Gadis itu sudah tak lagi menangis. Kini hanya ada rasa takut dalam benaknya. Takut kedua orang tuanya marah dan kecewa padanya.
Jingga menunduk mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya ketika Senja keluar untuk mengambil baju milik gadis itu untuk ia kenakan. Mengganti baju miliknya yang sudah dirobek Farri saat melepasnya tadi.
Ditinggal bertiga dengan dua pria yang salah satunya baru menjajah tubuhnya, membuat perasaannya tak karuan.
Padahal sebelum kejadian ini, hubungan mereka cukup dekat sebagai adik kakak. Meski Vindra lebih jarang berbicara di banding Farri. Pria itu hanya bertanya dan menjawab seperlunya. Tapi tak pernah berlaku yang membuatnya tidak nyaman.
"Pakai baju dulu ya, Ngga. Nanti kita antar pulang." ucap Senja yang kini mengulurkan satu stel pakaiannya pada Jingga.
Gadis itu tak menjawab dan hanya menerima pakaian yang di berikan Senja. Tatapannya beralih pada pria yang masih berdiri di samping pintu dengan melipat tangannya di depan dada. Satu pria lagi dengan tangan yang dimasukan dalam saku celana.
Senja mengikuti arah pandangan Jingga ketika gadis itu hanya diam saja. Ia menepuk dahinya begitu tahu apa yang membuat Jingga tak kunjung bergerak.
"Abang iiihh, keluar!" Senja berkacak pinggang dan mendekat pada dua sosok menjulang milik kakaknya. Mendorong dua pria itu keluar dari kamar Farri.
"Kenapa sih, dek? itu kan kamar, abang. Kenapa abang di usir?"
Senja dan Vindra memutar bola matanya malas. Sepertinya otak cerdas kakak mereka benar-benar telah lenyap hanya karena telah meniduri seorang gadis.
"Jingga mau ganti baju, abaaaang!" seru Senja dengan gemas. Meski ia marah pada kakaknya yang telah merusak Jingga. Tapi ia tak bisa membenci orang yang amat ia sayangi itu.
"Ya terus kenapa?" tanya Farri masih dengan bodohnya.
"Ya abang keluar lah! emang mau nonton Jingga pakai baju?!"
"Apa salahnya?" Farri mengernyit heran. "Toh abang juga udah lihat semuanya." imbuhnya sesuka hati. Membuat Senja terbengong tak percaya dengan mata yang berkedip berkali-kali.
Vindra menggeleng dan memiting leher kakaknya. Membawa pria itu pergi dari sana.
"Apa sih, Vin?!" seru Farri kesal. Mencoba melepaskan lengan adiknya dari leher.
"Udah, ayo. Kita telepon mama sama papa."
Farri menelan ludahnya kelat. Ia siap mengantar Jingga pulang dan meminta maaf. Tapi ia belum siap dengan kemarahan kedua orang tuanya sendiri. Terlebih tatapan kecewa yang mungkin saja akan sang ibu berikan.
"Nggak bisa nanti aja, nunggu mereka pulang gitu?"
Vindra menggeleng dan menyerahkan ponselnya yang sedang dalam nada tunggu pada sang kakak.
"Lebih cepat lebih baik. Sebelum mama sama papa tau dari orang lain. Pasti mereka bakal lebih kecewa dari pada abang ngaku sendiri."
Farri menunduk. Ia semakin sadar jika masalah kali ini benar-benar serius.
Jika alkohol tidak bisa membuatnya melupakan rasa sakit hatinya. Permasalahan yang ia perbuat kini justru tak membuatnya ingat sama sekali tentang hal itu.
Farri tahu, meski ia tak memberitahu kedua orang tuanya saat ini. Pasti nanti setelah ia mengantar dan meminta maaf pada orang tua Jingga, Om Dika akan langsung menghubungi ayahnya dan memberitahu kebejatan yang telah ia lakukan.
Dan benar apa kata Vindra. Ia harus memberitahu orang tuanya dari mulutnya sendiri.
"Halo bang, kenapa?" suara lembut Tiara terdengar di ujung telepon.
Farri berdeham beberapa kali, mencoba meredam rasa takut dan khawatirnya.
"Papa mana, mah?" ia lebih baik berbicara dengan ayahnya terlebih dahulu. Ia tidak bisa jika langsung mendengar kekecewaan bahkan tangis sang ibu. Karena itu bisa saja terjadi.
