Aku berangkat kerja seperti biasa. Bersama Hanen yang ada di sampingku. Sebagai manajer umum, dia merupakan orang penting dalam perusahaan kosmetik ini. Sementara aku adalah anggota tim bagian promosi produk bernama Glow. Sebuah produk kecantikan yang begitu populer di kalangan remaja.
Memey memberi sekotak sampel produk baru Glow yang baru saja di berikan oleh tim produksi. Sampel ini adalah prestasi tertinggi Zia dalam perusahaan ini.
Tidak banyak di negara ini yang mengeluarkan sampel pada setiap produk. Kebanyakan perusahaan kecantikan hanya memberi sampel khusus di outlet mereka.
Satu set produk kecantikan dengan naungan satu merk yang sama akan di letakkan di outlet saja. Sangat jarang perusahaan yang memberikan produk sampel khusus untuk mencoba sekaligus bisa di bawa pulang.
"Apakah itu produk serum terbaru?" tanyaku. Memey mengangguk.
"Itu sampel produk paling baru yang di produksi. Kamu akan melakukan promosi lagi?"
"Ya."
"Tidakkah kamu butuh cuti? Kalian baru saja menikah."
"Sudah cukup untuk cuti. Waktunya bekerja." Aku tersenyum wajar dan bijak. Menutupi kebenaran yang tersembunyi di dalam rumah tanggaku sebenarnya.
"Walaupun kamu berhentipun, itu tidak masalah. Bukannya kamu menantu dari pemilik perusahaan ini ..."
"Aku hanya menantu, bukan anak tuan Laksana. Aku tidak harus bersantai dengan kekayaan keluarga ini." Bukan waktunya membanggakan diri saat jadi menantu orang kaya. Meskipun aku tahu bahwa orang tua Hanen memang baik, tapi aku tidak harus bersikap layaknya bangsawan.
"Sst ... suamimu keluar dari ruangan." Memey memberi kode kemunculan Hanen. Aku hanya melirik sebentar. Kemudian mengalihkan pandangan ke komputer. Pria itu lewat.
"Selamat siang, Zia," ujarnya di luar dugaan. Aku mendongak dengan raut wajah terkejut karena dia menyapaku. Pria ini pandai bersandiwara.
"Siang," jawabku. Aku harus membalas sapaannya walaupun tidak ingin. Lalu pria itu tersenyum.
"Selamat siang juga Memey," sapanya ke teman di sampingku. Sikap ramah yang seringkali ia tunjukkan pada semua orang, kecuali padaku. Saat kita berdua.
"Siang juga, Pak." Setelah itu ia pergi melewati kami. "Pak Hanen semakin tampan, Zi," ujar Memey terkagum-kagum oleh ketampanan pria itu. Aku hanya mendengkus mendengarnya. Ketampanan itu palsu. Kalian tidak tahu isi otak laki-laki itu sebenarnya. "Beruntung sekali kamu menjadi istrinya." Memey masih melanjutkan memandangi Hanen yang hanya terlihat punggungnya.
Aku tidak merespon. Beruntung? Tidak. Sungguh berkebalikan dengan kenyataan yang ada.
"Eh, kamu belum menemukan partner kamu dalam promosi?" tanya Memey.
"Belum. Pihak HRD masih mengupayakan mencari partner yang pas." Memey mengangguk.
"Jadi masih mengajak Gege, nih ..."
"Iya. Dia ban serep untuk itu." Aku terkikik. Memey juga. Setelah anggota tim promosi berhenti beberapa bulan lalu, aku masih belum mendapatkan partner. Akhirnya Hanen selaku manajer pemasaran memilih Gege menjadi partner selama kekosongan ini. "Mana itu anak?" Bola mataku beredar mencari sosok pria itu.
"Ada. Dia sedang membuat kopi karena mengantuk." Kepalaku mengangguk. Kakiku berjalan menuju ke pantry kantor. Ku lihat ada seseorang di sana. Pasti itu Gege. Aku mau mengerjainya. Ternyata di kantor membuatku aku jadi pribadi yang berbeda. Meski satu kantor dengan Han, aku tidak terlalu tertekan jika di bandingkan di rumah. Mungkin karena pria itu tidak mengintimidasiku dengan kata-kata sadis. Disini pria itu bersikap ramah kepadaku.
"Jangan buat kopi sendiri, Ge. Buatkan aku kopi juga," perintahku tanpa menoleh.
"Baiklah." Tanpa protes pria itu setuju untuk membuatkan kopi juga. Namun ada yang aneh. Suara Gege terdengar lebih berat daripada biasanya. Aku menoleh untuk mencari tahu ada apa dengan suaranya. Saat membalikkan badan, aku melihat seorang pria lain. Dia sedang meracik kopi instan. Dia bukan Gege.
