Getir
Hiruk pikuk suasana kebahagiaan di ballroom perusahaan keluarga Laksana memekakkan telinga. Namun itu begitu indah dan menyenangkan karena ini adalah hari bahagia. Hari paling di nanti dalam hidupku.
Menikah.
Aku akhirnya menikah dan menjadi istri sah Hanendra Laksana. Putra pertama keluarga pengusaha Laksana . Meski awalnya ini adalah perjodohan, tapi pada akhirnya aku benar-benar jatuh cinta pada pria gagah itu.
Aku mendapat ijin untuk menemui teman kantor yang tidak lain adalah bawahan Hanen. Kugunakan kesempatan ini untuk bercengkrama dengan mereka di sudut ruangan.
"Selamat ya, atas pernikahanmu Zia..." ucap Memey teman sekantor dan juga seorang sahabat. Dia datang bersama Gege karena mereka berdua jomlo.
"Terima kasih, ya Mey ..." uajarku tidak bisa menyembunyikan rona bahagia. Mungkin wajahku kali ini begitu berseri.
"Enak bener, Zi. Dapat suami, anak pengusaha. Boss kita." Pria ini melebarkan mata mengaku takjub atas prestasiku dalam menemukan calon suami.
"Aku hanya beruntung. Dewi cinta sedang berbaik hati padaku memanahkan cinta kita berdua. Dan akhirnya ... kita menikah." Bibirku mengatakannya dengan setengah berbisik.
"Dewi cinta begitu pemilih. Mengapa kamu yang harus di anugerahi cinta boss, bukan aku ... Jadinya kan aku tetap jomlo aja." Memey pura-pura cemberut. Teman masa SMP-ku ini begitu lucu saat memasang wajah cemberut.
"Ih, Mey enggak boleh ngiri. Rejeki itu karena amal dan perbuatan kita. Jika Zia beruntung, itu berarti dia sudah banyak berbuat baik." Gege menjabarkan.
"Jadi menurut kamu, aku enggak pernah berbuat baik gitu?" Memey memperjelas arti kalimat pria ini.
"Mungkin." Gege berkata seadanya. Membuat Memey mendelik kesal dan setengah memukul lengan pria ini.
"Sama-sama jomlo aja ribut. Kalian berdua jadian gih. Biar aku juga seneng. Kali aja kalian jodoh hingga sampai ke pelaminan," timpal aku membuat keduanya membelalakkan mata bersama-sama.
"Bercandanya kelewat batas, Zi," protes Memey.
"Yang benar aja. Bercanda, bercanda ... tapi jangan ke arah situ dong. Enggak lucu sekali." Gege juga protes. Sebenarnya cara protes mereka sama.
"Wow ... cara protes yang sama. Oke, oke. Aku tidak akan bercanda seperti ini." Akhirnya aku mengangkat tangan bermaksud menenangkan keadaan.
"Kak Zia ...," panggil seseorang. Sebuah suara familiar membuatku menoleh. Rupanya Rara, adik Hanen. Dia putri ketiga keluarga Laksana. Memey dan Gege mengangguk memberi salam.
"Ada apa, Ra?" tanyaku.
"Ada keluarga dari rekan papa."
"Oh, iya. Mey, Ge. Aku tinggal ya." Mereka berdua mengangguk. Dengan tangan menggandeng lengan adik ipar, aku menuju tempat tamu mertua. Hanendra yang sudah berada di tengah mereka, menoleh saat aku muncul. Langkahku terhenti.
"Dia istriku." Hanendra menarik lenganku dengan lembut. Kemudian memeluk bahuku.
"Ah, istrimu begitu cantik," ujar seorang pria yang aku ketahui adalah putra keluarga kaya juga. Dia sahabat karib Han. Juno namanya. Kepalaku mengangguk dan tersenyum saat pujian itu meluncur begitu saja. Bagaimana mungkin seorang wanita tidak tersipu saat ada pria yang memuji.
Namun, aku harus bisa menyembunyikan rasa senang saat di puji karena Han bisa cemburu.
"Tentu saja. Bukankah sejak awal, kamu tahu bahwa dia itu cantik?" Han memainkan alisnya dan tersenyum pada Juno. Si pria ini tersenyum sambil menganggukkan kepala. Setuju, kalau sejak awal aku memang cantik. Waw, itu juga prestasi buatku. "Kita sapa dulu papa Juno," bisik Han di telingaku seraya membimbing tubuhku menuju tempat keluarga Juno berdiri.
