Hari Pertama

Kertas di tangan Aqni berisi dua puluh nama siswa yang akan mengikuti kelas tambahan. Hari ini kelas dimulai, rencananya Bu Riska yang akan menjadi pembuka kelas, lalu Aqni akan mengawasi para siswa selama mereka diberi soal-soal tes. Kelas memang sengaja diawali dengan memberikan tes agar guru-guru pengampu bisa menilai kemampuan siswa di kelas khusus, mengetahui di mana kekurangan dan kelebihan mereka sehingga bisa memberikan bimbingan secara optimal.

Aqni sudah melihat sekilas soal-soal yang ada di lembar tes, jumlahnya ada tiga puluh soal dan harus dikerjakan dalam waktu satu jam, menurutnya soal-soal itu jawabannya sangat mudah, bahkan ia berani bertaruh bisa menyelesaikan soal-soal itu dalam waktu setengah jam, bisa jadi kurang dari itu. Ia optimis bahwa siswa di kelas tambahan akan bisa menjawab soal-soal itu dan tidak akan ada yang mendapat nilai di bawah 50. Itu akan menjadi permulaan yang bagus, dan artinya tidak akan sulit untuk menaikkan prestasi anak-anak kelas tambahan.

Dengan optimis menyiapkan kelas hari itu, menunggu dengan sabar kedatangan siswa kelas tambahan. Pukul dua lewat tiga puluh, belum seorang pun terlihat. Wajar, karena kelas masih akan dimulai tiga puluh menit lagi. Pukul dua lewat empat lima, masih belum ada yang datang. Mungkin mereka sedang menuju ke sini, pikir Aqni. Pukul dua lewat lima puluh lima, Aqni memutuskan untuk menunggu di luar kelas. Pukul tiga teng. Dua siswa terlihat mengarah ke ruang kelas tambahan.

“Kelas tambahan?” Salah satu dari siswa itu bertanya.

Aqni mengangguk. “Masuk saja, dan pilih tempat duduk kalian.”

Kedua siswa itu masuk dan memilih kursi paling belakang. Kebahagiaan Aqni karena akhirnya ada yang datang tersapu melihat ketiadaan semangat yang ditunjukkan kedua siswa itu. Bagaimana bisa meningkatkan nilai, kalau milih duduk di belakang? pikir Aqni sebal. Tapi dengan cepat pikiran itu berlalu karena semakin banyak siswa yang datang.

Kelas mulai terisi, hanya beberapa bangku yang masih kosong, dan semua bangku itu ada di bagian depan. Aqni hanya bisa menghela napas, melihat tak ada seorang pun yang mau duduk di bagian depan. Memangnya apa sih yang salah dengan bangku bagian depan? pikirnya bingung.

Sudah sepuluh menit lewat dari jam dua, Aqni memutuskan untuk memanggil Bu Riska dan memulai kelas. Untuk yang datang telat atau memilih tidak datang akan diurus nanti, ujar Aqni dalam hati sambil membagikan lembar absen yang harus diisi para siswa bergantian sementara menunggu Bu Riska datang.

Ketika Aqni hendak menutup pintu kelas, seseorang menahan daun pintu dan berkata, “Jangan ditutup dulu, Cantik, aku kan belum masuk.”

Hanya butuh beberapa detik bagi Aqni untuk mengenali siapa yang berdiri di depannya. Bahkan cewek kuper yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku sepertinya tahu tentang Mikail Azraq. Cowok paling terkenal di SMA Harapan, si playboy yang sudah membuat entah berapa banyak cewek patah hati. Mikail memang doyan tebar pesona, bahkan Aqni pernah mendengar gosip yang mengatakan bahwa Mikail pernah menggoda seorang guru magang, dan akhirnya membuat guru itu keluar sebelum waktu magangnya selesai. Kalaupun gosip itu tidak benar, Aqni tetap harus menjaga jarak dengan Mikail, karena jatuh dalam pesona cowok ganteng itu jelas tak akan membuat kehidupannya lebih baik.

“Lain kali datang lebih cepat,” sahut Aqni seraya memberi jalan agar Mikail bisa masuk.

“Oke, besok aku bakal datang lebih cepat, supaya kita bisa beduaan dulu sebelum kelas dimulai.”

Aqni mengirim tatapan tajam ke arah Mikail, siap mengeluarkan balasan yang pedas. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, badan Mikail terdorong ke depan, hampir terjerembab ke lantai.

