Masalah Datang dengan Sendirinya

Seminggu sudah kelas tambahan berjalan, dan hasilnya mulai terlihat. Aqni menatap puas hasil tes simulasi pelajaran matematika siswa kelas tambahan, yang sudah dibagikan Jumat lalu, rata-rata nilainya sudah meningkat. Hal ini membuat Aqni optimis anggota kelas tambahan tidak akan mendapat masalah menghadapi ulangan kenaikan kelas nanti.

Dengan penuh semangat Aqni menuju kelas tambahan, sedikit tak menyangka akan melihat siswa lain datang lebih awal darinya. Walau tak disangka, itu tetap menjadi sesuatu yang menyenangkan. Menemukan anak-anak kelas tambahan mulai menunjukkan semangat belajar adalah kebahagiaan tersendiri bagi Aqni. Mungkin ia benar-benar punya impian terpendam menjadi pengajar, meskipun selama ini tak pernah berpikir untuk menjadi guru.

Ia menyapa anak-anak yang sudah datang dengan ceria. Di luar memang matahari terasa membakar kulit, tapi di dalam sini udara sejuk karena pendingin udara, jadi tak ada alasan untuk tidak bersikap ceria.

“Aqni, ada soal yang nggak kumengerti, bisa bantu?”

“Tentu.” Aqni dengan senang hati meninggalkan mejanya dan membantu siswa itu. Mereka hampir menyelesaikan soal itu, ketika Kanita masuk dan langsung menghampiri Aqni.

“Bisa jelaskan ini?” Kanita menutupi buku-buku di meja dengan kertas hasil ujian simulasi miliknya.

Aqni memandang kertas itu kemudian menatap Kanita. “Aku nggak ngerti. Apa yang perlu dijelaskan?” Ia kebingungan.

“Kenapa nilaiku cuma 95?”

Tatapan Aqni kembali ke lembar jawaban Kanita. “Karena kamu salah menjawab pertanyaan nomor 9,” jawabnya polos.

“Kenapa jawabanku salah?”

“Eh? Kalau itu ... karena jawabannya memang salah,” ujar Aqni.

“Kenapa bisa salah?!” Nada suara Kanita naik satu oktaf, jelas ia tak terlihat puas dengan jawaban Aqni.

Aqni memerhatikan lembar jawaban Kanita sekali lagi, memfokuskan diri pada soal nomor 9. “Kamu salah menjumlahkan di sini, seharusnya hasilnya minus lima, tapi kamu menulis plus lima. Jadi, sudah jelas jawaban di bagian akhirnya akan selisih.”

Kanita ikut memerhatikan lembar jawaban itu. “Aku tidak melakukan kesalahan,” ia berkeras.

“Tapi kamu memang salah,” ujar Aqni.

“Kamu sengaja menyalahkanku, ya, kan?”

“Tidak begitu. Kamu dapat nilai 95 karena memang jawabanmu salah,” Aqni berusaha menjelaskan, “lagi pula, bukan aku yang memeriksa tes simulasi kemaren tapi Bu Riska.”

“Mencoba membela diri dengan menyalahkan orang lain, heh?” tuduh Kanita, yang membuat Aqni naik pitam.

“Maaf, ya, tapi aku tak pernah menyalahkan orang lain jika memang aku yang berbuat salah,” sahut Aqni. “Masalahnya, memang bukan aku yang memeriksa hasil tes itu. Lagian, jawabanmu memang salah kok.”

“Tidak mungkin!”

“Mau bukti?” tantang Aqni.

“Tentu saja,” Kanita tak mau kalah.

“Mari bandingkan jawaban kita.” Aqni beranjak ke depan kelas diikuti Kanita. Saat itu sudah hampir pukul dua sehingga sebagian besar siswa yang ikut kelas tambahan sudah datang, dan mereka menjadikan Aqni dan Kanita sebagai tontonan. Yah, kapan lagi bisa melihat The Princess vs Genius.

Aqni menyerahkan spidol kepada Kanita. “Kamu tulis jawabanmu di sebelah sana, dan aku di sini,” ujarnya.

Kanita mengambil spidol, kemudian mulai menuliskan jawabannya di papan tulis. Aqni melakukan yang sama. Sampai baris ketiga jawaban mereka sama, di baris ke empat mulai ada perbedaan. Kanita menulis angka lima sedang Aqni menulis minus lima. Perbedaan angka itu membuat perhitungan mereka berbeda, hingga jumlah akhirnya pun tak sama.

“Jadi, apa yang dibuktikan dengan ini?” tanya Kanita sambil bersidekap.

