Safira tidak menemukan siapapun di dalam kantor, mungkin rekan-rekan kerjanya masih belum selesai berpesta.
"Akhirnya kamu datang, Safira!"
Safira baru saja duduk di kursinya tapi sudah diserang oleh suara cempreng yang tidak asing.
"Kamu gak usah teriak kali, Rah. Aku pasti dengar kok." Safira memutar bola matanya seraya mengeluarkan berkas-berkas kasus yang dia kerjakan semalam.
"Aku tahu tapi lebih asik aja teriak-teriak, apalagi yang lain pada pergi jadi gak akan ada yang terganggu kok." Sarah membuat alasan.
"Biasanya juga kamu tetap teriak meskipun mereka ada di sini. Udah ah, ada keperluan apa kamu nyariin aku? Kalau gak penting mending keluar aja deh karena aku lagi sibuk banget." Dia menunjukkan Sarah berkas-berkas tebal yang ada di atas meja.
Safira susah menyelesaikan semuanya jadi dia hanya perlu bersantai. Namun karena Sarah datang mengganggu Safira tidak punya cara lain mengusirnya selain membuat kebohongan. Toh, Safira juga berniat mengulas kembali semua berkas-berkas kasus ini.
"Aku bentar lagi lamaran, Safira. Apa menurut kamu ini penting?" Kedua pipi Sarah tampak merona.
"Eh, ini penting banget. Masyaa Allah, kapan acaranya? Kok kamu baru ngomong sekarang?" Safira senang sekaligus terkejut dengan kabat gembira ini.
Sarah akhirnya menemukan laki-laki yang tepat dan sebentar lagi akan dihalalkan.
"Satu minggu lagi. Ceritanya lumayan panjang jadi aku ceritanya nanti aja saat jam istirahat, kamu mau kan?" Safira sibuk dan dia juga sedang sibuk jadi mereka tidak punya waktu untuk mengobrol sekarang.
Jadi pilihan yang paling aman untuk mengobrol panjang adalah saat jam istirahat.
"Mau kok, inshaa Allah. Nanti setelah jam istirahat kita samaan jalan ke kantin, yah. Kamu harus ceritain aku semuanya, jangan sampai enggak."
"Iya..iya, nanti aku ceritain semuanya. Oh ya, tadi Pak Dimas nyariin kamu terus lho. Dia bilang kamu gak ngasih kabar apa-apa dari tadi pagi makanya dia agak khawatir."
Mendengar nama Pak Dimas disebutkan, mood Safira langsung down. Dia tidak hanya tidak senang memikirkan laki-laki itu tapi juga muak. Apalagi saat ucapan Umi berkelebat di dalam kepala rasa muak itu semakin menjadi-jadi.
"Aku sibuk, gak ada waktu untuk memikirkan yang lain. Kamu juga lagi sibuk'kan jadi sebaiknya segera urusi pekerjaan kamu baru bisa memikirkan yang lain." Safira kembali menatap berkas-berkas di atas meja, berpura-pura melihat berkas itu dengan ekspresi rumit yang dibuat-buat.
"Hah, aku keluar dulu yah. Nanti setelah jam istirahat kita bertemu lagi." Sarah langsung keluar dari ruangan departemen Safira.
Melihat kepergiannya Safira tidak lagi berpura-pura sibuk. Dia menutup berkas di atas meja dan merebahkan kepalanya di atas tangan.
"Sarah juga sebentar lagi menikah, jadi tinggal aku sendiri saja yang belum menikah diantara yang lain." Gumam Safira galau.
Satu persatu rekan-rekan kerjanya pergi memulai hidup baru meninggalnya dalam ruang kehampaan.
"Ya Allah, Safira tidak mau mengeluh karena aku tahu bahwa rencana Mu jauh lebih baik daripada rencana yang ku harapkan. Safira akan bersabar menunggu hari itu datang, entah itu bersama Ali atau laki-laki lain Safira tidak akan mengeluh karena Engkau lebih tahu siapa yang terbaik untuk ku di dunia dan di akhirat." Bisiknya seraya memejamkan mata, menikmati kesunyian yang damai.
Pukul 1 siang jam istirahat akhirnya tiba. Sarah dan Safira berjalan bersama-sama menuju kantin di lantai 1 yang lebih sepi daripada di lantai 3. Mereka hanya memesan sepotong kue dan secangkir teh tawar yang hangat, duduk di meja yang lebih dekat dengan jendela terbuka agar mereka bisa menikmati hembusan angin dari luar.
"Jadi, ceritanya gini. Beberapa bulan yang lalu Ayah sama Ibu aku minta agar jangan terlalu sibuk memikirkan pekerjaan. Mereka juga ingin aku menikah dan memberikan mereka cucu yang imut. Aku awalnya bingung banget soalnya gak punya kenalan laki-laki yang berniat serius sampai akhirnya aku melihat sebuah aplikasi merah muda yang bernama Ta'aruf ID. Aku gak langsung masuk karena sempat lihat review-review dari mereka yang berhasil. Jadi setelah beberapa hari melihat aku akhirnya mendaftarkan diri di aplikasi itu. Pendaftarannya agak rumit karena aku harus benar-benar mengisi sesuai dengan diriku di dunia nyata. Setelah itu-" Dia menyesap gelas teh hangatnya dengan tergesa-gesa.
"Hati-hati." Safira memperingatkan.
"Hehehe.. habisnya, haus." Dia meletakkan kembali gelas itu ke tempatnya semula.
