"Masih ingin makan?" tawarku padanya. Karena dengan pendesakanku barusan, aku yakin nafsunya untuk makan turun. Dia pasti tidak berselera. Mungkin lebih baik aku langsung membawanya kembali ke kantor, tapi aku ingin menawarkan makan siang yang terlambat. Dia yang sudah bekerja keras tentu lelah dan butuh energi. Dia harus makan.
"Ya."
"Iya?" tanyaku terkejut dan heran. Aku menoleh padanya dengan tetap menjalankan mobil. "Kamu tetap akan makan siang?" tanyaku lagi. Yang kurasakan adalah semakin cerewetnya aku. Itu aneh. Seperti bukan diriku saja.
"Sudahlah. Jalankan saja ke tempat makan yang kamu mau. Aku akan makan apa saja," kata dia dengan wajah bersungut-sungut.
Apa yang di pikirkannya sekarang? Dengan fakta bahwa kita pernah bercinta tanpa suatu status atau hubungan percintaan apapun, dia masih bisa memikirkan makan. Zia ternyata lebih tidak peduli dariku.
Kita berdua akhirnya sampai ke tempat makan dimana yang menyajikan konsep layaknya prasmanan. Semuanya mengambil sendiri lalu bayar di kasir dengan menunjukkan piring berisi makanan yang sudah kita ambil.
Kulirik porsi makannya sedikit. Lebih banyak sayuran daripada ikan atau nasinya. Tidak heran tubuhnya terlihat bagus. Tidak bahenol, tapi kecil dan sedikit berisi. Tubuh kecil itu ternyata tidak kerempeng. Aku yang sempat melihatnya sendiri jadi tahu, bahwa di balik pakaiannya yang jarang ketat itu ada sebentuk tubuh istimewa.
Ow ... tidak! Aku mendadak mesum setelah semalam! Zia membuatku kacau. Ku gelengkan kepala mengusir semua gambaran indah itu. Lalu menghela napas dan mulai makan. Dia memakan makan siangnya dengan enggan. Aku yakin dia tidak berselera untuk makan. Kesanggupan menerima tawaranku untuk makan siang menjelang sore ini hanya sebuah formalitas belaka.
Karena kita duduk di dekat dinding kaca, semua pemandangan di luar terlihat jelas. Aku menemukan mobil Han di parkir di seberang. Mataku terpusat pada sosok yang keluar dari mobil Hanen barusan. Perempuan dengan tubuh tinggi berjalan beriringan menuju resto.
Han bersama perempuan lain? tanyaku tidak percaya. Racauan Zia soal pria itu benar. Berarti dia sedang membicarakan Hanen dan dia. Kayla! Aku tahu wanita itu. Dia kekasih Han yang sudah lama pergi menuntut ilmu di luar negeri.
Kutatap wanita di depanku. Dengan rasa tidak tenang, takut dia melihat Han bersama perempuan lain di seberang jalan. Aku berharap dia tidak mendongak. Namun harapanku pupus. Zia mendongak dan menoleh ke arah seberang jalan.
Sesaat pandangannya terpaku pada seseorang di seberang. Setelah tidak pulang tadi malam, kini Han terlihat bersama seorang wanita. Apa yang di lakukannya?
"Sebaiknya kita segera kembali ke kantor," ujarku mengalihkan perhatiannya. Namun bola matanya masih melihat ke arah yang sama. Aku melihat ke seberang jalan lagi. Mereka duduk di dekat dinding kaca. Sama seperti kita.
"Ya." Zia menyeruput minuman di gelas. Nasinya hampir tidak selesai di makan. Dia memang tidak berselera untuk makan. Aku juga jadi enggan menyelesaikan makanku. Karena pembayaran sudah di lakukan di awal, kita bisa langsung pergi.
Kali ini Zia banyak diam. Entah apa yang sedang ada di pikirannya. Mungkin soal peristiwa malam itu atau tentang Han yang bersama kekasihnya tadi. Dan aku yakin, aku bukan prioritas utama untuk membuatnya berpikir tentangku. Sungguh lucu jika aku berpikir bahwa aku punya kesempatan menjadi prioritas baginya.
Mungkin karena kelelahan, dia tertidur. Saat mobil sampai pada pelataran parkir perusahaan pun, dia belum bangun. Aku tidak tega membangunkannya. Ku matikan mesin dan memandangi wajahnya. Zia tertidur pulas.
Tidak bisa ku bayangkan lagi aku dan dia berada dalam satu peraduan malam itu.
Mendadak mata itu terbuka saat aku masih memandanginya dengan seksama. Dia terlihat gugup karena mendapatiku melihatnya yang tertidur pulas.
"Sebaiknya kamu bangunkan aku. Bukan memandangiku seperti itu," gerutunya sambil membenahi rambut dan pakaiannya. Dia nampak kesal aku berhasil memergokinya tertidur. Bagiku, dia tertidur atau membuka mata itu sama saja. Dalam sekejap dia mulai terasa begitu indah dalam segala situasi.
Tubuhnya turun dari mobil. Walaupun dia sengaja meninggalkanku di belakang, aku berhasil mensejajarinya dengan cepat. Karena kakiku lebih panjang darinya. Bola matanya melirik sebentar padaku. Kemudian fokus melihat ke depan. Ke arah pintu lift yang masih tertutup.
