"Ya Allah, mengapa hatiku ragu melanjutkan langkah ini?" Safira mengusap wajahnya lelah, mematikan ponsel dan melemparkannya ke atas ranjang.
"Apa karena aku masih tidak rela melepaskan Ali?" Dia berjalan mendekati jendela, menyingkap gorden dan membuka jendela agar langit malam masuk memenuhi kegundahan hatinya.
"Namun.. ketika aku melepaskan Aldo dulu hatiku tidak seberat ini. Hatiku tidak setakut ini, ya Allah."
10 tahun yang lalu dia pernah jatuh cinta kepada Aldo tapi patah hati karena orang yang dicintai oleh Aldo adalah Mira, sahabat Safira. Saat itu hati Safira hancur tapi bertekad mengikhlaskan. Langkah itu memang berat tapi tidak seberat yang dirasakan Safira saat ini.
Dia seolah melakukan sebuah pengkhianatan hari ini.
"Ali.. Muhammad Ali Althalib, bencikah dirimu ku sukai sampai sedalam ini? Bila tahu apakah kamu akan langsung membenciku?" Safira membayangkan wajah pemuda tampan itu yang sudah jauh lebih tampak dewasa.
Dia tidak ingin munafik, jatuh cinta adalah anugrah dari Allah tapi bagaimana menyikapinya kadang manusia jatuh dalam kebingungan. Memperjuangkan atau tidak, setiap manusia punya pola pikiran yang berbeda.
"Apa yang harus aku lakukan untuk menyikapi perasaan ini wahai Ali? Aku 30 tahun dan kamu masih 24 tahun. Usia kita lebih pantas bersanding sebagai adik dan Kakak. Namun, aku ingin lebih dari itu tapi tidak bisa karena kamu..sudah memiliki wanita dambaan. Apa yang harus aku lakukan mengenai perasaan ini?" Menatap hamparan langit luas di depannya yang kehilangan cahaya indahnya karena dipenuhi awan mendung.
Akan segera turun hujan, Safira tidak tahu harus merasa tenang atau tidak karena suasana hatinya yang sedang kacau.
"Apakah aku harus menjadi Khadijah, datang kepadamu untuk mengungkapkan rasa atau aku harus menjadi Fatimah. Diam-diam melambungkan namamu ke langit di setiap sepertiga malam?" Dia tiba-tiba berdiri tegak, menoleh ke meja rias dan melihat buku yang disarankan Ali untuk dibaca.
"Menjadi Fatimah?" Dia kembali ke depan meja rias, mengambil buku itu untuk dia amati.
Dia terdiam, menimbang apakah harus membacanya atau tidak. Namun hatinya tidak rela karena plastik bening yang telah melindungi buku ini pernah disentuh oleh Ali.
Ya, disentuh oleh Ali.
Tok
Tok
Tok
Ada suara ketukan pintu dari luar mengalihkan fokus Safira.
"Assalamualaikum, dek?"
Itu suara Saqila!
Safira segera menaruh buku itu kembali ke atas meja rias dan segera membuka pintu untuk Saqila, Kakaknya yang nomor dua.
"Waalaikumussalam, Kak Saqila kapan datang? Terus Karin sama Kiran mana?" Diluar sudah ada wanita cantik nan lembut berdiri dengan sebuah senyuman keibuan.
Satu tangannya memegang paper bag berwarna merah sedangkan tangan yang lain mengelus perut besar yang tertutupi kain gamis.
"Kakak sama Mas Tio baru aja sampai, dek. Anak-anak udah pada tidur di dalam perjalanan jadi Mas Tio bawa ke kamar Kakak." Saqila dibawa masuk ke dalam kamar oleh Safira, mendudukkan Kakaknya di ranjang hati-hati takut membuat perut besar Saqila tidak nyaman.
"Kok Kak Saqila ke sini malam-malam sih? Kakak kan bisa berangkat besok pagi biar sampainya siangan." Safira memberikan Saqila segelas air putih.
"Kakak kangen rumah jadi gak bisa nunggu." Dia menerima gelas Safira tapi tidak langsung meminumnya.
"Nih buat kamu, Kakak juga udah beli buat Umi dan Kak Annisa biar gamis kita besok seragam waktu di acara akad Karina." Saqila menyerahkan paper bag merah yang dia bawa ke Safira.
"Jazakumullah khairan, Kakak ku tercinta. Safira suka gamisnya, kainnya nyaman." Safira tidak sungkan menerima hadiah Saqila.
"Eh, ngomong-ngomong perut Kakak udah berapa bulan? Kok kayak udah sembilan bulan aja, jangan bilang yang ini kembar juga?" Safira beralih menatap perut besar Saqila.
Itu sangat besar sampai-sampai Safira takut Saqila tidak kuat menahannya saat berjalan. Sejujurnya, dia ngilu karena masalah hamil dan melahirkan belum pernah dia rasakan.
Saqila tertawa kecil, menarik tangan Safira untuk mengusap perutnya.
"Coba tebak, di dalam kembar atau enggak?" Saqila bukannya menjawab malah bertanya.