Suasana pernikahan ini memang mewah, tapi keluarga Laksana tetap menyediakan suasana yang kekeluargaan dan casual. Mereka berdua. Sang pengantin, boleh turun dari panggung pelaminan untuk menyapa tamu mereka. Makanya sejak tadi setelah Han dan Zia menjadi pajangan di panggung pelaminan di atas sana, mereka boleh turun. Datang, menemui dan berbincang dengan mereka. Terutama tamu penting.
"Ini dia menantuku," ujar papa mertua sambil memperkenalkan diriku pada Wahyu Pramana. Orangtua Juno.
"Putri, Saputra?" tanya beliau setengah menebak.
"Benar. Dia putri Saputra." Mertua membenarkan. "Ayo Zia, beri salam pada teman teman papa," ujar mertua. Aku mengangguk. Lalu memberi salam. Setelah itu bercengkrama dengan mereka.
Sungguh tidak terbayangkan bagi diriku yang merupakan anak dari sekretaris keluarga Laksana, bisa bersanding dengan putra mereka. Semenjak ayahku meninggal, aku hanya tinggal bersama ibu dan kakak perempuan yang dalam umur 40 tahun masih belum menikah.
Terlihat ibu yang berdiri bersama besannya tersenyum bahagia. Kakak juga tampak cantik dengan dress sederhananya. Aku bahagia mampu membuat ibu dan kakakku bangga. Menjadi menantu keluarga Laksana memang sungguh membanggakan.
Bola mataku tak sengaja beredar ke area pesta. Kemudian menemukan dia yang berdiri dengan enggan sambil bersandar. Negara Laksana. Adik dari Han. Putra kedua keluarga Laksana. Dia terlihat tidak menikmati pesta ini. Ya ... dia tipe pria yang sedikit tertutup bila di bandingkan Hanen sendiri.
Mereka dua bersaudara yang begitu bertolak belakang. Namun itu tidak memudarkan paras tampan dari pria-pria penerus keluarga Laksana Adinarendra. Mungkin karena terlalu lama bola mataku melihat ke arahnya, pria itu menoleh. Menemukan diriku melihatnya.
Kepalanya mengangguk memberiku salam. Dia lumayan sopan untuk kategori anak bangsawan.
Tamu-tamu kalangan atas datang memenuhi undangan. Pesta tidak cepat usai hingga mertua meminta untuk istirahat dulu saat dirasa tamu untuk beliau sudah tidak ada.
"Kita tinggal dulu ya ... Orang tua seperti kita memang tidak sanggup lama-lama," ujar tuan Laksa mengundurkan diri.
"Iya. Mama dan papa bisa istirahat dulu," ujarku menanggapi.
"Ibu kamu juga boleh pulang dulu kalau lelah. Tidak perlu menunggu acara usai," ujar istri Laksa yang tak lain adalah mertua perempuan memberi nasehat.
"Iya, Ma."
"Han, mama dan papa pulang dulu. Rara dan Gara masih disini. Kalau ada perlu apa-apa minta tolong sama mereka. Mereka berdua siap menjadi ajudan kalian." Papa menepuk punggung putra mereka.
"Baik, Pa. Jangan khawatir." Han meyakinkan mereka berdua.
Setelah berpamitan mereka berdua pulang kerumah terlebih dahulu. Acara masih terus berlanjut. Hanya saja, tinggal beberapa tamu saja yang masih datang. Karena sudah sejak tadi tamu datang berjubel memenuhi ballroom.
"Aku ingin mengambil minum," ujar Han.
"Aku ambilkan?" tawar Zia.
"Tidak perlu. Kamu bisa menemui temanmu jika mereka belum pulang. Aku akan bersama Juno disana." Han menunjuk meja dimana Juno duduk bersama beberapa temannya. Ternyata pria itu belum pulang. Mungkin orangtuanya sudah pulang duluan. Melihat tidak ada wajah-wajah keluarga Juno di sekitarnya.
"Aku tidak boleh ikut bergabung denganmu?"
"Kamu mau ikut bergabung? Kamu tidak lelah?" Han menyentuh lengan atas istrinya.
"Tidak. Aku ingin bersamamu."
"Wahhh ... kamu begitu tidak ingin jauh-jauh dariku ya?" Tangan Han menowel ujung daguku dengan tatapan menggodanya. Aku tersipu.
"Tentu saja," jawabku sambil menunduk. Menyembunyikan rasa malu dan tersipu.
"Baik, baiklah. Istriku yang cantik memang tidak bisa di biarkan sendiri. Bisa-bisa aku akan kehilangannya. Ayo, kita berdua kesana." Han menyediakan lengannya untuk aku gandeng. Tanpa ragu aku lingkarkan tanganku di atas lengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Riaaimutt
absen kk
2023-12-24
0
ria
hadir..
2022-12-17
0
Mam Lilu
mukai baca
2022-07-27
0