"Jadi sebenarnya hatimu tidak ada niatan untuk menikahiku? Semua itu tadi hanya sandiwara belaka?" tanyaku menemukan maksud dari pria ini.
Hanen tersenyum sinis. "Kamu pintar, Zi. Walaupun begitu bodoh karena mudah aku tipu, untuk kali ini aku salut kamu pintar menggunakan otakmu untuk menemukan jawabannya sendiri." Hanen menyeringai. Puntung rokok di tangannya di letakkan di atas asbak yang semula ada di bawah meja. "Itu benar. Pernikahan tadi adalah sandiwara. Aku tidak benar-benar menikahimu."
Sakit. Hatiku sakit. Kalimat Hanen begitu menusuk. Tubuhku mendadak lemas. Seakan akan tidak berdaya dan tidak punya kekuatan untuk berdiri barang sebentar saja.
"Aku berhasil membuatmu tertipu." Hanen mengatakannya dengan puas.
"Tertipu? Apa artinya itu? Kamu menipuku? Kamu sengaja melakukan itu ingin mengerjaiku? Jadi itu bukan sebuah bentuk dari cintamu?"
"Apa yang kamu harapkan dariku? Mencintaimu? Itu bukan gayaku, Zi." Hanen mengibaskan tangannya di depanku.
"T-tapi, tapi kau ..." kataku terbata. Aku tidak percaya. Hingga kata-kata ku tertahan untuk keluar. Tiba-tiba saja wajah tampan di depanku ini terasa asing. Aku merasa tidak mengenalnya sama sekali. Pria ini bagai orang lain bagiku.
"Aku hanya ingin membuat kesombonganmu musnah. Anak sekretaris papaku yang begitu angkuh," ejek Hanen puas. Aku menelan saliva. Namun saat aku melakukannya, tenggorokan ku terasa sakit. Saliva itu bagai duri yang menusuk tenggorokan. Sakit.
Setelah mengatakan itu Hanen membuka kaosnya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang tanpa memikirkan apa yang di diucapkannya barusan.
Lelaki itu terlelap. Hanen terlelap setelah menancapkan banyak kalimat menusuk di hatiku. Aku jatuh terduduk di atas lantai kamar. Tangisku merebak. Aku menangis tanpa suara yang memungkinkan membuat Hanen bangun.
Bukan karena aku kasihan atau tidak tega jika laki-laki itu terbangun karena tangisku, tapi aku tidak mau dia melihat air mataku jatuh berderai. Ini malam pertama di hari pernikahan kita. Seharusnya ini jadi momen bagus, indah dan tidak akan terlupakan karena begitu syahdu bagi kedua pasangan.
Namun, aku yakin. Aku juga tidak akan lupa akan malam ini. Bukan sebagai malam yang indah, tapi malam paling menyakitkan di antara malam-malam menyedihkan lainnya.
Aku sesenggukan menahan rasa sakit. Hingga malam menjelang pagi pun aku masih belum menutup mata. Tidak sanggup rasanya terlelap.
Sombong? Aku? Pikiranku melayang lagi pada kata-kata Hanen yang di ucapkan dengan bengis saat itu.
Aku masih tidak percaya bahwa diriku tidak di kehendaki oleh suamiku sendiri. Cinta Hanen palsu. Pernikahan ini palsu. Semuanya palsu. Tentu saja aku juga merasa seperti sedang bermimpi.
Pernikahan mewah itu tidak ada artinya. Dalam satu malam saja semua di dihempaskan ke dasar bumi dengan cepat. Aku hancur. Pernikahan yang menurutku adalah anugrah terindah, luruh. Tercerai berai dan hancur berkeping-keping.
Ini hari kelima setelah Hanen membuka topeng kebenciannya padaku. Aku masih saja seringkali terpekur sendirian memikirkan semuanya. Arti diri sendiri yang sudah menikah dengan pria ini. Juga arti keberadaan diri dalam biduk rumah tangga palsu yang di buat Hanen.
Pria itu tetap pada sikap semula. Sikap tidak mau mengakui bahwa pernikahan ini sah. Setelah berpikir dan berpikir lagi, aku memutuskan.
"Aku ingin cerai." Itu kalimat yang terpikir olehku setelah yakin bahwa semua ini bukan mimpi. Kebohongan ini nyata. Aku mengatakannya saat Hanen pulang kerja. Ketika pria itu menyentuh pegangan pintu kamar, untuk masuk ke dalam.
