Ujian Pertama

Minggu kedua Aqni menghadapi ujian berat menghadapi anak-anak kelas tambahan. Belum cukup harus berurusan kemalasan Mehran yang menguras kesabarannya, dan berhadapan dengan Kanita yang semakin hari semakin menyebalkan, Aqni juga harus menahan diri menghadapi Mikail. Yep, pemuda satu itu membuat kepala Aqni berasap. Mikail membuat kelas dipenuhi suara cekikikan, gadis-gadis lebih memilih mendengarkan rayuan serta cerita Mikail daripada belajar maupun mengerjakan soal latihan. Alhasil, pembelajaran di kelas tak seperti di minggu awal. Bukan hanya Mikail dan gadis-gadisnya yang tidak belajar, tapi anak lain pun yang merasa terganggu jadi malas belajar.

Aqni benar-benar kesal pada Mikail, tapi menegur pemuda itu sama seperti menegur batu, tidak akan didengar apalagi diikuti. Rasanya, Aqni ingin mengeluarkan Mikail dari kelas itu, berikut Kanita juga Mehran.

“Apa kamu bisa berhenti makan?”

Aqni mendelik sebal pada pemuda yang duduk paling dekat dengannya, Mehran. Bukannya menghentikan makan, Mehran malah dengan sengaja membuat suara makannya bertambah nyaring, hanya untuk membuat kesal Aqni.

“Kamu pasti nggak sempat makan di rumah, makanya di sini kerjamu makan melulu,” ujar Aqni.

Mehran hanya mengedikkan bahu dan kembali makan dengan santai.

“Sebenarnya, apa sih gunanya kamu ikut kelas tambahan kalau hanya buat makan. Mending makan di lapangan basket sana.”

Sebelah alis Mehran terangkat. “Dan membuatku kena SP karena mangkir kelas tambahan? Maaf saja, jawabannya jelas tidak.”

Aqni mendengus. “Kamu juga tetap bakal dapat peringatan kalau nilaimu nggak meningkat,” ujarnya.

“Yang jelas aku nggak bakal tinggal kelas,” jawab Mehran.

Aqni meletakkan pulpen, dan memandang Mehran. “Karena orangtuamu berduit, makanya kamu nggak pernah takut dengan studimu. Kamu bisa melakukan apa pun karena orangtuamu bisa menyokong studimu, ke mana pun kamu mau belajar.”

“Hanya karena kami berduit, bukan berarti kami bisa mendapatkan segala yang kami mau.” Sahutan itu datang bukan dari Mehran, melainkan Yuan yang duduk di sebelah Mehran. “Kamu bicara seenaknya tanpa tahu apa-apa.”

Aqni mengarahkan tatapannya pada Yuan. “Kalau begitu, buat aku tahu. Aku sama sekali tak mengerti apa yang membuat kalian betah dengan nilai nol di lembar tes kalian?”

“Itu bukan urusanmu,” sahut Yuan.

“Di sinilah masalahnya. Kamu nggak mau aku ngomong macam-macam, tapi sendirinya nggak mau ngejelasin ada apa. Sebenarnya, mau kamu apa sih?” Aqni benar-benar tak mengerti bagaimana harus menghadapi Yuan.

“Mauku adalah kamu jangan ikut campur dalam kehidupanku. Urus saja urusanmu sendiri.” Yuan menjejalkan buku gambarnya ke dalam ransel beserta pensil, kemudian menaikkan ransel tersebut ke bahu dan pergi.

Aqni hanya bisa bengong menyaksikan kepergian Yuan, lalu memandang ke Mehran seolah meminta penjelasan apa yang tengah terjadi.

“Salahmu karena menekan tombol sensitifnya,” sahut Mehran, lalu kembali asyik dengan kudapannya.

Sambil mendesah, Aqni kembali menekuni bukunya. Nah, sekarang kamu menambah masalah lagi Aqni Nurmaulina.