Tangan kanan Safira seketika kaku karena mendapatkan respon aktif dari dalam perut Saqila. Tangannya dari luar merasakan sebuah pergerakan hidup dan antusias, membuat perut Saqila bergelombang.
"Ini kembar?" Safira ragu.
"Kenapa bisa kembar?" Saqila lagi-lagi bertanya.
"Karena.. perut Kakak besar dan di dalam cukup aktif melakukan pergerakan."
"Safira.. Safira, kamu yah kayaknya acuh banget sama saudara sendiri." Saqila berdecak tidak puas.
"Lho, kok gitu? Safira kan tetap nanyain kabar Kakak kalau ada waktu." Safira membela diri.
"Nah ininih, karena terlalu sibuk bekerja kamu jadi acuh. Coba tebak, berapa bulan usia perut Kakak sekarang?"
Safira menatap sejenak perut besar Saqila.
"7 bulan?" Dia ingat saat Karin dan Kiran belum lahir perut Saqila sangat besar di usia kehamilan bulan ketujuh.
Persis seperti ini.
"Ck..ck, Kakak udah sembilan bulan tahu. Dua atau tiga minggu lagi akan lahiran, in shaa Allah."
"Eh, bentar lagi dong, Kak. Terus kenapa Kakak ke sini kalau waktunya udah dekat?" Safira jelas lebih senang Saqila diam di rumah beristirahat untuk melakukan persiapan untuk hari lahiran.
"Kakak gak selemah itu kok, masih bisa malah jalan-jalan ke luar negeri ini." Kata Saqila bercanda.
"Besok kalau hamil kamu pasti ngerti kok, duduk diem di rumah itu gak asik dek."
Disinggung tentang hamil Safira tiba-tiba terdiam. Dia duduk lemas di samping Saqila tampak sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Kamu kenapa dek?" Saqila tidak lagi tertawa.
"Safira mau ta'aruf Kak sama seseorang." Jawab Safira tidak bahagia.
"Itu bagus dong, dek. Akhirnya kamu bisa menyusul kami menempuh jalan baru, tapi.. Kakak perhatiin kenapa muka kamu jadi gak senang?"
Ini kabar baik tapi kenapa Safira terlihat tidak bahagia.
"Aku sejujurnya enggan, Kak." Akui Safira.
Ah, Saqila mengerti.
"Apa kamu sudah menyukai seseorang?"
Safira mengangguk malu.
"Tapi usia kami beda jauh dan aku dengar dia juga sudah menjalin hubungan dengan wanita lain. Hah..ini lebih berat dari yang Safira bayangkan."
"Kamu..kamu suka Om Om, dek?" Saqila terkejut sekaligus tidak menyangka.
"Astagfirullah, Kak. Aku gak suka Om Om! Maksud aku tuh laki-laki yang aku suka masih muda, umurnya tahun ini masih 24 tahun sedangkan aku sudah 30 tahun." Safira menjelaskan.
"Oh.." Saqila bisa merasakan rasa sakit Safira.
Usia adalah hal yang paling menonjol dalam suatu hubungan, apalagi bila pihak keluarga laki-laki tidak setuju. Permasalahannya akan rumit.
"Kakak gak berpikir kamu suka yang lebih muda, dek. Tapi kamu jangan sedih dan serahkan semuanya kepada Allah, dek. Bila dia jodoh mu maka Allah akan persatukan kalian tapi bila bukan maka ada laki-laki yang lebih baik dan pantas untuk kamu. Kamu hanya perlu bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah, dek." Saqila tidak terlalu pandai berbicara tentang perasaan apalagi itu menyangkut percintaan beda usia.
Dia tidak tahu harus bereaksi apa.
Namun ketika mendengar laki-laki itu sudah memiliki wanita lain, Saqila tiba-tiba berpikir bahwa mungkin Safira tidak berjodoh dengannya.
Safira tersenyum tipis,"Kakak tidak perlu khawatir."
Safira kemudian terdiam, memandangi kedua tangannya yang terjalin lemas seraya berpikir bahwa mungkin dia harus melangkah maju meskipun rasanya berat.
Karena cinta datang karena terbiasa.
"Mungkin tidak." Bisiknya pada diri sendiri namun masih di dengar Saqila.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 453 Episodes
Comments
Alfian Rosyadi
tema nya menarik ada unsur islami, dan saya apresiasi kemampuan author dalam pengetahuan agamanya.
tapi sayangnya jalan cerita monoton, tidak ada pra konflik, konflik, dan penyelesaian konflik yang menonjol. ( alias alur cerita tidak tepat pada intinya). karena di ceritanya hanya berfokus mencocokan firman qur'an dan kehidupan. konflik hanya mengandalkan usia perempuan yang merasa tidak pantas karena usia tua.
kesan saya baca novel ini seperti membaca ceramah seseorang bukan novel.
2022-04-22
0
Auliya
Alhamdulillah Saqila benar2 sudah berubah... sudah jadi emak² pula 😂😂
2021-12-07
0
Ayudhiapink
klo. jdoh gak kmna
2021-07-23
0