Saat berjalan melewati lorong aku mendengar sayup-sayup suara orang di lorong. Dari tempat aku berdiri tidak bisa menemukan siapa itu. Mungkin dari balik belokan lorong di depan.
Aku melangkahkan kaki mendekat ke asal suara. Bukan bermaksud menguping. Namun hanya karena memang itulah satu-satunya jalan untuk mencari Han. Jika aku berbalik, itu berarti aku kembali ke kamarku. Pilihannya adalah berjalan lurus ke depan.
"Kamu akan pergi?" tanya seorang perempuan. Suara tadi mulai jelas. Mungkin karena lorong hotel yang mulai sunyi.
"Ya. Aku harus kesana."
"Kamu tidak akan kembali padaku?"
"Itu tidak mungkin sayang. Aku akan kembali. Tetaplah di sini. Aku harus bisa menenangkan dia malam ini."
"Kamu akan melakukannya dengan dia?" tanya perempuan ini tidak setuju.
"Tidak mungkin. Aku hanya akan kembali dan tidur. Jangan khawatirkan hal yang tidak perlu."
Saat aku sudah sampai di belokan, tubuhku membatu. Terdiam dengan apa yang ada di depanku. Dia disana. Tangan pria itu membelai garis pipi si perempuan dengan penuh perhatian. Mataku nanar. Tubuhku bergetar. Apalagi saat pria itu mendekatkan bibir dan mencumbunya. Mata wanita itu menutup menikmati cumbuan yang mesra.
Hanen! teriakku dalam hati. Aku tidak bisa mengeluarkan suara.
Seketika mata itu terbuka dan melihat ke arahku. Mata itu tidak terkejut. Bola mata itu seakan semakin tajam melihatku.
Aku terdiam tidak mampu menyadarkan Hanen untuk berhenti mencumbu. Bibir wanita itu membalas ciuman Hanen seakan menunjukkan bahwa dia pantas mendapatkan lilitan lidah dari sang pria.
Tidak. Hanen tidak pantas melakukan itu. Saat ini aku adalah pasangannya, mengapa dia justru mencumbu mesra wanita itu saat aku menunggu dirinya menjamahku?
"Sudah Hanen...," bisik wanita itu menghentikan Hanen mencumbunya.
"Kamu tidak ingin bercumbu denganku lagi? Aku akan pergi." Hanen menatap lembut wanita itu. Dia. Wanita yang ada di pesta tadi. Kayla. Tangannya masih memeluk tubuh indah itu dengan erat.
"Bukan. Aku menikmati sentuhan bibirmu, tapi sepertinya ada yang ingin bicara denganmu."
"Bicara denganku? Siapa?" tanya Hanen heran.
"Dia." Kayla menunjuk kearahku tanpa merasa tertangkap basah bercumbu dengan suami orang. Kepala Hanen mengikuti arah yang di tunjuk oleh jari lentik Kayla.
Saat inilah kedua mata kami bertemu. Hanen mendapati aku menatapnya nanar. Bola mata Hanen terkejut.
"Sejak kapan kamu berada di situ?" tanya Han dengan ketus. Seperti kesal melihat keberadaanku.
"Sejak kita bercumbu mesra, Hanen." Kayla menjawab pertanyaan Hanen seakan dia juru bicara pria ini. Aku masih diam. Bibirku kelu. Aku tidak bisa mengeluarkan semua makian untuk marah. Aku terkejut. Sangat terkejut.
Hanen melepas pelukannya. "Aku pergi dulu Kayla. Aku harus membereskan masalah." Wanita itu mengangguk. "Masuklah. Aku harus pergi."
"Baik, sayang. Silakan selesaikan masalah ini. Jangan berlarut-larut," ujar Kayla dengan jari-jarinya membelai dada Hanen dengan manja. Ekor mata wanita itu melirik ke arahku seakan aku adalah hama dan pengganggu disini.
Mataku panas. Aku kebingungan antara sedih dan marah.
"Ayo kembali ke kamar," ajak Hanen sambil membawa tanganku. Mengajak tubuhku pergi dari kamar itu. Jiwaku seperti lenyap. Aku linglung. Aku bingung.
Walaupun jelas ada yang perlu di pertanyakan, akuu tetap diam saat sampai di dalam kamar. Hanen sudah berganti baju.
Kemana jas pengantinnya?
"Apa yang kamu lakukan disana?" tanya Hanen aneh. Kepalaku menoleh. Heran.