***

Perkara kepergian Yuan juga nilai anak-anak kelas tambahan yang kembali turun membuat Aqni kembali berakhir di ruang BK. Aqni harus merelakan waktu makan siangnya lagi untuk menemui Pak Hamdan. Jika sebelumnya Aqni gugup dan ketakutan, sekarang ia merasa marah. Menurutnya, apa yang terjadi pada Yuan maupun nilai jeblok kelas tambahan bukan kesalahannya. Pertama, ia tidak benar-benar bertengkar dengan Yuan, tapi Yuannya saja yang terlalu baperan dan akhirnya ngambek sendiri. Kedua, nilai merah kelas tambahan terjadi karena Mikail, atau bisa dibilang karena gadis-gadis di kelas itu yang tak bisa menahan diri dari godaan Mikail. Intinya, apa pun yang terjadi di sana bukan salah Aqni, karena ia sudah melakukan yang terbaik untuk membantu kelas itu. Hanya saja, anak-anak di dalamnya yang tak mau membantu diri sendiri. Ada sih beberapa yang punya niat dan tekad kuat, tapi suasananya membuat niat dan tekad itu tak lagi bisa bertahan.

Tok! Tok! Tok!

Aqni mengetuk pintu ruang BK agak terlalu keras, sehingga saat pintu itu terbuka dan Pak Hamdan muncul, guru BK itu mengernyit ke arahnya.

“Maaf, Pak,” ucap Aqni.

“Ya sudah, silakan masuk.” Pak Hamdan membuka pintu lebih lebar dan memberi ruang agar Aqni bisa lewat.

“Permisi, Pak.” Aqni masuk ke dalam ruangan, kemudian duduk setelah dipersilakan.

“Bapak memanggil kamu hari ini untuk menanyakan apa yang terjadi di kelas tambahan kemarin. Bapak mendengar kabar kalau kamu bertengkar dengan Yuan.” Pak Hamdan membuka pembicaraan.

“Bukan bertengkar, Pak. Itu sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai pertengkaran,” ujar Aqni membela diri.

“Lalu kenapa Yuan pergi?” tanya Pak Hamdan.

“Saya juga tidak tahu. Saya hanya bertanya kenapa dia tidak mau belajar, lalu dia berkata agar saya tidak ikut campur urusan dia, setelah itu dia pergi,” jelas Aqni. “Saya bahkan tidak mengerti kenapa dia pergi.”

“Kamu yakin hanya itu yang terjadi? Coba diingat-ingat, mungkin kamu mengatakan sesuatu yang menyinggungnya.”

Aqni menunduk dalam. Jemarinya bertaut erat di pangkuannya. Di satu sisi ia ingin menyelamatkan diri agar tak dipersalahkan, namun di sisi lain ia tak ingin menyimpan rasa bersalah karena tak mengakui bahwa dirinya pernah melontarkan ucapan sinis yang mungkin menjadi penyebab kemarahan Yuan. “Sebenarnya, saya mengatakan tentang anak-anak orang kaya yang bisa melakukan apa saja karena orangtua mereka berduit. Tapi saya tidak mengatakan itu pada Yuan, saya sedang bicara dengan Mehran saat itu.”

Pak Hamdan menghela napas. “Bapak juga mendengar kalau kamu sering adu mulut dengan Mehran, dan juga pernah bertengkar dengan Kanita, benar?”

“Benar, Pak.” Aqni tak dapat mengangkat kepala, malu karena bersikap kekanakan dalam menghadapi Mehran dan Kanita, juga Yuan.

“Bapak berharap kamu bisa bersikap lebih baik dari ini,” kata Pak Hamdan. “Sebelum ini kamu bersikap baik, rajin, dan anak yang disiplin. Bapak mengerti kamu sedang ada masalah, dan Bapak sudah berusaha mencarikan solusi untuk masalahmu. Tapi jika kamu seperti ini, bagaimana bisa Bapak membantumu?”

“Saya mengerti, Pak. Saya memang melakukan kesalahan,” aku Aqni.

“Baguslah, jika kamu sadar sudah melakukan kesalahan. Sekarang mari pikirkan apa yang akan kamu lakukan selanjutnya.”

Aqni mengangkat kepala, menatap Pak Hamdan dengan kesungguhan di matanya. “Saya akan menjalankan tugas saya dengan lebih baik lagi, dan saya akan meminta maaf pada Yuan, Mehran, juga Kanita. Dan saya akan berusaha agar tidak bertengkar dengan mereka lagi. Pokoknya, saya akan memperbaiki situasinya,” janjinya.

“Itu tidak cukup,” ujar Pak Hamdan.

“Maksud Bapak?” Aqni kebingungan.

