan yang akan menghancurkanmu nanti,” gumamnya.
“Kamu ngomong sesuatu, Aq?” tanya Agus.
“Nggak. Silakan lanjutkan,” jawab Aqni.
“Aku nggak mau memberatkan lawanku, jadi aku akan membatasi pertandingan ini sampai 5 poin. Siapa yang pertama kali memasukkan bola sebanyak lima kali ke dalam keranjang akan memenangkan pertandingan ini. Gimana?”
“Setuju,” jawab Aqni cepat yang langsung mendapatkan senyum meremehkan dari Mehran. Aqni tak peduli, selama menguntungkannya apa pun akan diterima.
“Baiklah, karena kedua pemain sudah setuju. Kita mulai permainannya.”
Priiittt!!!
Peluit sudah dibunyikan. Bola oranye dilempar tinggi ke udara. Aqni dan Mehran melompat berebut bola. Kalah postur membuat Aqni tak mendapatkan bola, ia bahkan hampir terjerembab mencium lapangan. Ketika Aqni berlari mengejar Mehran, pemuda itu sudah berada di bawah ring basket, dan dengan banyak gaya memasukkan bola ke keranjang.
Aqni mendengus sebal seraya memungut bola. Sekarang gilirannya menyerang. Ia mendribble bola sambil mencoba melewati pagar kokoh pertahanan Mehran. Dengan mudah Mehran mencuri bola, dan melakukan tembakan tiga angka.
“Kalau begini, sudah pasti dapat makan siang gratis selama sebulan,” kata Mehran pongah.
Sementara anak laki-laki bersorak untuk Mehran, yang perempuan meneriakkan dukungan untuk Aqni.
Permainan kembali dilanjutkan. Aqni membuka serangan lagi. Ia berhasil melewati Mehran dari sisi kiri, tapi Mehran bergerak cepat dan kembali menghalangi Aqni, bola kembali tercuri dari tangan Aqni, dan melesak masuk ke dalam keranjang.
Dengan selisih poin tiga angka, Aqni benar-benar memerlukan keajaiban untuk menang. Pandangan Aqni menyapu Nana, temannya itu terlihat khawatir. Sudah jelas Nana dan yang lainnya berpikir Aqni akan kalah, tapi ia belum mau menyerah.
Kembali memulai serangan, kali ini Aqni bergerak dengan lambat seolah dirinya sudah kelelahan. Hal itu membuat Mehran menurunkan penjagaan, dan kesempatan itu langsung dipergunakan Aqni bergerak ke sisi kiri. Tak menyangka akan gerakan cepat Aqni, Mehran tak sempat mengkover. Aqni melesat ke bawah ring dan memasukkan bola dalam gerakan yang lihai.
Tak mau cepat berpuas diri karena masih tertinggal, Aqni memasang penjagaan dengan ketat. Tak seperti sebelumnya, kali ini Mehran tak bisa dengan leluasa melewati Aqni. Frustrasi karena tak bisa melewati Aqni, Mehran kehilangan bola. Aqni kembali melesat ke ring dan melesakkan bola ke keranjang.
Sorakan terdengar. Para gadis semakin bersemangat memberi dukungan, begitupula yang laki-laki tak henti bersorak untuk Mehran. Kini, pertandingan itu bukan lagi tentang Aqni dan Mehran, tapi antara tim perempuan dan laki-laki.
Pertandingan bertambah seru dan penonton pun bertambah banyak. Anak-anak kelas lain ikut menyaksikan pertandingan itu, bahkan ada yang merekamnya dengan kamera ponsel. Poin sekarang empat sama. Siapa pun yang berhasil memasukkan bola akan menjadi pemenang.
Mehran membuka serangan. Mata pemuda itu yang berwarna cokelat madu menatap lurus ke arah Aqni, menantang Aqni. Bukan hanya pertandingan fisik, ini juga pertandingan psikologis. Angka terakhir! Aqni berniat mendapat angka terakhir lebih dulu. Ia tidak akan gagal di awal perjuangannya.
“Aq, kamu harus menang. Ingat beasiswanya!” Suara Nana terdengar sayup-sayup.
Kata-kata Nana sepertinya juga didengar Mehran, tatapan tajam pemuda itu berubah menjadi pandangan bingung, kewaspaandaannya pun melonggar sehingga dengan mudah Aqni mencuri bola dan berlari ke ring untuk memasukkan poin kemenangannya.
Tim perempuan bersorak, merayakan kemenangan Aqni dengan meriah, sementara tim laki-laki tertunduk malu karena jagoan mereka kalah.
“Kok bisa kalah sih, Bro?” Salah seorang siswa berkata.
“Kamu mainnya setengah hati nih,” timpal yang lain.
“Yep. Kan lawannya perempuan,” sahut yang lain lagi.
“Hoy, maksud kalian apa? Mehran ngalah gitu supaya Aqni?” Yang perempuan membalas, tak terima diremehkan.
“Kalau kalah ngaku aja kalah nggak usah banyak alasan,” yang lain menambahkan.
“Anak laki mah gitu, kalo kalah nyari alasan,” timpal yang lain.
Sementara yang lain bertengkar Aqni memungut kembali bola yang ia masukkan ke keranjang. Seharusnya ia merasa senang, tetapi tidak. Yah, perasaan senang itu memang ada, tapi tak sebesar yang ia sangka sebelumnya. Jujur saja, Aqni tak merasa benar-benar menang karena di saat terakhir tadi Mehran seperti dengan sengaja menyerahkan bola itu padanya.
“Hei, kamu menang tapi kok nggak kelihatan senang,” kata Agus.
“Seneng kok.” Aqni memasang senyum di wajahnya. Senyum yang segera luntur saat Mehran berdiri di depannya.
“Aku kalah. Aku akan mengikuti kata-katamu sesuai perjanjian,” ujar Mehran.
“Oke. Nanti kamu tidak boleh datang terlambat ke kelas tambahan, dan hari ini kamu harus mengerjakan semua soal yang diberikan,” kata Aqni.
“Tak masalah.” Mehran melangkah menjauh.
“Hey!”
Mehran menghentikan langkahnya dan menoleh. Sesuatu yang aneh terjadi, jantung Aqni melewatkan satu degupan saat melihat Mehran, dan seketika ia tak mampu berkata-kata. Kalau tidak disenggol Agus mungkin ia akan terus diam.
“Kutunggu di kelas hari ini. Jangan datang terlambat!”
“Aku terima apa pun hukuman darimu.” Mehran kembali melanjutkan langkah, meninggalkan Aqni di bawah ring basket dengan degup jantung yang tak beraturan.
“AQNI!!!”
Teriakan Nana menyadarkan Aqni.
“Tolong bantu melerai mereka!”
Aqni menghela napas. Ia, Nana, dan Agus harus bekerja keras mendamaikan dua kubu yang bertikai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments