Hari menjelang sore, Sarah sudah mulai jenuh menghadap laptopnya setelah memeriksa beberapa laporan keuangan butik dan stok barang serta memilih jenis pakaian yang di rencanakan untuk event minggu depan.
Ditatapnya langit, nampak semburat jingga menghias cakrawala di ufuk barat. matahari hampir tenggelam. Pemandangan sore dari balkon ini benar-benar indah.
Sarah beranjak dari duduknya dan masuk kedalam kamar, memeriksa keadaan Raka setelah minum obat beberapa jam yang lalu tampaknya tidak bergerak dari pembaringan. Raka tampak tertidur lelap, nafas turun naik dengan teratur. Rona wajahnya sudah kembali normal, tidak lagi merah dan bengkak seperti saat awal.
Sarah Menarik nafas lega, bukan karena dia mengkhawatirkan keadaan Raka berlebihan tapi dia lebih mencemaskan dirinya sendiri.
Kalau keadaan laki-laki ini menjadi parah karena apa yang dilakukannya, dia akan bingung bagaimana mempertanggungjawabkannya di depan kedua orang tua Raka.
Tiba-tiba Sarah merasa perutnya menginginkan sesuatu, mungkin turun ke dapur akan membantunya menemukan apa yang bisa dimakan. Dan lagi mengurung diri dalam kamar ini dari siang tadi, benar-benar membosankan.
Sarah membuka pintu kamar pelan-pelan. Suasana rumah sangat sepi. Sarah menuruni tangga sambil melihat ke sekeliling, benar-benar sedang tidak ada orang sama sekali.
Sarah berjalan melewati ruang keluarga dan ruang makan, akhirnya tiba di dalam dapur.
Beruntung sedang tidak ada orang, jadi Sarah merasa lebih leluasa. Dia malas terlalu banyak bicara basa-basi jika ada yang mengajaknya ngobrol di saat-saat seperti ini.
Pintu kulkas dibukanya, mengambil sekotak jus mangga dan duduk di kursi dekat lemari dengan pias yang lelah.
Pikirannya melayang-layang ke sana ke mari, benaknya masih dipenuhi dengan kejadian akhir-akhir ini. Kemudian, ada satu yang sedikit mengganggunya, mama dan papa sama sekali tidak pernah menghubunginya setelah pernikahannya.
Meskipun ada rasa sakit karena tekanan yang dilakukan mama untuk memaksanya melakukan pernikahan ini tapi dia tidak pernah mendendam atas nasibnya.
Sarah merasa hanya perlu menerimanya dan melewatinya sampai semuanya berakhir.
Mereka tetaplah orangtua yang membesarkannya, yang sedikit banyak juga telah memiliki andil untuk mengantarkannya menjadi sekarang.
Dia mampu berdiri sendiri diatas kakinya, tidak lepas dari sokongan orangtua angkatnya itu yang telah menjadikannya dewasa seperti saat ini.
"Nak sarah..." suara lembut bi Asih menyadarkan sarah dari lamunannya.
"Oh, bibi...sejak kapan sudah di sini, maaf saya tidak menyadari kedatangan bibi," Sarah tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Bibi yang harusnya minta maaf ke nak Sarah, sudah membuat nak Sarah terkejut." Bi Sarah membalas senyum Sarah dengan wajah yang begitu ramah dan menyenangkan. Wajah tua itu, begitu keibuan memancarkan kasih sayang yang tulus.
Entah mengapa, Sarah merasa senang ketika berada didekat bi Asih karena mengingatkannya kepada mbok Yem, pembantu di rumahnya yang dari kecil sudah merawatnya. Maklum, Sarah dan sally tumbuh dalam rentang usia yang sangat dekat, mama tentunya lebih banyak merawat sally sementara pengasuhan Sarah di serahkan kepada mbok Yem.
Tapi mbok Yem yang baik, benar-benar tidak pernah membuat Sarah merasa kekurangan kasih sayang. Mbok Yem suah merawatnya seperti anaknya sendiri. Karena itu dalam beberapa minggu biasanya Sarah rutin pulang ke rumah orangtuanya, jujur bukan karena merindukan orangtuanya tapi lebih karena rindu pada mbok Yem.
"Nak sarah...kenapa? kok diam saja? marah ya sama bibi ya? dari tadi melihat bibi saja tapi tidak ngomong." Bi asih mengernyitkan keningnya setengah membungkuk.
Sarah melambai-lambaikan tangannya di depan dadanya sambil tersenyum lebar.
"Sarah tidak marah bibi, cuma merindukan seseorang" jawab Sarah serak, tiba-tiba dia merasa sedih.
"Rindu? rindu siapa? Den Raka...?" bi Asih menggoda sarah.
"Ah, bibi...masa rindu sama Raka, mustahil ah" Sarah mencibir dengan gaya manja.
"Lho? kok mustahil?" Bi asih memandang sarah setengah heran.
"Ya, mustahil bi, masa rindu sama orang, orangnya ada di sini" Sarah terkekeh, menepis rasa keheranan si bibi yang manis ini.