“Bapak akan memberimu kesempatan sekali lagi. Tapi kali ini tantangannya akan lebih berat, karena Bapak ingin kamu melakukan tugasmu dengan sungguh-sungguh,” kata Pak Hamdan.

Aqni menelan ludah. Perkataan Pak Hamdan dan cara guru itu menyampaikannya membuat Aqni merinding. Tantangan yang sekarang saja sudah berat, entah bagaimana jika Pak Hamdan menambahnya. Mungkin Aqni harus mengangkat bendera putih. Tapi, kalau ia melakukan itu, ia akan kehilangan beasiswanya dan berakhir putus sekolah. Aqni menggeleng pelan. Tidak! Ia tak akan membiarkan dirinya gagal. Seberat apa pun tantangannya akan ia lakukan demi beasiswa penuh yang akan menunjang pendidikannya.

“Saya akan berusaha sebaik mungkin.”

“Tekad yang bagus,” ujar Pak Hamdan. “Jadi, Bapak ingin kamu tetap mengawas kelas tambahan dan memastikan semua anak di kelas itu mendapat nilai bagus di UKK nanti. Jika ada satu saja yang gagal, maka anggap saja beasiswamu terbang bersama angin.”

Aqni sudah menahan diri agar tidak terperangah, namun hal itu tetap saja terjadi. Pak Hamdan benar-benar tidak main-main dalam memberi tantangan. Bagaimana caranya ia bisa membuat semua siswa di kelas tambahan mendapat nilai bagus dalam keadaan seperti sekarang? Mungkin ia harus mulai mencari sekolah lain yang biaya sekolahnya gratis.

***

Seharusnya ini malam yang sempurna.

Aqni senang berada di beranda kamarnya setelah gelap, apalagi dengan rembulan yang bulat sempurna menggantung di langit bersama bintang-bintang. Aroma bunga melati yang ibunya tanam di halaman samping tepat di bawah beranda Aqni memenuhi udara sejuk. Jika orang sering mengasumsikan melati sebagai wewangian mistis, tidak begitu bagi Aqni. Ia sangat menyukai aroma melati, bau melati yang segar selalu mampu membuat Aqni tenang.

Segalanya akan berjalan sempurna seandainya Aqni tidak terlalu merasa tertekan. Namun, ketegangan sudah mulai ia rasakan sejak pertemuan dengan Pak Hamdan tadi siang dan sekarang sudah tak tertahankan lagi.

Aqni sudah memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi padanya di masa depan, dan semakin ia memikirkannya semakin ia merasa ngeri. Ia sudah menelepon ayahnya berkali-kali, tapi tak satu pun panggilannya bisa terhubung dengan sang ayah. Ia tak tahu bagaimana keadaan di daerah Kalimantan, apa mungkin di sana tidak ada sinyal sehingga ia tak pernah bisa menelepon sang ayah. Kondisinya sekarang benar-benar gawat, dan tak ada seorang pun yang dapat membantu, kecuali dirinya sendiri.

Sambil memejamkan mata, Aqni menarik napas dalam-dalam, lalu cepat-cepat mengeluarkannya. “Sekarang apa yang harus kulakukan?”

Ia memandangi rembulan begitu lama, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Satu-satunya hal yang terpikir di kepala Aqni adalah mencoba sekali lagi dengan kelas tambahan. Mungkin hampir mustahil untuk membuat seluruh anggota kelas itu mendapat nilai bagus, tapi Aqni tak akan pernah tahu hasilnya jika tidak mencoba terlebih dahulu.

Aqni bergegas masuk ke kamarnya. Mengambil daftar nama dalam map di meja belajarnya. Mengamati satu per satu nama yang tertulis di dalam daftar itu, Aqni tahu tidak semua anak di daftar tak bisa diajak belajar, hanya beberapa orang, tepatnya lima orang yang menjadi sumber masalah.

Mehran Leander Addison

Mikail Azraq

Kanita Shakila

Yuan Muffalah

Laylah Afeefa

Kelima siswa inilah yang menjadi biang masalah. Jika Aqni bisa menaklukkan mereka, maka kelas tambahan pasti akan sukses di UKK nanti.

Ya. Aqni sudah memutuskan bahwa ia akan menaklukkan kelima siswa itu sehingga kelas tambahan bisa sukses di UKK nanti dan beasiswa Aqni aman sampai kelulusan nanti, plus uang lelah yang dijanjikan Pak Hamdan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!