Hiruk pikuk suasana kebahagiaan di ballroom perusahaan keluarga Laksana memekakkan telinga. Namun itu begitu indah dan menyenangkan karena ini adalah hari bahagia. Hari paling di nanti dalam hidupku.
Menikah.
Aku akhirnya menikah dan menjadi istri sah Hanendra Laksana. Putra pertama keluarga pengusaha Laksana . Meski awalnya ini adalah perjodohan, tapi pada akhirnya aku benar-benar jatuh cinta pada pria gagah itu.
Aku mendapat ijin untuk menemui teman kantor yang tidak lain adalah bawahan Hanen. Kugunakan kesempatan ini untuk bercengkrama dengan mereka di sudut ruangan.
"Selamat ya, atas pernikahanmu Zia..." ucap Memey teman sekantor dan juga seorang sahabat. Dia datang bersama Gege karena mereka berdua jomlo.
"Terima kasih, ya Mey ..." uajarku tidak bisa menyembunyikan rona bahagia. Mungkin wajahku kali ini begitu berseri.
"Enak bener, Zi. Dapat suami, anak pengusaha. Boss kita." Pria ini melebarkan mata mengaku takjub atas prestasiku dalam menemukan calon suami.
"Aku hanya beruntung. Dewi cinta sedang berbaik hati padaku memanahkan cinta kita berdua. Dan akhirnya ... kita menikah." Bibirku mengatakannya dengan setengah berbisik.
"Dewi cinta begitu pemilih. Mengapa kamu yang harus di anugerahi cinta boss, bukan aku ... Jadinya kan aku tetap jomlo aja." Memey pura-pura cemberut. Teman masa SMP-ku ini begitu lucu saat memasang wajah cemberut.
"Ih, Mey enggak boleh ngiri. Rejeki itu karena amal dan perbuatan kita. Jika Zia beruntung, itu berarti dia sudah banyak berbuat baik." Gege menjabarkan.
"Jadi menurut kamu, aku enggak pernah berbuat baik gitu?" Memey memperjelas arti kalimat pria ini.
"Mungkin." Gege berkata seadanya. Membuat Memey mendelik kesal dan setengah memukul lengan pria ini.
"Sama-sama jomlo aja ribut. Kalian berdua jadian gih. Biar aku juga seneng. Kali aja kalian jodoh hingga sampai ke pelaminan," timpal aku membuat keduanya membelalakkan mata bersama-sama.
"Bercandanya kelewat batas, Zi," protes Memey.
"Yang benar aja. Bercanda, bercanda ... tapi jangan ke arah situ dong. Enggak lucu sekali." Gege juga protes. Sebenarnya cara protes mereka sama.
"Wow ... cara protes yang sama. Oke, oke. Aku tidak akan bercanda seperti ini." Akhirnya aku mengangkat tangan bermaksud menenangkan keadaan.
"Kak Zia ...," panggil seseorang. Sebuah suara familiar membuatku menoleh. Rupanya Rara, adik Hanen. Dia putri ketiga keluarga Laksana. Memey dan Gege mengangguk memberi salam.
"Ada apa, Ra?" tanyaku.
"Ada keluarga dari rekan papa."
"Oh, iya. Mey, Ge. Aku tinggal ya." Mereka berdua mengangguk. Dengan tangan menggandeng lengan adik ipar, aku menuju tempat tamu mertua. Hanendra yang sudah berada di tengah mereka, menoleh saat aku muncul. Langkahku terhenti.
"Dia istriku." Hanendra menarik lenganku dengan lembut. Kemudian memeluk bahuku.
"Ah, istrimu begitu cantik," ujar seorang pria yang aku ketahui adalah putra keluarga kaya juga. Dia sahabat karib Han. Juno namanya. Kepalaku mengangguk dan tersenyum saat pujian itu meluncur begitu saja. Bagaimana mungkin seorang wanita tidak tersipu saat ada pria yang memuji.
Namun, aku harus bisa menyembunyikan rasa senang saat di puji karena Han bisa cemburu.
"Tentu saja. Bukankah sejak awal, kamu tahu bahwa dia itu cantik?" Han memainkan alisnya dan tersenyum pada Juno. Si pria ini tersenyum sambil menganggukkan kepala. Setuju, kalau sejak awal aku memang cantik. Waw, itu juga prestasi buatku. "Kita sapa dulu papa Juno," bisik Han di telingaku seraya membimbing tubuhku menuju tempat keluarga Juno berdiri.