" Oh, iya ya." Bi Asih tertawa kecil, menyadari kebodohannya sendiri sambil mengambil beberapa macam buah-buahan dari dalam kulkas.
Bi asih mencuci buah-buah itu dan memasukkannya ke sebuah baskom besar, hendak menatanya ke dalam wadah buah.
"Saya bantu ya, bi..."
"Tidak usah nak, biar bibi saja"
"Sarah bantu pokoknya" Sarah mengambil baskom buah. Ikut menatanya ke dalam tatakan buah.
Bi asih menatap gadis itu dengan kagum, seorang gadis dari kalangan atas yang menikahi tuan mudanya itu benar-benar rendah hati dan sangat baik. Dia tidak sungkan-sungkan mengerjakan hal-hal yang sebenarnya mungkin tidak akan di sentuh oleh gadis-gadis sekelas mereka.
Sarah juga begitu ramah dengan pelayan rumah, seolah-olah mereka tidak memiliki jarak yang berarti.
Den Raka benar-benar beruntung mendapatkan gadis seperti nak Sarah sebagai pendamping hidupnya. Dalam hati bi Asih
"Bibi senang sekali, melihat den Raka sama nak Sarah, serasi sekali dan tampaknya saling menyayangi." Bi Asih tiba-tiba bersuara.
Sarah tertawa kecil mendengarnya, sepertinya bi Asih benar-benar salah menilai apa hubungan macam apa yang terjadi antara dirinya dan Raka.
"Den Raka beruntung sekali mendapatkan istri secantik dan sebaik nak Sarah. Sangat beruntung..." lanjut Bi Asih.
"Iya, bi...dia harusnya merasa beruntung" Sarah tertawa geli mendengar ucapan bi Asih.
"Iya, nak Sarah...den Raka pasti sangat bersyukur, kelihatan sekali den Raka itu sangat sayang sama nak Sarah." bi Asih mengangguk-angguk kepalanya dengan sungguh-sungguh.
"Kelihatan bagaimana?" Sarah menaikkan alisnya.
"Den Raka itu paling cerewet kalau urusan makan, kadang dia mogok makan kalau tidak ada daging di atas meja!" Bi Asih bercerita dengan semangat.
"Oh,ya...?!" Sarah melotot merasa lucu dengan cerita bi Asih, memikirkan Raka yang bergaya dingin dan acuh itu bisa melakukan hal seperti itu membuatnya geli sendiri.
"Iya...benar...bibi tidak bohong, kadang mbak Marni harus masak dua kali, sambil di tunggu sama den Raka duduk di kursi mbak sarah sekarang" lanjut bi Asih.
Sarah terkekeh mendengarnya, Raka itu ternyata bisa bersikap seperti anak-anak begitu.
"Tapi luar biasa, tadi siang den Raka tidak protes sedikitpun dengan masakan nak Sarah. Meskipun semua masakan Nak Sarah itu bukan bahan daging. Apalagi Den Raka itu ada riwayat alergi waktu kecil, jadi kami tidak pernah mencoba memasak untuk den Raka yang bahannya seafood. Sepertinya, karena cintanya sama nak Sarah, alerginya juga sembuh, ya?" Bi Asih tersenyum kocak.
Sarah hanya menyambutnya dengan tawa, menutupi rasa bersalahnya karena hampir saja membuat Raka sekarat karena masakannya.
"Orang-orang baik pasti jodohnya juga baik, ya...Nak Sarah juga benar-benar beruntung mendapatkan suami seperti den Raka" bi Asih menatap wajah cantik Sarah yang duduk menghadap meja kecil yang masih sibuk menyusun buah apel.
"Masa sih, Bi?" sarah melirik ke bi Asih.
"Benar nak sarah, den Raka itu orangnya baik dan penyayang. Dia sangat sayang dengan orangtuanya, kakaknya....dia juga sangat perduli dengan orang-orang lain. Bahkan, kepada kami yang hanya pembantu di rumah ini. Hanya saja, orang baik tidak selalu bernasib baik," Bi Asih mendesah tiba-tiba sedih.
Sarah meletakkan buah di tangannya dan sejenak terpaku menatap reaksi bi Asih.
"Tidak bernasib baik? Maksudnya? Raka kenapa?" Sarah memandang bi Asih dengan penasaran.
Bi Asih seperti tersadar dari apa yang sedang dibicarakannya, dan menjadi salah tingkah dalam detik berikutnya. Membuang wajahnya dari sorot penuh tanya gadis di depannya.
Dia merasa bersalah dengan apa yang seharusnya mungkin tidak perlu dikatakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 272 Episodes
Comments
Nazma
ada rahasia apa dengan raka
2022-05-08
0
Nazma
ada apa dengan raka
2022-05-08
0
M. Natsir taba
wajah batu cadas ternyata hatix selembut sutera. den Raka cucok dengan Sarah, sisa menunggu hati ini dirangkai oleh thoor.
2022-03-24
1