"Kenapa bang?" sahut Alvaro di ujung sana. Sepertinya orang tuanya mengunakan mode pengeras suara. "Kenapa kamu telfon pakai nomor Vindra?" imbuh Alvaro bingung.
Meski mereka kembar, tapi keduanya memiliki jenis suara yang sedikit berbeda. Suara Vindra lebih berat dari Farri. Hingga meski Farri menghubungi orang tuanya dengan ponsel milik Vindra, orang tuanya akan tetap bisa membedakan keduanya.
"Papa sama mama pulang kapan?" Farri sudah sering membuat masalah saat remaja dulu. Berantem, mabuk-mabukan, balap liar. Sudah sering ia lakukan. Tak jarang juga ia mendapat hukuman dari kedua orang tuanya.
Tapi untuk mengakui kesalahan yang ia perbuat kali ini rasanya ia tidak mampu. Seakan tenggorokannya tercekat batu besar yang membuatnya susah mengucapkan kesalahannya.
"Mungkin besok atau lusa. Kenapa? adik kalian nggak bikin masalah lagi kan?"
"Aku yang bikin masalah, pah." teriak Farri dalam hati.
Orang taunya masih saja mengkhawatirkan adiknya yang membuat masalah. Padahal sudah setahun belakangan ini, Senja tak pernah lagi di panggil kepala sekolah maupun dapat hukuman karena membuat ulah.
Ia tahu alasan orang tuanya tak lagi mengkhawatirkan dirinya maupun Vindra. Karena bagi kedua orang tuanya pasti mereka sudah dewasa dan tahu mana yang baik dan mana yang buruk.
Berharap mereka tidak melakukan hal yang impulsif yang nantinya akan membawa akibat buruk bagi mereka sendiri.
"Bisa pulang sekarang nggak, pah?" tanyanya lagi. Masih belum bisa mengungkapkan apa yang terjadi.
"Memang kenapa? adik kalian baik-baik saja kan?" kini suara Tiara kembali terdengar. Dengan nada cemas yang melingkupi. "Atau Vindra? makanya kamu telfon pakai nomor dia?"
"Vindra baik, mah." sahut Vindra. Karena mereka juga menggunakan mode pengeras suara.
"Lalu ada apa?"
Farri menatap saudara kembarnya dengan gelisah. Dibalas anggukan yakin dari Vindra menyemangati.
"Abang mau minta maaf." ucap Farri lemah.
Diseberang sana, kedua orang tuanya diam. Memberi kesempatan putra sulung mereka untuk menyelesaikan apa yang ingin di sampaikan. Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Abang salah. Abang khilaf mah, pah."
Meski perasaan Tiara sudah tidak enak. Tapi ibu tiga anak itu menahan dirinya untuk tidak mendesak sang putra. Agar putranya tidak takut untuk mengakui kesalahannya.
"Tapi sungguh. Abang nggak sengaja. Karena abang saat itu nggak sadar."
"Nggak sadar kenapa? kamu mabuk lagi?" sergah Alvaro. Pria itu sudah memperingatkan Farri jika ingin ikut bekerja dengannya, putranya itu harus meninggalakan minuman keras dan segala hal tidak baik.
Ia kira selama ini Farri mengikuti perintahnya. Kenapa ia bisa kecolongan seperti ini?
"Maaf pah. Abang lagi stres banget kemarin. Lagi lepas kontrol. Aku nggak ingin nyakitin orang lain makanya milih alkohol buat pelarian." sesalnya pada sang ayah yang sudah begitu mempercayainya.
"Lalu apa tujuan kamu minta maaf? nggak mungkin kan sampai Vindra ikut menghubungi mama sama papa kalau kamu hanya mabuk-mabukan?" desak Alvaro. "Kalian bahkan bisa saling sekongkol untuk menutupi hal itu dari kami."
Farri tidak menjawab. Ia hanya diam. Bingung harus mengakui kesalahannya bagaimana.
"Kamu tidak habis membunuh orang kan, Farri?"
Mata Farri membulat. "Nggak pah. Aku nggak sekejam itu." sergah Farri.
"Lalu kenapa, bilang sama papa!" desak Alvaro semakin tidak sabar.
"Maaf pah. A-abang.... A-aku..... A-aku sudah merusak Jingga."
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Riyanti
jingga yg sedih kok ak yang seneng😄😄😄
2021-10-29
1
Jennie Kim
kok malah aku si yang deg degan ya
2021-10-12
4
Indah Wirdianingsih
aku sampe meraton bacanya sangking sukanya nya sama cerita ini
2021-09-01
1