Suasana pernikahan ini memang mewah, tapi keluarga Laksana tetap menyediakan suasana yang kekeluargaan dan casual. Mereka berdua. Sang pengantin, boleh turun dari panggung pelaminan untuk menyapa tamu mereka. Makanya sejak tadi setelah Han dan Zia menjadi pajangan di panggung pelaminan di atas sana, mereka boleh turun. Datang, menemui dan berbincang dengan mereka. Terutama tamu penting.
"Ini dia menantuku," ujar papa mertua sambil memperkenalkan diriku pada Wahyu Pramana. Orangtua Juno.
"Putri, Saputra?" tanya beliau setengah menebak.
"Benar. Dia putri Saputra." Mertua membenarkan. "Ayo Zia, beri salam pada teman teman papa," ujar mertua. Aku mengangguk. Lalu memberi salam. Setelah itu bercengkrama dengan mereka.
Sungguh tidak terbayangkan bagi diriku yang merupakan anak dari sekretaris keluarga Laksana, bisa bersanding dengan putra mereka. Semenjak ayahku meninggal, aku hanya tinggal bersama ibu dan kakak perempuan yang dalam umur 40 tahun masih belum menikah.
Terlihat ibu yang berdiri bersama besannya tersenyum bahagia. Kakak juga tampak cantik dengan dress sederhananya. Aku bahagia mampu membuat ibu dan kakakku bangga. Menjadi menantu keluarga Laksana memang sungguh membanggakan.
Bola mataku tak sengaja beredar ke area pesta. Kemudian menemukan dia yang berdiri dengan enggan sambil bersandar. Negara Laksana. Adik dari Han. Putra kedua keluarga Laksana. Dia terlihat tidak menikmati pesta ini. Ya ... dia tipe pria yang sedikit tertutup bila di bandingkan Hanen sendiri.
Mereka dua bersaudara yang begitu bertolak belakang. Namun itu tidak memudarkan paras tampan dari pria-pria penerus keluarga Laksana Adinarendra. Mungkin karena terlalu lama bola mataku melihat ke arahnya, pria itu menoleh. Menemukan diriku melihatnya.
Kepalanya mengangguk memberiku salam. Dia lumayan sopan untuk kategori anak bangsawan.
Tamu-tamu kalangan atas datang memenuhi undangan. Pesta tidak cepat usai hingga mertua meminta untuk istirahat dulu saat dirasa tamu untuk beliau sudah tidak ada.
"Kita tinggal dulu ya ... Orang tua seperti kita memang tidak sanggup lama-lama," ujar tuan Laksa mengundurkan diri.
"Iya. Mama dan papa bisa istirahat dulu," ujarku menanggapi.
"Ibu kamu juga boleh pulang dulu kalau lelah. Tidak perlu menunggu acara usai," ujar istri Laksa yang tak lain adalah mertua perempuan memberi nasehat.
"Iya, Ma."
"Han, mama dan papa pulang dulu. Rara dan Gara masih disini. Kalau ada perlu apa-apa minta tolong sama mereka. Mereka berdua siap menjadi ajudan kalian." Papa menepuk punggung putra mereka.
"Baik, Pa. Jangan khawatir." Han meyakinkan mereka berdua.
Setelah berpamitan mereka berdua pulang kerumah terlebih dahulu. Acara masih terus berlanjut. Hanya saja, tinggal beberapa tamu saja yang masih datang. Karena sudah sejak tadi tamu datang berjubel memenuhi ballroom.
"Aku ingin mengambil minum," ujar Han.
"Aku ambilkan?" tawar Zia.
"Tidak perlu. Kamu bisa menemui temanmu jika mereka belum pulang. Aku akan bersama Juno disana." Han menunjuk meja dimana Juno duduk bersama beberapa temannya. Ternyata pria itu belum pulang. Mungkin orangtuanya sudah pulang duluan. Melihat tidak ada wajah-wajah keluarga Juno di sekitarnya.
"Aku tidak boleh ikut bergabung denganmu?"
"Kamu mau ikut bergabung? Kamu tidak lelah?" Han menyentuh lengan atas istrinya.
"Tidak. Aku ingin bersamamu."
"Wahhh ... kamu begitu tidak ingin jauh-jauh dariku ya?" Tangan Han menowel ujung daguku dengan tatapan menggodanya. Aku tersipu.