“Jangan pacaran di depan pintu, ngalangin jalan,” ujar si pelaku, yang ternyata gadis cantik berambut hitam panjang. Aqni juga langsung mengenali gadis itu. Kanita Shaqila, Princess adalah julukan gadis itu. Karena dianggap sebagai gadis paling cantik di seantero SMA Harapan. Yah, julukan itu memang tidak salah, sebab Kanita memang sangat cantik, tinggi semampai, langsing, berkulit putih dan memiliki rambut yang indah. Namun, menurut Aqni yang paling membuat Kanita terlihat seperti putri adalah keangkuhan yang dimiliki gadis itu. Di mata Aqni, Kanita terlihat seperti putri angkuh yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.

“Ah, Kanita sayang~”

Suara Mikail menarik Aqni kembali ke dunia nyata sebelum ia memakaikan gaun era Victorian pada Kanita di dalam pikirannya.

“Jangan panggil sayang-sayang, bikin jijik tahu.” Kanita melengos dan berlalu begitu saja. Kanita memilih salah satu bangku di bagian depan, dan Mikail langsung menempati bangku di belakang Kanita tanpa ingat bahwa sebelumnya baru saja merayu Aqni.

“Dasar cowok,” gerutu Aqni.

“Yah, cowok-cowok seringnya emang nyebelin, tapi kita nggak bisa hidup tanpa mereka.”

Aqni berputar ke arah suara. Laylah, gadis yang pernah Aqni temui di depan ruang BK, berdiri di ambang pintu dengan santai. Aqni memerhatikan bahwa gadis itu masih belum mengikuti aturan berpakaian sekolah dengan benar. Rambut pirang Laylah tampak kontras dengan kulitnya yang sawo matang, make up-nya terlalu tebal, lalu anting-anting yang lebih dari satu di setiap telinga, rok sekolah yang terlalu pendek, baju seragam yang membentuk bodi─Aqni tak bisa tak mengakui kalau Laylah punya bodi yang benar-benar oke, aksesoris yang berlebihan di leher serta tangan. Laylah tampak seperti ... Aqni tak tahu harus menyebut Laylah apa. Ia hanya bengong, sementara Laylah berjalan melewatinya dan duduk di bangku di sebelah Kanita.

“Mulutnya jangan dibuka lebar-lebar nanti masuk lalat.”

Suara lain lagi menyadarkan Aqni. Ia berbalik ke pintu. Seorang pemuda keturunan cina masuk, melewati Aqni dengan santai, kemudian duduk di sebelah Laylah.

“Fix! Orang-orang menyebalkan duduk di bagian depan,” Aqni mendumel sambil hendak menutup pintu lagi, dan lagi-lagi kali ini ia tak bisa menutup pintu karena seseorang muncul.

“Kalau pintunya ditutup, Ibu nggak bisa masuk dong,” canda Bu Riska. Seisi kelas tertawa, kecuali Aqni yang malu bukan kepalang.

“Maaf. Silakan masuk, Bu.” Aqni mempersilakan Bu Riska masuk, kemudian duduk di bangku yang ditempatkan de dekat pintu, di depan deretan bangku untuk siswa kelas tambahan, yang sengaja di hadapkan ke dalam kelas sehingga dapat melihat ke meja guru juga meja para siswa dengan leluasa.

Kemudian Bu Riska memulai kelas. Memperkenalkan diri walau semua siswa di kelas itu pasti sudah mengenal guru matematika itu. Bu Riska juga memperkenalkan Aqni, yang mendapat tatapan spekulatif dari para siswa karena tugasnya sebagai asisten pengajar. Sementara Bu Riska berbicara di depan kelas, Aqni membaca kertas absen yang sudah kembali ke tangannya. Hanya ada satu nama yang belum menandatangani absen kehadiran. Pemilik satu-satunya bangku yang masih kosong di kelas itu. Mehran Leander Addison. Nama siswa itu membuat Aqni mengernyit, sepertinya ia pernah mendengar nama ini, tapi tak ingat di mana.

“Aqni, bagikan soal tesnya.” Perintah Bu Riska membuat Aqni berhenti memikirkan tentang Mehran. Ia pun segera membagikan kertas soal dan lembar jawaban ke semua siswa.

“Baru juga masuk sudah dikasih tes,” keluh seorang siswa.

“Mana soalnya banyak lagi,” timpal yang lain.

“Niat banget, nih, bikin kita pinter pake soal yang bejibun.” Seorang lagi buka suara.

Aqni sengaja mengabaikan komentar-komentar sinis itu. Lagi pula, Bu Riska sudah menjelaskan fungsi tes hari ini. Seharusnya, tidak ada keluhan.

Bu Riska sudah meninggalkan ruangan. Sekarang Aqni yang bertanggung jawab mengawasi kelas. Ia sedikit gugup karena harus mengawasi sembilan belas teman seangkatannya. Sembari berdoa tidak akan mendapat masalah di hari pertamanya, Aqni membuka buku dan belajar sendiri. Namun, masih mengawasi kelas dengan saksama.