"Apa yang aku lakukan disana?" tanyaku tidak percaya dengan pertanyaan itu. "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kamu lakukan di sana?"
Hanen meraih bungkus rokok dari dalam saku. Lalu mengeluarkan sebutir rokok dan menyalakan pemantik.
Aku mengkibas-kibaskan tanganku untuk mengusir asap rokok yang di hembuskan barusan. Napasku tidak taham dengan asap rokok. Akhirnya aku mundur menjauh untuk menghindari asap rokok. Ternyata kata-kata berhenti merokok tidak benar-benar di lakukannya. Padahal saat masih menjadi kekasih, Hanen berjanji tidak lagi merokok.
"Sebaiknya kamu tidak perlu bertanya padaku." Hanen memainkan asap rokok. Menghembuskan kuat-kuat dengan puas.
"Aku perlu bertanya. Aku perlu tahu. Mengapa saat malam pertama kita kamu justru sedang bercumbu dengan wanita lain. Aku perlu tahu Hanen." Aku mulai bisa marah. Emosiku mulai bisa tersampaikan.
"Jangan ingin tahu hal semacam itu, Zia." Hanen mengatakannya dengan wajah biasa. Tanpa merasa kalimatnya aneh.
"Kenapa? Aku istrimu. Kamu sudah mengikat janji suci dan sakral untuk menjadi suamiku. Seharusnya kamu sadar akan posisi itu sekarang."
"Suami?" Hanen mendengkus.
Ekspresi apa itu?
Aku tidak bisa membaca ekspresi aneh yang di tunjukkan Hanen barusan. Bibirku terbuka karena terkejut menemukan eskpresi yang tidak biasa.
"Suami kamu bilang?" Lagi. Hanen lagi-lagi menunjukkan ekspresi aneh tadi. Mataku terpaku melihat raut wajah itu. Dia mencemooh kata-kataku.
"Bukankah kamu memang suamiku, Han. Baru beberapa waktu yang lalu kita resmi menjadi suami istri. Ini belum masuk hitungan hari, kita menyatukan dua hati dengan ikatan yang sah. Apa aku keliru?" tanyaku mempertanyakan status yang sudah jelas itu.
"Tidak. Kita memang menjadi suami istri, tapi ... mungkin itu hanya di dalam pikiranmu. Bukan di kehidupan kita yang nyata." Hanen
"A-apa maksudmu Han? Apa maksud dari hanya dalam pikiranku? Sudah jelas aku adalah istrimu yang sah. Semua orang menyaksikan. Keluargaku, keluargamu. Mereka semua memberi selamat pada kita berdua atas pernikahan yang berlangsung tadi." Aku mulai menatap pria ini tajam. Kalimatnya semakin bertambah tidak keruan.
Aku mulai merasa pembicaraan ini semakin aneh. Sikap dan cara Hanen berbicara padaku begitu berubah seratus persen. Sentuhan dan tatapan lembut di pesta tadi lenyap. Ada apa ini?
"Kamu masih terpengaruh mimpi, Zi. Kamu itu pemimpi."
"Pemimpi? Apa itu Han? Katakan dengan jelas maksud dari perkataanmu. Jangan berbelit." Aku tidak bisa lagi menahan diri. Pria ini seperti bukan Han yang tadi. Dia berubah menjadi orang lain yang tidak aku kenal.
"Dengarkan baik-baik perkataanku. Meski dimata orang lain kita sudah menikah, tapi aku tidak ingin mengakuinya. Aku tidak sudi." Jantungku seperti dipukul palu. Hatiku sakit mendengar kalimat Hanen.
Tidak sudi menikah? Apa yang di katakannya barusan.
"Jelas sekali kita mengucap ikrar suci tapi kamu bilang tidak sudi menganggap kita menikah? Aku tidak paham arti dari kalimatmu Han? Apa karena wanita itu bicaramu ngawur dan tidak jelas begini? Apa karena aku memergokimu mencium mesra Kayla?" tanyaku mulai bisa menguasai diri. Aku bisa marah. Aku bisa membahas wanita tadi. Kebingunganku tidak hilang, tapi aku mulai bisa bicara dengan jelas.
"Tidak. Sejak awal aku tidak peduli kamu bisa menemukanku dan Kayla atau tidak. Namun aku tidak menduga secepat ini."
Sejak awal? Sejak awal katanya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus ceria
2022-07-25
0
🙃😉
😡
2022-02-18
1
Asmirani
👍👍❤️
2021-08-07
0