Setelah sholat subuh Safira menyempatkan diri untuk membersihkan kamarnya sebelum turun ke bawah membantu Umi masak di dapur.
"Assalamualaikum, pagi Umi-eh, ada Abi juga." Salam Safira ketika masuk ke dalam dapur.
Di dapur kebetulan ada Abi yang sibuk memotong-motong sayur bayam segar. Sepertinya bahan-bahan dapur hari ini baru saja di antar Ibu Laeli, tetangga mereka. Kebetulan Ibu Laeli berjualan sayur mayur dan beberapa bahan dapur hasil sawah mereka di sini sehingga Umi tidak perlu repot-repot pergi ke pasar atau supermarket untuk membeli bahan dapur.
"Waalaikumussalam, kamu kok ke sini dek? Masih pagi lho." Umi sedang mengulek sambal di cobek.
"Iya Umi, Safira mau bantu buat sarapan biar aku ada kerjaan." Safira ikut duduk sama Abi, membantu Abi memotong sayur bayam.
"Gak usah bantu, dek. Lebih baik kamu siap-siap aja pergi kerja biar nanti gak terlambat." Umi membantu Safira berdiri ingin mengusirnya dari dapur.
Safira sangat sibuk dan suka pulang malam jadi Umi tidak mau merepotkan nya. Apalagi beberapa bulan ini Umi perhatikan Safira sering begadang dan punya jam tidur yang sedikit sehingga Umi semakin khawatir.
"Hari ini Safira masuk siang, Umi. Jadi Umi gak perlu panik." Ucap Safira santai.
Ada acara di kantor tapi Safira gak mau datang karena tidak terlalu suka keramaian. Apalagi acara yang mereka buat adalah acara makan-makan yang disertai minum-minum. Safira tidak suka juga benci dengan alkohol sehingga dia lebih senang bersantai di rumah daripada ikut bergabung bersama rekan-rekan kerjanya.
Safira tidak ingin menutup-nutupi soal rekan-rekan kerjanya di kantor. Meskipun mereka adalah pegawai negara tapi sikap mereka masih sulit diatur. Ya itu wajar saja karena di dalam sarang para penggalang keadilan juga sulit mendapatkan keadilan.
Karena uang, kekuasaan, hubungan nepotisme adalah hal yang wajar. Harga keadilan hanya sebatas itu saja.
"Kalau masuk siang kamu cukup diam aja di sini dan jangan melakukan apa-apa. Istirahat yang cukup agar kamu bisa bekerja dengan lancar di kantor." Umi masih kukuh ingin mengusir Safira.
"Potong sayur gak butuh tenaga besar, Umi. Biarkan saja Safira di sini." Abi membela Safira.
Karena Abi sudah mengatakan maka Umi tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia mendengarkan Abi dan membiarkan Safira diam di dalam dapur.
"Duduk saja di sana dan jangan melakukan pekerjaan yang lain." Perintah Umi memperingatkan.
"Iyaaa..Umi." Safira gemas dengan Umi.
"Em, ngomong-ngomong sepupu kamu Karina udah lamaran kemarin. Katanya 3 hari lagi akan akad di sini. Kamu udah tahu belum berita ini?"
"Tahu kok, Umi. Kak Annisa kemarin sore yang SMS aku. Dia bilang Karina bentar lagi nikah jadi dia dan Mas Gio mau nginap di sini."
Karina memang tidak dekat dengannya tapi Safira tidak terlalu acuh dengan kabar gembira ini karena pada akhirnya mereka adalah keluarga. Dia malah berencana membelikan kado kepada sepupunya itu.
"Oh, Umi kira kamu gak tahu." Umi melirik Safira, menilai bagaimana ekspresinya saat ini.
Setelah melihat tidak ada yang salah Umi berinisiatif membuka topik yang lebih sensitif lagi.
"Terus gimana sama kamu, dek?"
"Datang kok, Umi. Aku juga mau beliin dia kado nanti." Jawab Safira masih belum mengerti maksud pertanyaan Umi.
"Bukan itu, maksud Umi kamu kapan nyusul. Bibi Bibi kamu yang lain pada nanyain lho kapan kamu nikah. Katanya mereka takut kamu jadi perawan tua karena kelamaan belum nikah." Umi mengoreksi, tanpa sadar telah menyentuh titik sakit Safira.