"Jika kita memang melakukannya, lalu apa?" tanyaku tiba-tiba. Zia menoleh ke arahku dengan bola mata membulat tegas. Ada rasa heran, aneh dengan pertanyaanku. Namun aku tidak perlu meralatnya. Itu memang pertanyaan yang ingin aku tanyakan.
"Apa maksudmu?" tanya dia dengan wajah dingin.
"Aku hanya berpikir aneh bahwa kita tidak punya hubungan apa-apa, tapi kita sudah melakukannya." Zia masih memandangku dingin. Aku juga masih menatapnya dengan mata menanti.
Pintu lift terbuka membuat perhatian kita teralihkan. Kaki kita melangkah masuk ke dalam kubus lift. Tanpa komando, secara bersamaan kita langsung menuju dinding lift karena kosong.
"Itu kesalahan, Ga. Tidak ada kelanjutan apa-apa dari semua itu," jawab Zia masih tetap melihat lurus ke depan. Aku yang berada di sampingnya tahu bahwa ekspresi dingin itu masih berlanjut. "Jadi ... tolong berhenti menanyakan banyak hal soal kesalahan fatal malam itu. Cukup aku yang merasa bersalah sudah membuatku juga sama seperti Hanen. Maaf, Gara. Aku harap kamu menganggap itu mimpi."
"Begitu ya. Jadi kisah itu telah usai." Ada sedikit nada kecewa di sana. Zia pun mulai mengabaikanku.
Keheningan menyergap mereka berdua. Lift yang hanya berisi mereka berdua, kini semakin sunyi dan sepi.
Tring! Pintu lift terbuka di lantai kantor kita. Kita berdua berjalan beriringan tanpa komunikasi apapun.
"Kalian menyelesaikan promosi dengan baik?" tanya Memey.
"Tentu saja. Memang mau, mendapat teguran dari atasan?" jawab Zia sambil tersenyum. Memey bertepuk tangan dan tertawa senang.
"Bagaimana denganmu, Gara?" tanya Memey kali ini melihat ke arahku. "Bagaimana kesanmu ikut dalam proyek pertamamu ini?"
"Menarik. Ada banyak hal menarik yang bisa di pelajari. Terutama dari senior seperti Kak Zia," kataku bemaksud menarik perhatiannya.
"Zia memang bisa di andalkan." Memey ikut memujinya. Kulihat perempuan itu tersenyum datar. Tidak terlalu terpengaruh dengan pujianku.
Hanen muncul dari arah luar menuju ruangannya. Ekor mata Zia memandang kakakku itu dengan mata tajam. Wajar jika perempuan ini begitu. Jika Hanen tidak pulang dan bermain dengan wanita lain, perempuan ini pantas marah.
Namun wanita ini hanya cukup melirik saja. Meski melirik tajam, Zia tidak melakukan apa-apa. Jika dia sudah tahu Hanen suka bermain wanita, pasti dia lelah bertanya kemana saja lelaki itu tadi malam. Hanen kulihat juga tidak berusaha mendekati istrinya. Dia bersikap biasa saja. Seolah tadi malam tidak ada apa-apa.
Memang, yang merasa tidak biasa saja adalah aku. Kita yang sudah melakukannya, mulai merasa berjarak. Kita berdua menjauh.
"Nanti kita makan malam bareng Han?" tanyaku sengaja. Ku ingin pria itu menoleh barang sejenak ke arah sini. Ke tempat istrinya berada. Mendengar suaraku, Han menoleh. Dia melihat ke arah kita bertiga. Kulirik Zia tidak mendongak. Wanita itu memilih sibuk dengan komputernya.
"Kenapa tiba-tiba ingin makan malam bersama?" tanya Han dengan wajah heran.
"Kita sudah lama tidak melakukannya. Lagipula tadi malam aku sudah menunggumu, tapi kamu tidak muncul." Sengaja aku membahas dia yang tidak pulang ke rumah. "Apa tadi malam ada pekerjaan yang membuatmu lembur?" Kejarku.
"Lembur?"
"Ya. Bukannya kamu tidak pulang semalam?" tanyaku membuat Zia mendongak, dan membuat teman sekantor menoleh. Sepertinya perempuan itu tidak menduga bahwa aku membahas ini. Memey terlihat bingung dengan percakapan kita hingga akhirnya memilih berpamitan ke toilet.
"Oh, itu. Aku sedang bertemu kawan lama. Kita membahas banyak hal hingga lupa waktu. Terpaksa aku menginap di apartemennya."
"Siapa? Juno?" Aku masih ingin menginterogasi kakakku yang enggan pulang membuat seseorang kesepian tadi malam.
"Ya. Dia juga ada di sana. Aku memang sedang menginap bersama Juno dan lainnya."
"Kenapa Zia tidak ..."
"Sebentar lagi kamu pulang? Sepertinya kamu lelah," tanya Zia menyerobot pertanyaanku. Dia tahu apa yang akan aku tanyakan. Han menoleh pada istrinya.
"Ya. Aku memang mau pulang."
"Aku akan pulang bersamamu." Aku tahu Zia sengaja memotong agar aku tidak bertanya kemana pria ini semalam. Zia melindunginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus semangat
2022-07-25
0
Theresia Setyawati
model kayak gitu masih dilindungi.. prett lah..
2021-11-30
0
gemini_20
hanen stupid kecolongan adik sendiri..
mamvusss hanen😆😂
2021-08-06
0