Suasana taman komplek perumahan di minggu pagi itu cukup ramai seperti biasa. Banyak orang yang berlalu lalang untuk lari pagi atau sekedar jalan santai bersama keluarga atau hewan peliharaan.
Jingga duduk termenung di bangku taman yang cukup jauh dari jalan para pengguna taman. Hembusan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya.
Hari itu, langit seakan ikut bersedih seperti dirinya. Mendung melingkupi langit Jakarta. Membuat sebagian orang semakin bersemangat berolah raga tanpa takut terkena panasnya mentari.Tapi tak jarang juga orang mengeluh karena hari minggu yang ceria tak secerah biasanya.
Jingga tak peduli dengan langit yang kian menghitam. Tak peduli teriakan anak kecil dibelakangnya yang merengek minta dibelikan es krim. Atau suara sayup grup senam yang ada di tengah taman.
Ia tak peduli dengan sekelilingnya. Hati dan segala permasalahan dalam hidupnya sudah cukup mengambil alih pikirannya.
Ia hanya duduk dengan tatapan kosong memandang kolam ikan kecil di depannya. Duduk menunggu pemuda yang amat ia cintai.
Pemuda yang ia pernah menaruh harapan besar di tangannya. Meletakan masa depannya di tangan pemuda itu tanpa rasa khawatir. Tanpa syarat yang berarti. Cukup dengan saling percaya dan memegang kepercayaan.
Tapi kini, ia justru akan menorehkan luka yang mungkin tak akan pernah termaafkan. Luka yang begitu besar untuk hubungan mereka yang selama ini selalu harmonis.
Jingga tengah gundah. Bingung harus bagaimana menyampaikan pernikahannya yang hanya lima hari lagi. Bagaimana ia harus mengakhiri hubungan dengan pemuda itu?
Belum apa-apa, air matanya sudah saling berdesakan keluar. Hatinya sudah sakit hanya membayangkan saja ia mengucapkan kalimat perpisahan.
Hatinya sudah teriris ketika nanti ia dapati tatap kecewa bahkan terluka di mata yang selalu menatapnya penuh cinta.
Tapi, siap tak siap. Mau tak mau. Ia harus mengakhiri hubungannya dengan Baskara. Semua demi kebaikan pemuda itu sendiri.
Ia merasa tidak pantas lagi untuk Baskara. Ia merasa kotor dan tak berharga.
Dan Baskara pantas mendapatkan gadis terbaik yang mampu pemuda itu dapatkan.
Jingga buru-buru menyusut air matanya begitu ia mendengar seruan memanggil namanya. Seruan dari orang yang sudah ia tunggu sejak satu jam yang lalu.
Bukan Baskara yang terlambat datang. Hanya, ia yang memang datang lebih awal dari waktu janjian mereka. Ia ingin mempersiapkan diri sebelum bertemu denga Baskara. Meski ia sebenarnya sudah mempersiapkan diri semalaman hingga tidak bisa tidur.
Semalam ia bahkan hanya mampu mengirim pesan untuk mengajak Baskara bertemu, dan melarang pemuda itu menjemputnya. Setelah ia mengabaikan segala panggilan dan pesan dari kekasih yang sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu.
Jingga paksakan senyumnya dan membalas lambaian tangan Baskara yang tersenyum cerah berlari ke arahnya.
Baskara langsung mengambil duduk di samping Jingga dan memberikan minuman dingin untuk kekasihnya itu.
"Kamu tuh kemarin kemana aja sih, yank?" tanya Baskara yang mulai membuka botol minumnya dan menukar dengan milik Jingga. "Aku telponin seharian nggak di angkat. Padahal aku pengen ngajak jalan bareng ayah sama bunda kemarin."
Jingga hanya membalas cerocosan Baskara dengan senyum kaku.
"Kamu kenapa, kok diem gini?" tanya Baskara lagi begitu sadar kekasihnya tak seperti biasanya. "Mata kamu juga bengkak gini.. kamu habis nangis?"
Jingga hanya mampu menggeleng dengan hati yang berdenyut nyeri. Ia tak mampu mengeluarkan suaranya. Atau tangisnya bisa pecah saat itu juga.
"Kenapa kamu harus perhatian banget gini, Bas? gimana cara aku melupaka kamu nanti?" gumam Jingga dalam hati yang langsung mengalihkan pandangannya agar Baskara tidak melihat bening kaca di matanya.
"Heii.. Kamu sakit?" cecar Baskara karena kekasihnya masih saja bungkam.
"Aku nggak pa-pa, Bas." ucap Jingga lirih. Jika saja mereka tidak duduk sedekat itu, Baskara tidak mungkin mendengar ucapan Senja.