"Tentu saja," jawabku sambil menunduk. Menyembunyikan rasa malu dan tersipu.
"Baik, baiklah. Istriku yang cantik memang tidak bisa di biarkan sendiri. Bisa-bisa aku akan kehilangannya. Ayo, kita berdua kesana." Han menyediakan lengannya untuk aku gandeng. Tanpa ragu aku lingkarkan tanganku di atas lengannya.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat duduk teman-teman Han.
"Wahh ... ini dia sang pengantinnya. Ayo beri mereka berdua tempat duduk. Pengantin tidak boleh lelah sekarang, karena masih banyak kegiatan hingga menjelang pagi," goda Juno yang langsung di respon riuh oleh yang lain.
Aku tersenyum tipis melihat kelakar mereka.
"Han, kamu sudah siap untuk menggempur nanti malam?" tanya seorang perempuan dengan nama Delia kalau tidak salah. Dia juga pasti anak orang kaya juga.
"Tentu saja. Aku sudah siapkan obat herbal dan sebagainya demi membuat istriku puas," jawab Han santai. Padahal cuping telingaku sedikit panas karena malu. Namun karena Han langsung merengkuh pinggangnya dan berbisik, "Aku siap sepenuhnya, Zia." Aku langsung luluh. Aku terbuai dengan bisikan pria yang tak lain adalah suamiku ini.
Lagi-lagi bibirku tersenyum menanggapi. Semua tawa dari mereka semua menjadi hambar. Tidak lagi membuatku harus merasa sangat malu. Kami pengantin baru, wajar pembicaraan mengarah ke sana.
"Sejak tadi aku belum memberimu selamat dengan sepenuh hati, Han," ucap seorang perempuan berwajah manis di kursi depan kami. Jika di ingat, dia satu-satunya perempuan yang tidak banyak tertawa. Hanya menyunggingkan senyumnya sedikit. Bola mataku memandangnya. Begitu juga yang lain. Semua perhatian tertuju pada dia.
"Memangnya kamu akan mengucapkan selamat seperti apa?" tanya Juno.
"Tentu dengan cara yang berbeda dengan yang lain." Perempuan itu berdiri. Lalu mendekat ke arah kami. "Selamat atas pernikahanmu, Hanen." Suara lembut nan indah meluncur dengan bagus dari bibirnya. Wanita itu merundukkan tubuhnya sambil mengulurkan tangannya. Dengan begitu, bagian tubuhnya mencuat karena model pakaianya yang terbuka.
Aku terkejut. Kepalaku menoleh ke samping ke arah suamiku. Dia terdiam. Namun tak lama kemudian ikut mengulurkan tangannya juga.
"Terima kasih Kayla." Senyuman terlukis begitu sempurna dengan wajah manisnya. Lalu dia menoleh padaku. Kembali tangannya terulur dengan luwes ke arahku.
"Selamat juga untukmu, Zia."
Dia tahu namaku. Siapa dia?
"Ya. Terima kasih. Aku belum tahu bahwa Hanen punya teman semanis kamu."
Bibir wanita itu tersenyum. Kali ini ada suatu rasa yang sangat sulit aku artikan. Senang karena aku memujinya? Tidak suka karena aku terdengar berbasa-basi? Senyum sinis karena itu memang seperti apa adanya? Ya, dia memang manis.
Juno memperhatikan. Ekor matanya lebih intens saat memerhatikan mereka berdua. Sambil sesekali meneguk minuman, Juno terlihat mengamati. Seperti sedang cemburu. Aku melihat ini tapi segera membuang pikiran itu karena tidak perlu menebak apa yang sedang di pikirkan Juno.
"Sepertinya aku harus pulang. Aku ada masih ada acara sebentar lagi. Penting." Wanita itu melihat arloji bergaya feminin di pergelangan tangannya.
"Sepenting apa acaramu, hingga harus meninggalkan pesta Hanen?" tanya Juno.
"Kenapa aku perlu memberitahumu? Kamu tidak perlu tahu," selanya. Walaupun tidak suka akan keingintahuan Juno, wanita itu tersenyum tipis.
"Tentu saja kau tidak perlu memberitahunya." Kali ini Hanen berbicara dengan nada jenaka. Bermaksud mengejek Juno yang ingin tahu. Wanita ini tersenyum pada Hanen karena membelanya.
"Memangnya kamu tidak ingin tahu?" tanya Juno setengah bercanda. Namun itu terdengar tidak indah di telingaku. Aku melirik Hanen.
