"Assalamualaikum, Mas Gio?"
Suara berat yang sudah tidak asing lagi untuk Safira dan Gio datang menginterupsi acara ramah tamah Pak Dimas.
"Waalaikumussalam, Ali?" Gio segera menarik uluran tangannya, berbalik menyambut kedatangan Ali dengan sukacita.
Dia tidak menyangka akan bertemu Ali lagi di sini setelah 1 tahun meninggalkan pondok pesantren.
"Mas Gio juga kenal Mas Ali?" Safira spontan bertanya kepada Gio, dia tidak sadar jika panggilannya kepada Ali membuat semua orang menatapnya dengan rasa ingin tahu, bahkan tidak terkecuali Ali sendiri.
"Mas Ali?" Saqila tidak bisa menahan senyum.
"Ah," Safira langsung sadar.
Dia segera mengecilkan lehernya, berjalan mundur ingin bersembunyi dari pandangan Ali. Dia salah tingkah karena ketahuan telah menyebut pemuda itu dengan panggilan intim. Padahal Pak Dimas sendiri yang jauh lebih dewasa darinya tidak pernah mendapatkan panggilan kehormatan itu dari Safira.
Tentu saja hal ini membuat Pak Dimas dibakar cemburu.
"Dia..dia soalnya berada di komplek A jadi aku sering mendengar tentangnya dari orang-orang sini." Alasan Safira sembari menyembunyikan rona merah diwajahnya.
Dia mengeratkan genggaman tangannya di telapak tangan Abi karena gugup.
Abi melihat kegugupan putrinya yang selalu tampil cuek dan sering acuh terhadap orang lain. Ini adalah pertama kalinya dia melihat putrinya yang paling tangguh merona malu bahkan tangannya pun terasa dingin karena gugup. Lalu, kedua mata tuanya beralih menatap pemuda tinggi yang ada di depan Gio. Usianya tampak lebih muda dari Safira namun sorot matanya sangat dewasa.
Kedua mata itu bahkan tidak takut sama sekali bertemu pandang dengan kedua mata tua Abi.
Melihat reaksi gugup putrinya yang tidak biasa kepada pemuda itu Abi akhirnya mengerti bila putrinya punya perasaan yang intim kepada pemuda itu.
Benar, Safira akhirnya menaruh hati kepada seseorang.
"Oh ternyata begitu. Mas pikir itu wajar saja dia terkenal di sini karena di pondok pesantren dulu saja banyak banyak santriwati yang menyimpan rasa untuknya. Bahkan Mad juga sempat dengar beberapa ustadzah memberanikan diri mengajukan proposal kepada Ali."
"Mas Gio berlebihan karena di pondok pesantren kehidupan ku sama saja seperti santri lain pada umumnya." Ali melambaikan tangannya menyangkal.
Safira terkejut, dia memang tahu Ali pernah mondok selama beberapa tahun tapi dia tidak menduga jika Ali ternyata mondok di pondok pesantren Gio.
Pondok pesantren Gio!
"Aku tidak berlebihan, jika kalian tidak percaya coba tanyakan saja kepada Annisa. Aku malah tahu tentang para ustadzah itu dari Annisa."
Annisa tersenyum lembut, menganggukkan kepalanya setuju.
"Mas Gio.. tolong, aku sangat malu." Katanya masih dengan senyuman yang meneduhkan.
Sorot matanya yang tajam dan jernih sesekali melirik Safira yang berdiri malu di samping Abi. Bahkan Ali juga tidak malu memberikan anggukan sopan kepada Abi meskipun mereka berdua tidak pernah bertemu sebelumnya ataupun saling mengenal.
Sementara itu, Pak Dimas yang awalnya menjadi pusat perhatian mereka tadi hanya diam mengamati interaksi semua orang dengan Ali. Kedua mata angkuhnya menatap tidak puas Ali karena sudah mengambil perhatian yang seharusnya menjadi miliknya sendiri, terutama ketika Safira merespon kedatangan Ali dengan wajah merah nan gugup turut menarik ketidakpuasan Pak Dimas.
Dia lalu menatap cemburu wajah tampan Ali yang masih bersikap santai, mengingat baik-baik wajah ini bila suatu hari mereka bertemu lagi.
"Mas Ali acara sebentar lagi dimulai. Om Rahman bilang Mas Ali harus sudah stand by di tempat duduk."
Pembicaraan mereka tiba-tiba diinterupsi oleh kedatangan panitia acara pernikahan. Dia meminta Ali segera duduk di tempatnya karena sebentar lagi akad akan dimulai.
"Oh ya, aku akan ke sana." Dia lalu melirik Gio,"Mas aku pamit dulu. Nanti kalau ada waktu kita bicara lagi."
Setelah Ali pergi suasana cerah yang sempat mereka rasakan langsung menghilang digantikan suasana tidak nyaman dan canggung.
"Siapa yang mengundang Pak Dimas ke sini?" Tanya Abi serius kepada Umi.
"Umi yang mengundang Pak Dimas ke sini, Abi. Umi mau Pak Dimas mengenal keluarga kita lebih jauh lagi." Jawab Umi masib dengan ekspresi tidak bersalah.
Abi tentu saja sudah tahu jawaban ini yang akan keluar dari mulut istrinya, meskipun sudah menduga tapi dia tetap saja tidak bisa menahan marah melihat ketekunan Umi menyatukan Pak Dimas dengan Safira. Padahal sudah jelas-jelas laki-laki ini sudah punya keluarga sendiri.
"Astagfirullah.." Abi mendesah tertahan.
Dia mengeratkan genggaman tangan Safira seolah melindungi putrinya dari hewan buas yang menyeramkan.
"Seluruh tamu undangan dimohon untuk duduk di kursi masing-masing." Suara perempuan pembawa acara menengahi ketegangan.
Abi menghela nafas panjang, menarik Safira menjauh dari Umi dan Pak Dimas. Gio dan Annisa mengerti maksud Abi jadi mereka berdua menggantikan posisi Abi di sebelah Umi agar Pak Dimas tidak bisa mengganggu Safira.
"Acara akad akan kita buka dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an dari saudara Muhammad Ali Althalib, dimohon para tamu undangan untuk mendengarkan."
Seketika ruangan itu menjadi sunyi, semua tamu undangan kompak menutup mulut untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat suci yang akan segera dilantunkan.
"Ali?" Kepala Safira spontan menengadah ke arah tempat akad yang tidak jauh dari tempat duduk tamu undangan.
Di sana Safira melihat wajah teduh Ali duduk bersila di depan Al-Qur'an dengan pandangan tertunduk.
"أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ"
A'udzu billahi minasy syaithaanir rajiim
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk)
Suara lembut nan halus mulai memenuhi pendengaran semua orang, membasahi setiap hati yang kering dan mengetuk pintu hati yang tertutup.
Deg
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 453 Episodes
Comments
gula jawa
Seharusnya si umi di rukiyah
2022-12-13
0
Najwa Bukan
jadi ingat dia yang bersuara merdu dan pandai Qiro'ah
2022-02-25
0
Siti Fahri
AQ juga mu pasangan yang Soleh imamku
2021-08-23
2