"Ya udah aku nggak akan maksa. Tapi kamu harus inget, masih ada aku di samping kamu. Jadi jangan pernah sedih sendirian. Kamu bisa cerita apa aja sama aku, oke?" Baskar mengusap lembut pipi Jingga dan mengecup dahinya.
Perlakuan Baskara padanya, semakin membuat Jingga tak kuasa untuk menahan laju air matanya.
Baskara hapus air mata itu tanpa bertanya lagi. Ia merogoh saku jaketnya mencari sesuatu. "Ooh iya, kemarin aku beliin sesuatu buat kamu."
Baskara mengeluarkan sesuatu yang masih di genggamnya kehadapan Jingga dengan antusias. "Kamu nggak penasaran isinya?" pancing Baskara agar kekasihnya memberikan respon.
"Apa?" tanya Jingga masih dengan suara selembut bisikan angin yang kini justru diwarnai getaran menahan isak.
"Buka, dong!" seru Baskara semakin antusias.
Jingga dengan perlahan membukan satu persatu jemari Baskara yang menggenggam sesuatu di dalamnya. Dengan perasaan gamang ia menatap benda yang kini bisa ia lihat dengan jelas.
"Taraaaa!!" tunju Baskara dengan bangganya. Kemudian memakaikan benda bulat itu dijari manis tangan kiri Jingga. Membuat pandangan Jingga mengabur dan pipinya semakin dibanjiri air mata.
"Kemarin aku lihat cincin ini pas jalan-jalan. Mataharinya lucu dan aku langsung inget kamu." Baskara menghapus bulir-bulir yang berjatuhan di wajah kekasihnya. "Mungkin sekarang aku cuma bisa kasih cincin bohongan. Tapi suatu hari nanti aku janji, akan melamar kamu dengan cincin asil yang aku beli dengan hasil kerja aku sendiri. Kamu mau kan nunggu aku sampai hari itu?"
Jingga semakin tergugu dan terisak-isak. Baskara langsung merengkuh tubuh yang terlihat lelah itu.
"Sebenarnya kamu terharu atau sedih kenapa si yank?" harusnya mereka merasa bahagia hari ini bukan?
Harusnya Baskara juga merasa bahagia setelah menyampaikan niat tulusnya meski itu terealisasi suatu hari nanti yang entah kapan.
Dan seharusnya wanita akan bahagia jika kekasihnya mengatakan hal seperti apa yang Baskara katakan tadi bukan?
Tapi kenapa hati Baskara justru teriris mendengar tangis kekasihnya yang memilukan. Dan ia sama sekali tak melihat kebahagiaan di wajah kekasihnya. Sebenarnya apa yang terjadi?
Baskara diam dengan kemelut perasaannya yang menjadi tak menentu. Setelah seharian Jingga susah di hubungi, dan hari ini akhirnya bisa bertemu, meskipun dengan gadisnya yang berwajah sendu bahkan seperti tidak tidur dengan lingkar hitam di matanya. Dan jangan lupakan tangis Jingga yang memilukan saat ia memasang cincin dan mengungkapkan niatnya.
Semua bukan pertanda baik untuknya. Tapi Baskara membiarkan Jingga menyelesaikan tangisnya. Memberi gadisnya waktu untuk menenangkan diri dan siap mengungkapkan apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Semoga apa pun itu, tidak ada kaitannya dengan hubungan mereka. Semoga hanya masalah biasa antara Jingga dan keluarganya atau mungkin gadis itu bersedih karena belum juga bisa berbaikan dengan Senja.
Apa pun itu, Baskara berharap Jingga bisa lebih tegar lagi dalam menghadapi masalahnya. Karena ada ia di samping gadisnya itu.
*
*
*
Yuhuuuu outhor hadir lagi sesuai janji..
Meski sedih di bab 18 bahkan gak tembus 40 like 😭😭
Author up-nya satu-satu aja ya.. Kali ini target di naikin jadi 65. hihihi
Kalau tembus nanti bonus langsung meluncur... Udah ada di draft lho...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
TongTji Tea
jingga ..pengen peluk jingga.🥺
2022-04-22
1
Meidiana Wardhana
cerita nya ini sangatlah bagus Thor 😄...asli AQ mpek terhanyut dan serasa ikutan di dalam situasi novel dan cerita mu saat ini di situasi yg lagi penuh konflik...mpek nangis Bombay beneran dech AQ Thor😭😭😭
good luck Thor lanjutkan karya novel ini ...aq tunggu up berikut nya
2021-11-24
1
Jennie Kim
gw senja titik
2021-10-14
2