"Kenapa aku perlu mencari tahu, bodoh!" maki Hanen sambil tergelak. Tangannya menarik bahuku untuk lebih mendekat.
"Ohh ... karena kamu akan melakukan hal lain yang lebih menyenangkan nanti malam?" tanya Juno sambil melirik aku.
"Tentu saja. Hahaha ..." Hanen tertawa. Di ikuti Juno yang juga ikut tertawa.
"Baiklah. Aku pergi dulu. Jika memungkinkan, takdir akan mempertemukan kita semua kembali. Bye. Aku pergi." Tubuh Kayla yang bagus melenggang pergi dari tempat pesta.
"Gila, si Kayla. Makin cantik aja dia." Juno berkomentar. Obrolan para pria.
"Kenapa kalian tidak pacaran saja," ucapku bermaksud ikut gabung dalam perbincangan mereka. Juno dan Hanen melihatku bersamaan. Aku sedikit terkejut dengan spontanitas mereka melihatku yang terlihat seperti janjian.
"Dia dan aku?" tanya Juno. Aku mengangguk.
"Tidak mungkin. Itu tidak mungkin, Zia." Juno terdengar seperti putus asa. Dia meneguk minumannya.
"Kenapa?" kejarku ingin tahu. Bukan karena ingin tahu atau hendak bergosip. Aku hanya mencoba membuat kita punya bahan obrolan. Karena Juno akan jadi temanku juga. Jika dia sobat Hanen, itu berarti dia juga akan sering muncul di kehidupanku.
Hanen mengambil gelas berisi minuman di atas meja.
Juno menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Dia sudah ada yang punya. Aku tidak berhak mengusiknya."
"Benarkah? Aku lihat dia datang sendirian ke pesta ini. Jadi mungkin saja dia memang sedang sendiri," kataku berkata secara logika.
"Ya. Mungkin saja kekasihnya tidak bisa datang ke pesta ini menemaninya, tapi aku tahu dia begitu mencintai kekasihnya itu." Hanen melihat sobatnya yang mengatakan itu dengan nada rendah. Terdengar sedih.
"Begitu ya ... Tentu saja perempuan semanis itu pasti sudah ada yang punya. Kamu pasti kecewa dia sudah tidak bisa di miliki."
"Sedikit, tapi aku masih punya banyak stok wanita jika aku ingin berkencan dengan mereka. Hanya saja ... saat ini aku masih belum ingin berkencan."
"Dia tidak butuh kencan. Dia hanya butuh uang, Zi." Hanen memberikan komentar.
"Itu benar. Hahaha ...." Juno tertawa dengan puas.
"Lihatlah, dia. Walaupun tidak punya kekasih, dia tetap bisa bahagia." Juno mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa. Aku tergelak pelan. Hanen membelai rambutku pelan dengan sayang.
"Kamu tidak lelah?" tanya Hanen.
"Sedikit. Namun aku bisa bertahan."
"Oke. Aku percaya."
Pesta usai tepat jam sepuluh malam. Mungkin lebih. Hanen berencana menggendongku dari pintu kamar hotel yang sudah di pesan menuju ranjang pengantin kami. Namun aku segera menolak karena pria itu nampak kelelahan.
"Lebih baik kita jalan bergandengan tangan saja," usulku. Hanen tergelak. "Aku kasihan melihatmu kelelahan."
"Kamu memang pengertian." Hanen menowel daguku. Lalu kita bersama-sama menuju ranjang pengantin yang sudah penuh dengan bunga. Sehingga seluruh ruangan beraroma manisnya bunga.
"Harum."
"Benar. Sengaja di buat harum untuk menemani malam kita berdua," bisik Hanen sambil menggigit lembut bahuku yang terbuka. Gigitan ini tentu tidak membuatku sakit, tapi justru rasa menyengat di sekujur tubuh.
Tiba-tiba ponsel Hanen berdering. Sontak aku menoleh. "Ponselmu berdering," ucapku memberitahu.
"Iya," jawab Hanen singkat. Namun pria ini membiarkannya. Aku yang awalnya berusaha biasa saja karena dia tidak mempedulikan suara dering itu, akhirnya terusik.