“Kita bisa meminta teman-teman menilai mana yang─”

“Hey, kamu ini bodoh atau apa, sih?”

Geram dipanggil bodoh Aqni membalas dengan sengit. “Memangnya kamu genius sampai mengatai orang lain bodoh.”

“Aku bukan genius, tapi jelas lebih pintar darimu,” sahut Kanita.

“O ya? Memangnya ada orang pintar yang masuk kelas tambahan?”

“Kamu sengaja nyari ribut, ya?!”

“Kamu yang duluan ngatain orang bodoh.” Aqni tak mau kalah.

“Ya, jelaslah kamu bodoh. Masa mau minta mereka,” Kanita menunjuk anak-anak kelas tambahan, “menilai jawaban kita. Mereka di sini karena nilai matematika mereka rendah, mana mungkin mereka bisa menilai jawaban mana yang benar.”

Aqni sebenarnya mau membalas, tapi kata-kata Kanita adalah kebenaran yang dipaparkan di depannya.

“Bagaimana kalau Ibu yang menilai?”

Karena terlalu asyik dengan perdebatan Aqni dan Kanita, tak seorang pun di kelas itu menyadari bahwa Bu Riska sudah datang sejak tadi.

“Kalian semua duduk di tempat masing-masing, kecuali Aqni dan Kanita.”

Semua siswa duduk di bangku masing-masing, hanya Aqni dan Kanita yang tinggal di depan kelas bersama Bu Riska.

“Bisa jelaskan pada saya apa yang terjadi di sini?” tanya Bu Riska setelah meletakkan buku-buku yang dibawanya di meja guru.

“Begini, Bu─”

“Jawaban saya disalahkan oleh Aqni,” Kanita memotong kalimat Aqni. Gadis itu menunjukkan lembar jawabannya pada Bu Riska. “Seharusnya, saya mendapat nilai seratus karena jawaban soal nomor 9 milik saya benar.”

“Boleh Ibu lihat?” Bu Riska menanggapi Kanita yang berapi-api dengan sabar. Guru matematika itu mengamati jawaban Kanita untuk soal nomor sembilan dengan saksama. “Sebenarnya, bukan Aqni yang menyalahkan jawabanmu tapi Ibu.” Kanita terdiam. “Hasil tes simulasi minggu lalu diperiksa oleh Ibu, bukan Aqni. Aqni hanya bertanggung jawab mengenai absensi, laporan hasil tes, dan mengawasi jalannya kelas, untuk penilaian dan yang lainnya adalah tanggung jawab saya dan Pak Syamsul,” jelas Bu Riska bukan hanya pada Kanita tapi juga seisi kelas. “Dan untuk jawaban Kanita di soal nomor 9,” Bu Riska kembali mengarahkan tatapannya pada Kanita. “Sayang sekali, Ibu harus mengatakan jika jawabanmu memang salah, Kanita.” Bu Riska mengambil spidol dan membulati angka lima yang menjadi awal kesalahan Kanita. “Jika kalian perhatikan baik-baik, jika minus bertemu dengan plus, maka hasil akhirnya akan menjadi?”

“Minus!!!” Seisi kelas menjawab bersamaan.

“Mengerti, Kanita?”

Walau tampak tidak puas, Kanita mengangguk. “Maaf, Bu.”

“Tidak apa-apa. Malah Ibu senang jika ada siswa yang seperti kamu, berani bertanya ketika merasa ada sesuatu yang janggal.” Bu Riska menepuk bahu Kanita. “Jadi, sekarang masalahnya sudah selesai?” Bu Riska bertanya pada Aqni dan Kanita.

“Sudah, Bu,” Aqni yang menjawab lebih dulu.

“Kanita?”

“Sudah, Bu.”

“Kalau begitu, kembali ke tempat kalian masing-masing. Kita akan mulai pelajaran hari ini.”

Aqni dan Kanita kembali ke tempat duduk masing-masing, tapi Aqni merasa bahwa hal ini masih belum selesai. Dan benar saja, Kanita masih marah kepadanya. Gadis itu merasa dipermalukan oleh Aqni dan memutuskan untuk memusuhi Aqni. Di hari itu dan hari-hari berikutnya, Kanita selalu mencari cara untuk menjatuhkan Aqni. Entah sengaja membuat Aqni malu di depan anak-anak kelas tambahan atau mempersulit tugas hariannya. Intinya adalah Kanita berusaha membuat Aqni merasa tak nyaman selama kelas tambahan berlangsung.

Terpopuler

Comments

Mayha

Mayha

ngeselin banget

2021-01-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!