"Maaf pah. A-abang.... A-aku..... A-aku sudah merusak Jingga."
Alvaro dan Tiara bagai di sambar petir. Dari kegelisahan dan rasa penyesalan serta takut yang terdengar dari nada suara putranya, mereka sudah bisa menebak apa yang dimaksud "merusak" yang Farri ucapkan.
Seperti di tikam ribuan mata pisau saat mendengarnya. Putra sulung mereka. Putra yang mereka harapkan bisa memberikan contoh yang baik bagi adik-adiknya. Pria yang selama ini mereka banggakan karena keberhasilannya dalam bekerja. Menempuh pendidikan pun bisa lulus dengan nilai terbaik.
Tapi kini justru menghancurkan semuanya. Membuat Alvaro dan Tiara yang harusnya tengah bahagia berlibur tanpa memikirkan anak mereka yang sudah bisa mengurus dirinya sendiri, kini justru menyesal, kenapa mereka harus berlibur. Membuat anak mereka berbuat diluar batas.
"Maksud kamu merusak itu apa abang?" tanya Tiara dengan suara yang bergetar. Suara yang tidak ingin Farri dengar. Karena kekecewaan ibunya adalah hal paling menyakitkan di dunia ini.
Tiara mencoba menyakinkan jika dugaannya salah. Jika apa yang ia pikirkan tidaklah benar. Ia berharap putranya tidak berbuat sejauh itu.
Meski masa muda Farri sering dipenuhi dengan ulah yang sering membuat kepalanya serasa akan meledak. Tapi putra sulungnya itu tidak pernah berbuat lebih dari batas toleransi yang ia dan sang suami berikan.
Meski minuman keras dan balap liar saja sudah susah untuk mereka terima. Tapi itu masih lebih baik dari pada Farri menyentuh obat terlarang dan juga terjerumus pergaulan bebas.
"Abang nggak sadar mah... Abang lagi kecewa sama seseorang, makanya abang minum lagi! " ucap Farri penuh sesal. Menunduk sedih mendengar tangis ibunya. Yang semakin terdengar isaknya saat ia menceritakan semua yang terjadi.
Vindra yang menemani saudara kembarnya duduk di ruang tengah lantai atas hanya bisa menepuk punggung kakaknya itu.
Ia juga kecewa. Tapi melihat keluarganya bersedih seperti itu, siapa yang tidak akan sedih juga.
Tak jauh dari mereka, Jingga yang baru saja keluar dari kamar Farri selepas selesai berpakaian, kembali menangis sesenggukan dalam pelukan Senja yang juga ikut menangis.
Senja sejatinya wanita tegar. Tapi ia paling tidak bisa melihat ibunya menangis. Melihat orang tuanya sedang kurang hangat saja ia sudah akan menangis hingga orang tuanya kembali berdamai.
Tidak ada yang merasa tidak tersakiti disitu. Semua merasa sakit. Termasuk juga Farri. Dia merasa amat terluka ketika mendengar nada kecewa dari orang tua dan tangis sang ibu.
Merasa menjadi anak yang hanya bisa mengecewakan mereka. Dan sebaliknya dengan kedua orang tuanya yang merasa gagal menjadi orang tua.
"Mama harus bagaimana mempertanggung jawabkan perbuatan kamu sama orang tua Jingga, bang?" tanpa sadar Farri ikut menitikan air mata ketika mendengar suara ibunya yang diwarnai tangisan. "Mau ditaruh dimana muka mama, nak?"
Farri meremas rambutnya dan merutuki dirinya sendiri. Merutuki kebodohan yang sudah membuat orang taunya kecewa bahkan malu atas apa yang ia perbuat.
"Om Dika sudah tahu?" suara ayahnya meski terdengar tenang, tapi Farri tahu, justru pria itu yang paling kecewa atas dirinya. Ketenangan sang ayah justru lebih menakutkan. Ia tahu ayahnya sudah melebihi batas kecewanya. Hingga pria yang menjadi panutannya itu tidak berkata apa pun untuk memakinya.
"Belum pah. Abang baru mau antar Jingga pulang dan minta maaf."
Terdengar helaan napa berat milik ayahnya dengan isak sang ibu sebagai latar.
"Tunggu papa pulang. Kita minta maaf bersama."
***
Dika dan Sheril bingung ketika malam hari, putrinya di antar oleh tetangga sekaligus sahabat mereka.