"Jika penting, angkat saja dulu," kataku sangat tidak masuk akal. Karena pasti orang-orang tahu bahwa saat ini Hanen tengah bersamaku. Istrinya. Dan pasti kita berdua sedang bergumul di atas ranjang karena ini malam pertama. Namun kalimat yang keluar dari bibirku justru itu. Aku dengan mudahnya mempersilakan kita di ganggu.
"Baiklah..." Hanen setuju. Dia melepaskan tubuhku dan mendekat ke arah ponsel yang ada di meja nakas. Aku masih di depan ranjang hendak melepas gaun pengantinku dan berganti dengan gaun tidur yang sudah di siapkan mertuaku.
Ini sudah beberapa menit sejak kita berdua masuk ke dalam kamar pengantin. Ku lirik Hanen masih berkutat dengan ponselnya. Sementara aku diam sambil melepas aksesoris yang jadi hiasan di kepalaku.
"Siapa?" tanyaku ingin tahu juga.
"Papa," sahutnya datar tanpa menoleh.
"Papa?" tanyaku terkejut. Pasti ada hal penting yang di bicarakan hingga mertua perlu mengganggu waktu berharga ini.
"Iya. Beliau mengira pesta belum usai karena pasti teman-temanku belum pulang." Hanen menjelaskan. Sepertinya dia tahu aku terkejut. "Tenang saja. Ini bukan hal gawat, tapi memang perlu waktu untuk bicara." Aku mengangguk saja. Mungkin beliau berpikir pasti Hanen masih mengobrol dan berbincang lama dengan mereka. "Sebentar ya, aku keluar dulu. Sepertinya sekretaris papa ada di luar."
"Sekarang?" tanyaku merasa berat. Tentu saja. Ini waktu yang berharga bagi pengantin, tapi dia akan pergi keluar kamar sementara aku tetap di sini.
"Aku hanya sebentar. Kamu tunggu saja." Hanen berjalan mendekatiku. Dia tahu aku keberatan. "Buka gaunmu dan ganti dengan gaun tidur yang sexy ... " bisik Hanen tepat di telingaku. Jelas itu membuatku menahan napas sejenak. Sekujur tubuhku meremang.
"Baiklah," ujarku pasrah seraya tersipu. Lalu Hanen pergi keluar kamar dengan membawa ponselnya.
Setelah hampir satu jam, batang hidung Hanen tetap tidak muncul. Sebentar? Apa ini mungkin punya arti kata yang lain? Bukankah sebentar itu bukan hampir satu jam seperti ini?
Aku duduk di atas ranjang dengan gaun tidur sexy yang di berikan mertua di atas meja yang ada di dekat pintu.
Selamat atas pernikahan kalian berdua. Segera beri mama momongan, ya ...
Aku baca lagi kartu ucapan warna merah muda yang tadi berada di dalam bungkus kado dengan warna senada. Ucapan seorang ibu yang ingin segera menimang cucu.
Bibirku tersenyum dan sedikit malu membaca itu. Momongan? Begitu menggebunya mama Hanen ingin menggendong cucu. Namun ternyata, malam ini kita tidak segera membuat cucu yang di harapkan itu. Aku terpekur sendiri menanti pria yang tadi keluar dan berkata akan segera kembali.
Kemana Hanen? Ada apa dengannya?Tiba-tiba aku merinding sendiri. Membayangkan hal buruk terjadi. Bergegas aku berdiri dan ... Aku berhenti. Tidak ada pakaian apapun. Di dalam kamar ini tidak di sediakan pakaian satupun.
Benarkah ini?
Aku duduk kembali ke atas ranjangku. Jelas sekali aku tidak bisa kemana-mana. Tidak mungkin aku berkeliaran memakai gaun pengantin apalagi hanya memakai gaun tidur dengan lekuk tubuh terbuka di sana-sini.
Aku harus bagaimana?Ponsel! Aku harus mencari ponselku! Kakiku melangkah mencari ponsel. Di berbagai tempat aku berusaha mencarinya. Hingga akhirnya ketemu. Tergeletak di sudut laci. Ku cari nama Rara di daftar kontak.
Ketemu! Segera aku tekan tombol panggil. Agak lama Rara baru mengangkat ponselnya.
"Halo, Ra."
"Iya, kak. Ada apa?"
"Kamu masih ada di tempat pesta atau sudah pulang?"
"Sudah mau pulang. Ada apa memangnya?"
"Apa Hanen ada di sana?" tanyaku ragu.
"Kak Hanen?" tanya Rara heran.