"Mmm ... kamu siapa?" tanyaku pelan. Pria itu membalikkan badannya. "Kamu?" tanyaku lagi dengan terkejut melihat Gara yang ada di pantry ini. Aku yakin saat ini aku membelalakkan mata melihat adik ipar ku ini di sini.
"Maaf membuat kamu terkejut," ucapnya.
"Ah ya. Aku memang terkejut." Bibirku mengaku. Baru kemarin aku melihat pria ini di rumahku bersama kedua orangtuanya. Berdebat dan mempermasalahkan soal Han yang harus membimbing mereka, kini dia muncul. "Tidak perlu membuatkan aku kopi. Aku pikir kamu Gege temanku." Aku tidak harus meneruskan perintah itu.
"Sudah jadi." Dia menunjukkan kopi dengan asap mengepul di atas cangkirnya. "Kamu bisa meminumnya atau membuangnya jika tidak mau." Orang ini sangat datar dan dingin. Aku menipiskan bibir merasa rugi bicara seperti tadi.
"Baiklah aku minum." Akhirnya akupun menerima sodoran kopi yang dia buatkan. Lalu meminum kopi seduhan Gara sambil berdiri dengan bersandar pada meja pantry. "Kamu tidak minum kopi?" tanyaku melihat dia sedang membuat teh.
"Minum." Jawaban singkat. Aku membiarkannya. Pria ini memang sangat jarang bicara denganku. Sebenarnya aku tidak ingin banyak bicara, tapi karena sudah terlanjur menyuruhnya membuatkan kopi, aku merasa tidak enak juga.
"Tumben muncul di sini?" tanyaku masih menyesap kopi di tanganku.
"Hanya sebuah perintah." Kini dia juga menyesap teh di dalam cangkirnya. Aku mengangguk mendengarnya menjawab pertanyaanku.
"Selamat ya."
"Selamat?" tanyaku heran. "Soal apa?"
"Pernikahanmu dengan Hanen."
"Oh, itu ... Ya." Aku jadi tidak antusias mendengarnya bicara tentang Han. Sungguh miris. Aku menjadi tidak bahagia justru saat di ajak bicara soal suami sendiri. Namun aku tidak terlalu peduli. Karena mungkin saja Gara mengucap selamat karena sebentar lagi kita akan tinggal bersama. Itu untuk mengurangi rasa canggung.
Aku duduk di depan komputer mengerjakan hasil kunjungan ke outlet produk Glow kemarin. Tiba-tiba Memey mengetuk komputerku dengan bolpoint.
"Hei. Ada meeting, di ruang manajer," ujarnya memberitahu. Meeting? Aku baru dengar.
"Aku harus kesana?"
"Kenapa masih harus bertanya? Tentu saja." Memey memandangku masam. Aku berharap tidak. Karena tidak ingin bertemu dengan Han.
"Oh, oke. Hanya kita?" tanyaku lagi. Masih berharap yang sama. Tidak jadi meeting dan tidak jadi bertemu dengan Han.
"Sepertinya tidak. Cepatlah." Memey mulai tidak sabar. Dia sudah berdiri. Aku mengangguk sambil menutup lembar pekerjaanku di komputer dan mengikuti Memey. Di lorong menuju ruang meeting, Gege menjentikkan jari.
"Akhirnya tiba aku harus berpisah denganmu," ujar Gege dengan senang sambil menunjuk ke arahku. "Aku tidak perlu lagi harus menemanimu kemana-mana." Gege bangga mengatakannya. Aku hanya menipiskan bibir melihat lagaknya. Sungguh tidak peduli dengan berita baru itu. Memey menepis ujung jari Gege yang melewatinya wajahnya.
"Minggir," ujar Memey ganas.
Aku tersenyum. "Tahu berita darimana, kamu akan berpisah dariku?" tanyaku meremehkan.
"Aku punya banyak telinga di perusahaan ini melebihi dirimu yang jadi istri pak Hanen," cacinya dengan bangga. Aku mencibir. Sebagai istri dari putra pemilik perusahaan, aku mungkin kurang punya 'telinga' untuk mendengar berita di dalam perusahaan ini. Karena aku hanya istri pura-pura. Han tidak benar-benar menikahi ku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
rara
kenapa cerita mu yg disini peran perempuan sangatlah menyedihkan. tolong buat Zia, wanita yang kuat, dan hadirkan cowok Laen yg lebih segala 2nya dari hanen.
2022-11-05
1
Christy Oeki
trus ceria
2022-07-25
0
🙃😉
😢
2022-02-18
1