Umi sama sekali tidak berubah. Dia masih sama dengan Umi 10 tahun yang lalu, suka mendengarkan pendapat orang dan menganggapnya serius. Umi tidak akan pernah berhenti gusar sebelum kata-kata orang itu lenyap. Dia akan selalu memikirkannya meskipun dia tahu sendiri dampaknya akan buruk untuk kesehatan.
Terkadang, Safira jengah dengan sifat Umi yang ini. Safira tidak suka melihat Umi lebih percaya dan senang mendengarkan pendapat orang lain daripada melihat situasi keluarganya sendiri.
"Kalau udah waktunya Allah pasti kirim kok, Umi. Kita tinggal tunggu aja." Safira menjawab enteng padahal hatinya berdebar gelisah.
"Pak Dimas emang kurang apa lagi, dek? Dia baik lho juga punya pekerjaan yang mampu jadi kamu gak perlu pusing besok kalau udah nikah sama dia."
Pak Dimas adalah atasan Safira di kantor. Dengar-dengar dari rekan kerja Safira di kantor kalau Pak Dimas memendam rasa kepada Safira. Awalnya Umi tidak percaya tapi saat melihat perhatian Pak Dimas kepada Safira dia akhirnya merasa yakin. Pak Dimas juga sesekali mengantarkan Safira ke rumah untuk menyapa Umi dan Abi. Dari kesan yang Pak Dimas buat dia tampaknya sangat serius dengan Safira.
Umi tidak mau melepaskan kesempatan ini dan ingin segera mereka menikah. Toh usia Safira juga sudah sangat matang untuk memulai rumah tangga.
Diingatkan tentang Pak Dimas ekspresi Safira langsung berubah total. Dia menatap Umi tidak setuju.
"Astagfirullah, Umi. Pak Dimas sudah punya istri dan anak, aku gak mau menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga apalagi sampai merusak rumah tangganya. Juga, Safira tidak pernah berpikir sama sekali untuk menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga orang dan dipoligami."
Dia pernah merasakan bagaimana sakitnya melihat laki-laki yang dicintai ternyata mencintai wanita lain. Sebagai perempuan tentu saja dia tidak mau perasaan sakit itu juga dirasakan oleh istri Pak Dimas. Membayangkan suami tidur dengan wanita lain untuk saling memadu kasih, betapa sakit yang dirasakan istri pertama.
"Umi, jangan berbicara lagi." Abi mengingat sang istri agar jangan merusak suasana damai ini.
Tapi Umi tidak mengerti dan keras kepala. Dia hanya tahu ini adalah pilihan terbaik untuk Safira.
"Menikah dengan Pak Dimas tidak harus dipoligami, Safira. Minta saja Pak Dimas menceraikan istrinya sehingga kamu tidak dipoligami. Lagipula, ini adalah soal perasaan yang tidak bisa dihindari sehingga kamu tidak bersalah sama sekali. Kamu dan Pak Dimas menikah karena cinta bukan karena hubungan terlarang."
"Umi, memohon ampunlah kepada Allah. Apa yang Umi katakan ini adalah dosa yang sangat tidak disukai Allah dan rasul-Nya. Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ"
bahwa 'Barang siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dari kami' ( HR. Ahmad, shahih). Apa Umi mau Safira tidak terjerumus ke dalam jalan yang tidak benar dan tidak diakui oleh Rasulullah Saw sebagai umatnya? Mengapa Umi begitu kejam mendorong Safira ke jalan yang tidak diridhoi oleh Allah?" Tanya Safira terluka.
Apa dia harus merendahkan dirinya hanya untuk mendapatkan suami?
Apa dia harus berlaku kejam merusak kebahagiaan wanita lain?
Tidak, Safira tidak akan pernah melakukan hal kejam itu!
Hukum Allah tetap berlaku, apa yang kamu tanam itulah yang kami tuai. Semua perbuatan kita di dunia ini pasti akan mendapatkan balasan meskipun itu hanya sebiji zarah dan telah Allah SWT peringatkan dalam firman-Nya surat Al-az Zalzalah ayat 7 dan 8.