Jingga langsung memeluk Sheril dan menangis begitu wanita yang telah melahirkannya itu mempersilakan Alvaro-Tiara beserta Farri dan Senja untuk masuk.
"Lho kenapa sayang?" Sheril mengusap punggung putrinya lembut. Dengan perasaan yang semakin bingung.
Pasalnya sejak 11 tahun yang lalu ketika anak ke tiga mereka lahir, Jingga tidak pernah merengek pada mereka. Meski gadis itu kadang tetap manja pada ayahnya karena memang ia putri satu-satunya, tapi setiap keinginannya tidak terpenuhi, atau setiap adik-adiknya lebih membutuhkan perhatian, tak sekalipun Jingga menangis.
Dan malam itu adalah kali kedua orang tua Jingga melihat putri mereka menangis setelah sekian lama.
"Ada apa ini, Alvaro?" tanya Dika pada sahabatnya. Karena tidak mungkin tidak terjadi hal serius jika sampai sahabatnya yang mengantar putrinya pulang. Padahal rumah mereka hanya bersebelahan.
Terlebih tangis putrinya juga raut mendung di wajah tamu-tamunya membuat perasaan Dika dan Sheril menjadi tidak enak.
Apa keluarga Alvaro datang karena ingin memutuskan hubungan persahabatan mereka setelah apa yang Jingga lakukan pada Senja? begitu isi pikiran Dika.
"Farri ingin mengatakan sesuatu pada kalian." bahkan nada suara Alvaro tidak sesantai biasanya.
Dika dan Sheril beralih menatap putra sulung keluarga sahabat mereka itu dengan bingung. Menunggu pemuda yang tengah menunduk itu untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi.
Tak pernah mereka melihat seorang Farri tertunduk tak berdaya seperti itu. Family man yang selalu terlihat ramah dan percaya diri itu kini bahkan tak terlihat.
"Kenapa Farri?" tanya Dika, karena pemuda itu tak kunjung mengeluarkan suaranya.
Farri berjengit ketika adiknya menyenggol lengannya. "Ngomong baang" bisik Senja mencubit pelan lengannya.
Dengan mengumpulkan segala keberaniannya Farri mendongakan kepalanya. Menatap kedua orang tua Jingga dan menelan ludahnya kelat begitu mendapati Jingga masih menangis dalam pelukan ibunya.
Keberanian Farri seakan lenyap begitu orang tuanya pulang dan tak mengatakan apa pun selain mengajak mereka mengantar Jingga.
Ia lebih baik dimarahi atau di hajar habis-habisan oleh sang ayah dari pada di diamkan seperti itu.
"Sa-saya mau minta maaf, Om." ucap Farri ketika lagi-lagi Senja mencubitnya.
"Minta maaf kenapa?" Dika masih menanggapi dengan tenang. Mencoba meraba situasi apa yang ada di hadapannya saat ini.
"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Om dan tante. Saya salah, dan saya akui itu." tak ada keinginan Farri untuk membela diri. Karena sejujurnya ia memang salah dilihat dari sudut pandang mana pun.
Dika dan Sheril saling pandang tak mengerti. Dan kembali fokus menatap Farri dengan menajamkan pendengaran mereka. Takut salah memahami ucapan pemuda itu. Pasalnya mereka tak merasa Farri berbuat salah apa pun pada mereka.
"Maaf. Maaf karena saya sudah merusak putri yang kalian jaga dengan sangat baik." aku Farri menatap Dika dengan yakin. Ia tidak ingin menjadi laki-laki brengsek dan pengecut yang tidak mau mengakui dan mempertanggung jawabkan kesalahannya.
Sedangkan Sheril dan Dika masih mencoba mencerna ucapan Farri dengan perasaan yang tidak menentu. Terlebih Jingga semakin tergugu dalam dekapan Sheril.
"Maksud kamu apa?!" sela Dika dengan sedikit emosi.
*
*
*
Yang minta double up. Nanti ya, kalau like-nya tembus 40 baru dikasih double. hihihi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
tegang jg ni... baca pengadilan u farri
2022-03-09
1
Yulia Novita
nggak usah dimaafin si farri sama seperti senja yg tdk memaafkan jingga baskara.....enak aja lsg dimaafkan
2022-01-10
1
jingga
bang farri mau tanggung jawab padaku?😜...ku tunggu pinanganmu
2021-06-07
6