Meski kita tinggal dalam satu rumah, tapi kamar kita berbeda. Hanen memberikan kamar terpisah untuk kita berdua. Menegaskan sekali lagi bahwa kita bukan sepasang suami istri normal.
Pria itu masih memakai setelan kerjanya. Aku juga baru saja melepas pakaian kerjaku dan berganti pakaian santai.
"Apa yang kamu katakan?" Hanen terlihat tidak suka dengan kalimatku. Sungguh aneh. Jika memang dia tidak menginginkanku. Bukankah seharusnya dia senang aku meminta cerai.
"Jika pernikahan ini hanya kebohongan belaka, lebih baik kita cerai. Kamu bebas bercinta dengan Kayla, lalu aku juga terbebas darimu."
"Kamu ingin bebas?" Hanen mendekatiku dengan senyum sinisnya. "Perlu kamu tahu, Zia. Aku menikahimu justru ingin membuatmu tidak bisa menjadi orang yang bebas."
"Aku tidak punya salah padamu, Hanen. Aku tidak bersalah. Kenapa kamu harus membuat hidupku rumit."
"Kamu mencintaiku, bukan?" Ditanya seperti itu membuatku membuang muka. Itu jelas. Itu sudah jelas. Tanpa diselidiki pun, aku mencintai pria ini. Karena itu aku sangat bahagia saat dia menikahiku. Hingga aku merasa ini adalah anugrah terindah yang pernah muncul dalam hidupku. Namun semuanya musnah.
"Kenapa bersusah payah ingin lari dariku, jika kamu mencintaiku?" Pertanyaan bodoh kurasa. Kau menatap Han dengan geram.
"Karena pernikahan ini tidak suci, Han. Aku memang mencintaimu, tapi jika akhirnya aku harus menderita seperti ini ... aku menolak. Karena aku mencintaimu, aku menolak di sakiti olehmu, Han." Aku marah, juga sakit. Aku memang mencintai laki-laki ini. Bahkan saat ini pun aku masih mencintainya.
"Namun apa yang bisa kamu lakukan untuk menolak?" tanya Han seakan mengejek ku.
"Aku akan mengajukan cerai," kataku yakin. Hanen tertawa seraya mencibir.
"Kamu tahu. Pernikahan ini penting. Kamu pikir hanya kamu yang berhubungan dengan pernikahan ini? Ibumu begitu tergantung pada pernikahan ini, Zia. Pada harta keluargaku," ucap Han sinis.
"Tidak. Ibuku tidak berpikiran seperti itu," bantahku tersinggung dengan tuduhan Hanen.
"Kamu tidak tahu apa-apa. Usaha ibumu hampir bangkrut dan rumah kalian akan di sita. Ibumu mengidap penyakit yang membuatnya harus cuci darah terus menerus. Kamu tidak tahu?"
Benarkah? Aku merasa kerutan di kening karena aku mengernyit. "Jangan membual Hanen." Tubuhku bergetar. Aku berusaha menampik meski aku merasa percaya.
"Aku tidak membual atau menakutimu. Selain karena kamu adalah anak dari sekretaris kepercayaan papa, beliau juga merasa iba dengan kehidupan ibumu yang seringkali di ceritakan ayahmu. Aku marah di nikahkan denganmu padahal aku punya Kayla." Hanen berkata dengan wajah bengis. "Beliau menikahkan kita hanya karena balas budi ayahmu di masa lampau."
Aku ternganga. Aku tidak menduga.
"Sudah aku katakan bahwa aku punya calon istri yang lebih baik darimu. Namun papa tetap bersikukuh menikahkan kita. Aku marah padamu. Karenamu, Kayla tersakiti dengan pernikahan ini." Hanen berkata tanpa peduli apa yang sedang aku rasakan.
Mulutku tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Itukah sebabnya Kayla menatapku tajam. Diriku ini bagai duri dalam hubungan mereka. Bahkan tampak seperti perebut kekasihnya. Mereka berniat menikah, tapi di tentang karena Laksana selaku papa Hanen yang menginginkan dia menikah denganku.
"Itu bukan salahku." Akhirnya aku mengeluarkan pembelaan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
sedikit mulai memahami.... semangat Thor 😊
2022-10-02
0
Christy Oeki
trus sehat
2022-07-25
0
🙃😉
😞
2022-02-18
1