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ° وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Artinya : “Barangsiapa yang berasap seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. ”
Bagaimana bisa Safira lupa peringatan Allah ini?
Sudah cukup dengan dosa sehari-harinya kelak dia pertanggungjawabkan di hari kiamat. Dia tidak mau mengundang dosa besar apalagi sampai diasingkan oleh Rasulullah Saw.
"Astagfirullah, Umi tidak bermaksud menjerumuskan mu ke jalan yang salah. Maksud Umi baik, dek. Pak Dimas terlihat sangat menyukai kamu jadi Umi sarankan untuk menikah dengannya." Umi masih merasa di pihak yang benar.
Apa yang dia katakan salah tapi alasannya benar, ini adalah pemikiran keras kepala Umi yang tidak bisa berubah setelah bertahun-tahun lamanya.
Safira terdiam, dia seolah melihat Umi 10 tahun yang lalu ketika Annisa difitnah dan berakhir kabur di rumah. Saat itu Umi sangat percaya dengan apa yang dia yakini dan menganggap Annisa adalah sebuah aib.
Dia tidak mempercayai anak yang telah dibesarkan dan dididik sendiri. Entah mengapa Safira merasa dia sekarang ada di posisi Annisa.
Terjebak oleh ego Umi. Tapi sayangnya Safira tidak selemah Annisa sehingga dia tidak mudah dipojokkan Umi.
"Niat Umi memang baik namun cara Umi yang salah." Kata Safira dengan suara stabil.
"Aku juga ingin menegaskan kepada Umi bahwa apapun yang Umi katakan Safira tidak akan pernah mau menikah dengan Pak Dimas. Urusan jodoh Umi tenang saja karena sudah ada Allah yang mengaturnya. Safira hanya perlu menunggu waktu yang tepat, waktu dimana Allah mempertemukan kami berdua."
Umi berdecak tidak puas di ujung sana.
"Kamu juga harus usaha nyari, Safira. Kalau kamu duduk diam terus bersama tumpukan dokumen kasus laki-laki mana yang akan tertarik sama kamu. Apalagi usia kamu sudah tidak muda lagi Safira, usia kamu sudah masuk 30 tahun. Keluarga dari pihak laki-laki mungkin akan mempertimbangkan ini karena di usia 30 tahun rahim wanita sulit dibuahi. Kamu harus pertimbangkan ini secepat mungkin dan jangan menunda-nunda, Umi gak mau apa yang mereka katakan benar-benar menjadi kenyataan. Umi gak mau kamu jadi perawan tua selamanya."
30 tahun,
Ya, tahun ini Safira berusia 30 tahun. Seperti kata Umi usia ini terbilang sulit untuk mendapatkan suami atau kepercayaan dari pihak keluarga calon suami. Umi pikir Safira tidak pernah memikirkannya?
Jawabannya adalah salah besar karena faktanya Safira sering memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang Umi katakan tadi. Dia takut juga gelisah jika tak ada laki-laki yang mau beristri seorang perawan tua.
Safira sangat takut.
"Umi, cukup! Kamu sudah keterlaluan. Tidak seharusnya kamu mengatakan itu kepada Safira karena ini pasti akan membebani pikirannya. Lagipula ini adalah masalah pribadinya jadi kamu tidak perlu terlalu memaksa apalagi sampai memintanya merusak rumah tangga orang lain. Ini adalah perbuatan yang dilarang Rasulullah Saw, tapi mengapa kamu malah mendorongnya untuk melakukan itu?" Abi tidak tahan lagi melihat Umi terus memojokkan Safira.
Umi jelas terkejut mendapatkan bentakan Abi. Tangannya hampir saja tergelincir masuk ke dalam cobek jika dia tidak segera mengendalikan diri.
"Aku harus kembali ke kamar. Kebetulan dokumen-dokumen yang Sarah minta belum aku siapkan. Jadi, aku pamit ke atas dulu." Safira membawa langkahnya keluar dari dapur.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 453 Episodes
Comments
Astri
ihh kok uminya gitu sihhh
2024-08-18
0
Alana
ahhh samalah kayak aku,,,, 😖 kenapa baru nemu cerita inj sekarang
2022-01-15
1
hannina
cuma bisa bilang sabar
2021-09-24
0