"Iya." Suara Rara lenyap. Mungkin sangat aneh seorang istri kehilangan suaminya di saat malam pertama. Aku menunggu dengan cemas jawaban Rara.
"Tidak. Memangnya ... kak Hanen tidak bersama kak Zia?"
"Tidak."
"Bukannya tadi kalian berdua berangkat ke hotel yang di pesan untuk melewati malam ini bersama menggunakan mobil pengantin?" Ini memang sungguh aneh, tapi Zia perlu mencari tahu dimana keberadaan suaminya sekarang.
"Beberapa menit setelah kita sampai, dia meminta ijin pergi. Sekretaris papa ada perlu mendadak," kataku.
"Sekretaris papa? Pak Andi?" tanya Rara seakan tidak percaya.
"Benar. Hanen bilang ada urusan penting hingga membutuhkan waktu untuk bicara dan pergi meninggalkanku." Lagi lagi tidak ada suara disana. Sunyi. Sepi. Entah apa yang sedang di pikirkan adik iparku ini.
"Aku tidak tahu soal itu." Rara akhirnya bersuara.
"Bisa bantu aku membawa pakaian ke kamar hotel?"
"Sekarang?"
"Ya. Aku ingin mencari Hanen, tapi tidak ada pakaian sama sekali disini, kecuali lingerie dan gaun pesta." Aku sebenarnya malu mengatakannya, tapi sekarang ini aku harus jujur agar Rara mau membantu.
"Baiklah. Mungkin aku tidak bisa mengambil baju kakak di rumah orang tua kakak, tapi aku bisa membawakan bajuku kesana."
"Terima kasih." Aku bisa bernapas lega. Ku tunggu di dalam kamar dengan perasaan gelisah. Kemana Hanen?
Setelah agak lama menunggu, pintu kamar terketuk. Aku mengira itu Rara. Dengan segera aku berjalan dengan baju handuk yang tersedia di dalam kamar ini dengan tetap lingerie melekat di tubuhku.
Perlahan aku buka pintu sambil mengintip. Saat membuka pintu sedikit, aku terkejut melihat seorang pria di depan pintu. Karena terkejut aku segera menutup pintu kembali. Siapa dia? Mengapa itu bukan Rara? Namun itu juga bukan Hanen, siapa dia?
Karena terkejut aku tidak sempat melihat dengan jelas siapa dia.
"Siapa?" tanyaku agak keras dari dalam.
"Aku Gara. Rara bilang ingin memberikan kado ini pada kalian segera," ujar Gara dari luar. Kado? Aku mendekat ke meja nakas dan hendak menghubungi Rara. Rupanya adik iparku mengirim pesan.
Aku tidak bisa kesana. Maaf, Kak. Namun aku titipkan ke Kak Gara yang kebetulan sedang keluar. Aku hanya bilang itu kado. Aku tidak memberitahu kalau itu sebuah pakaian. Begitu pesan Rara.
Aku tidak menduga dia akan menyuruh Gara.
Oke. Terima kasih, balasku segera. Jadi itu memang benar adik ipar laki-laki. Negara Laksana.
Lebih baik tidak perlu bertanya soal Kak Hanen kepada kak Gara. Aku akan mencari kak Hanen dan memberitahunya bahwa istrinya sedang menunggu, imbuh Rara dalam pesannya.
Sedikit aneh, tapi perkataan Rara benar. Kakiku melangkah mendekat lagi ke arah pintu. Membuka lebih pelan dan lebih hati-hati daripada tadi. Rupanya Gara masih disana. Di depan pintu. Berdiri membelakangi. Melihat pintu kamar hotel terbuka sedikit, Gara memutar tubuh dan menoleh.
"Maaf. Aku terkejut jadi spontan menutup pintu," kataku malu. Masih menyembunyikan setengah tubuhku.
"Tidak apa-apa," kata Gara tidak banyak ekspresi. Pria ini memang seperti itu. Kurang ramah. "Hanen?" tanya dia singkat.
"Ada. Dia ada di dalam," ujarku berbohong.
Gara mengangguk. "Baik. Aku pulang."
"Terima kasih sudah mengantar." Dia mengangguk dan pergi dengan cepat. Aku segera mengganti baju dan ikut pergi dari kamar pengantin setelah adik ipar pergi.
Mencari ke seluruh penjuru hotel yang semakin sepi karena larut malam. Ini sangat janggal. Bagaimana bisa Hanen tidak muncul di malam pertama kita?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!