"Ada beberapa laki-laki yang meminta ta'aruf bersamaku namun tidak ku gubris sampai akhirnya Allah datangkan Mas Adam. Begitu melihat id nya aku langsung merasakan firasat yang baik jadi aku tidak menolaknya. Pembicaraan di aplikasi berjalan sangat baik sehingga kami memutuskan untuk bertemu secara langsung. Ya, kami sudah bertemu beberapa hari yang lalu dan Mas Adam juga memberitahu akan datang melamar pada tanggal 17. Nah, ini adalah awal mula semuanya. Aku sengaja gak cerita karena masih belum mendapatkan kejelasan. Tapi sekarang Alhamdulillah, Allah sudah menjawab doa'ku jadi aku tidak akan menutupinya lagi darimu."
"Ta'aruf ID?" Gumam Safira dilema di dalam hatinya.
Mungkinkan ini adalah jawaban Allah atas doa-doa yang dia langitkan?
Itu artinya Ali bukanlah laki-laki yang Allah utus mendampinginya di dunia ini.
"Kenapa? Kok ekspresi kamu jadi sedih?"
"Ah," Safira segera menghentikan pikirannya.
"Aku agak iri sama kamu jadi niatnya mau ikutin jejak kamu mencari calon imam." Safira mengungkapkan pikirannya.
Dia ingin mencoba karena mungkin saja di sinilah jawaban dari ketukan-ketukan yang dia lemparkan di atas langit.
"Eh serius kamu mau daftar?" Sarah agak terkejut.
"Aneh yah?"
"Bukan aneh cuma tumben aja tau. Biasanya kamu gak terlalu perduli sama soal beginian, aku pikir kamu orangnya emang cuek sama masalah ini jadi kaget aja kamu ikutin jejak aku."
Safira itu adalah wanita keras kepala yang cuek terhadap masalah pribadi dari rekan-rekan di kantor. Dia juga tidak suka berbasa-basi dan selalu berbicara keintinya, membuat orang-orang menyukainya.
"Assalamualaikum, saya boleh duduk di sini gak bareng sama kalian?"
Suara berat sok ramah ini langsung menurunkan mood Safira jadi down total. Jika saja tidak bertemu maka ceritanya akan lain namun mereka saat ini bertemu, berada di tempat yang sama membuat Safira kehilangan minat berlama-lama di sini.
"Eh, Pak Dimas. Silakan duduk, Pak, gak apa-apa kok gabung sama kita." Sarah dengan sopan mempersilahkan.
Pak Dimas menarik kursi yang paling dekat dengan Safira dan duduk tepat di sampingnya. Pak Dimas malah sengaja menggeser jarak mereka agar lebih dekat lagi.
"Aku sudah selesai." Safira bangun dari duduknya dan berniat pergi.
"Lho, kue kamu kok masih belum dimakan tapi kamu udah mau pergi aja. Duduk saja di sini, habiskan kue itu sebelum pergi." Pak Dimas ingin menarik tangan Safira tapi segera dihindari.
Safira menatap Pak Dimas tanpa minat, suhu di mata jelas tidak senang dengan sok keramahtamahan Pak Dimas yang terlalu mudah ditebak.
"Maaf Pak, kita bukan mahrom." Safira mengingatkan posisi mereka.
"Aku sudah makan di rumah tadi sebelum ke sini jadi aku masih kenyang."
"Maafkan saya karena seharusnya tidak menyentuh kamu." Dia terlihat menyesal. "Saya hanya bereaksi spontan saat melihat kamu belum menyentuh kue itu. Saya pikir tidak ada salahnya duduk di sini dan memakan kue itu secara perlahan, daripada terbuang itu akan mubasir."
Safira tersenyum tipis,"Pak, aku tidak berniat membuang makanan ini. Lagipula ini masih belum ku sentuh jadi ada baiknya diberikan kepada orang lain. Permisi." Safira langsung pergi sebelum mendengarkan respon Pak Dimas.
Dia membawa kuenya ke seorang laki-laki tua yang bertugas membersihkan kantin. Orang itu sangat rajin di usianya yang sudah tidak pantas bekerja. Dia harusnya bersantai saja di rumah untuk menikmati hari tua. Tapi beliau tidak bisa karena masih ada cucu yang dinafkahi.
"Bu Dewi," Panggil Safira pada Ibu kantin.
"Ya, Mbak?"
"Aku ingin memesan beberapa kue lagi untuk Pak Rahmat dan tolong gabungkan dengan kue ini," Dia memberikan Bu Dewi kue yang ada di tangannya.
"Oh ya, tolong siapkan Pak Rahmat dua nasi kotak juga. Nanti, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya Bu Dewi langsung berikan tapi tolong jangan bilang itu dari aku." Pesan Safira sambil memberikan Bu Dewi beberapa lembar uang.
"Masyaa Allah, jazakumullah khairan Mbak Safira. Semoga Allah membalas kebaikan Mbak Safira dengan surga-Nya." Bu Dewi tidak bisa menahan senyumnya.
Dia sangat menyukai wanita baik dan murah hati yang ada di depannya. Suka berbagi namun tidak suka diketahui. Bukankah ini adalah perilaku yang sangat baik?
"آمِيْن اللّهُمَّ آمِيْن"
Bisik Safira sangat berharap. Dia mengharapkan ridho Allah dalam setiap langkah yang dia ambil.
Setelah selesai membayar Safira langsung keluar dari kantin. Dia tidak menyadari jika beberapa meter dari tempatnya berdiri tadi ada sepasang mata tua yang sudah basah akan perasaan syukur.
"ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ"
"Semoga Allah membalas kebaikan mu dengan surga-Nya." Doanya tulus.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 453 Episodes
Comments
Yayoek Rahayu
Aamiin..
2021-09-02
0
Ern_sasori
aku mampir Thor
masih nyimak 🤭🤭🤭
2021-08-06
0
Uswatun Khasanah
kasihan lu pak dimas. masya allah berbagi kebaikan d tutupiin ber amal y seorg safira.
2021-07-08
1