Pintu terbuka dengan suara nyaring. Aqni dan seisi kelas mengarahkan pandangan ke ambang pintu. Melihat pemuda jangkung itu membuka memori Aqni. Ia ingat sekarang di mana pernah mendengar nama Mehran. Nama itu milik seorang siswa baru di kelasnya, pemuda tinggi besar yang langsung bergabung di klub basket di hari pertamanya menjadi siswa di SMA Harapan, dalam waktu singkat menjadi tim inti, dan sudah berhasil membawa tim basket SMA Harapan, yang sebelumnya tak terlalu bersinar, menjadi jawara di kejuaraan basket antar SMA. Pemuda itu juga yang ia temui di dekat lapangan beberapa hari lalu.

“Lu telat, Bro.” Pemuda bermata sipit, yang ternyata bernama Yuan, menyapa Mehran.

“Apa boleh buat, tadi ada latihan,” jawab Mehran santai seraya menempati satu-satunya bangku yang masih kosong, yang letaknya paling dekat dengan bangku Aqni. “Jadi, kita ngapain di sini?” tanyanya entah kepada siapa sambil meletakkan sebuah plastik di meja. Mehran membuka plastik itu, seketika tercium aroma fried chiken yang menggoda iman.

“Dilarang makan di kelas,” kata Aqni seraya mengambil plastik berisi ayam goreng tepung tersebut.

“Dilarang merebut makanan punya orang,” sahut Mehran.

“Aku tidak merebutnya, hanya membantumu menyimpan makananmu sampai kamu selesai mengerjakan soal-soal ini.” Aqni menggantikan ayam goreng tepung dengan lembar soal dan jawaban.

“Tapi kalau lapar aku nggak bisa mikir,” ujar Mehran dengan nada memohon.

“Kamu bisa makan nanti,” kata Aqni seraya kembali ke mejanya.

“Tapi itu punyaku,” keluh Mehran.

“Memang. Kamu bisa mengambilnya nanti.”

“Aku maunya sekarang!” Mehran bersikap seperti bocah lima tahun yang merajuk karena makanannya direbut.

“Nanti!” tegas Aqni.

“Aku nggak tahu ternyata di Indonesia, anak perempuan suka merebut makanan anak laki-laki,” sindir Mehran.

Aqni memutar bola mata. Kalau Mehran ngajak ribut, akan kuladeni, pikirnya.

“Aku juga baru tahu kalau anak Amerika itu cengeng, suka ngeluh cuma karena nggak bisa makan. Lagian, makan kok di kelas, sih?”

“Aku kan lapar habis latihan,” Mehran membela diri.

“Udah tahu ada kelas tambahan malah ikut latihan, salah siapa?” sahut Aqni.

“Salah yang bikin kelas tambahanlah. Udah tahu aku sibuk, malah disuruh ikut kelas tambahan,” gerutu Mehran.

Aqni membalas lagi, dan Mehran tetap tak mau kalah. Mereka terus perang mulut, membuat anak-anak di kelas berhenti mengerjakan soal dan menonton mereka. Akhirnya, Aqni tersadar dan menyudahi perang tersebut dengan ancaman, ia akan membuang makanan Mehran sampai pemuda itu menjawab semua soal. Dengan cemberut Mehran mengambil lembar soal. Baru melihat jumlah soal yang tercetak di lembar soal, Mehran berdecak. “Kamu pengen bunuh aku, ya?!”

“Tiga puluh soal nggak akan membunuh siapa pun,” sahut Aqni.

“Tapi─”

“Diam dan kerjakan soal-soal itu!”

***

Kelas hari itu berakhir pukul lima, setelah siswa terakhir mengumpulkan lembar jawaban dan soal, mereka dipersilakan pulang. Aqni mengembalikan kantong plastik Mehran, yang diterima pemuda itu sambil mendumel. Kemudian setelah semua orang pergi, ia kembali duduk di mejanya dan memeriksa hasil tes. Sebagai asisten pengajar sudah menjadi tugas Aqni untuk memeriksa hasil tes awal, kemudian menuliskan hasilnya di laporan yang akan diberikan kepada Bu Riska.

Mata Aqni melebar dan ia berdecak tak percaya melihat hasil tes hari ini. Kecuali satu orang yang mendapat nilai 80, sisanya mendapat angka di bawah 50. Aqni menelungkup di meja, apa yang sebelumnya ia kira akan menjadi pekerjaan mudah malah menjadi pekerjaan yang sangat sulit baginya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!