Ku lihat Hanen sudah ada di ruangannya.
"Zi, jangan lupa nanti survei tempat untuk melakukan promosi." Memey mengingatkan. Aku lupa itu. Setelah kejadian tadi aku terfokus pada hal tadi pagi saja.
"Hampir saja aku lupa. Oke. Ga, sebentar lagi ikut aku keluar. Kita akan survei tempat." Gara yang duduk di depanku mendongak.
"Ya." Pria ini selalu berwajah sama. Datar. Itu lebih baik daripada wajah penuh kebencian milik Hanen. Aku ke ruang kerja Hanen menyerahkan surat persetujuan melakukan promosi.
"Masuk," ujar Hanen dari dalam. Aku melangkah pelan dan masuk.
"Aku membawa surat ijin melakukan kegiatan promosi." Suaraku tidak terlalu keras, tapi membuatnya langsung mendongak dengan wajah kaku. Ku letakkan di atas meja.
"Tidak perlu melakukan hal seperti tadi lagi. Jangan berusaha keras. Aku tidak tertarik," ujar Hanen seraya menandatangani proposal pengajuan kegiatan promosi.
"Aku tidak sedang membuatmu tertarik. Aku hanya sedang melakukan hal yang biasa di lakukan oleh seorang istri." Jawabanku ternyata membuat kedua alisnya menyatu. Jelas dia tidak suka itu.
"Hmmm ... kamu sedang berperan menjadi istri yang baik?" tanya Hanen meremehkan. "Kenapa perlu melakukan itu? Kita tetap suami istri yang palsu, Zi. Jadi jangan melakukan hal yang sia-sia."
"Kenapa sia-sia? Karena kamu tidak akan pernah mencintaiku?" tanyaku merasa sakit sendiri.
"Tentu saja. Aku sudah mencintai seseorang. Kamu tahu itu." Aku tentu gila memaksa pria ini mengatakannya. Aku tidak peduli. Lelah. Ku ambil proposal yang sudah di tanda tangani. Lalu pergi keluar setelah berpamitan.
Sejenak aku menghela napas di depan pintu. Rasanya semakin sesak berada di dekat pria itu. Ibu, doakan aku selalu kuat menghadapinya. Saat mendongak, aku terkejut melihat Gara di ujung lorong. Apa dia melihatku saat aku meratapi nasib barusan?
Adik iparku berlalu. Yah ... sekalipun dia melihat, dia tidak akan banyak bertanya soal itu. Cukuplah seorang Gara seperti itu. Langkahku bergerak menuju kembali ke ruangan anggota tim.
"Mau berangkat sekarang?" tanya Memey.
"Ya. Lihat Gara?" tanyaku melihat kursinya kosong. Aku pikir dia tidak akan lama perginya.
"Di pantry. Adik bos itu benar-benar sedikit bicara. Sedikit menakutkan jika di bandingkan dengan suamimu. Yah ... Walaupun dia juga adalah pria yang keren," ujar Memey tanpa mengecilkan suaranya. Saat itu muncul Gara dari pantry membawa kopi. Entah pria itu mendengar atau tidak. Yang terpenting Memey tahu diri dengan menutup mulutnya.
"Sebentar lagi kita keluar. Survei tempat untuk promosi produk," kataku memberitahu.
"Ya," jawabnya singkat.
Mobil kami melaju menuju gedung cantik yang akan di jadikan tempat promosi. Tempat yang bagus yang sesuai dengan suatu produk kecantikan.
"Kita melakukan banyak promosi seperti ini, guna mendekatkan produk Glow pada konsumen. Kadang, mereka mengira kosmetik kita terlampau mahal. Padahal dengan ukuran yang besar dengan kisaran harga seperti itu, ini sungguh produk yang hemat." Aku menunjukkan salah satu produk pada Gara berikut penjelasannya.
Terkadang aku ragu, apa Gara mendengarkan ku? Dia terlihat tidak peduli.
"Kamu mendengarkan apa yang aku bicarakan?" tanyaku tidak ingin waktu terbuang percuma jika ternyata dia tidak mendengarkanku.
"Soal produk Glow?" tanya Gara.
"Semua hal tentang pekerjaan yang aku katakan."
"Ya. Aku mendengarkan semua yang kakak bicarakan." Kakak? Itu seperti meledekku. Biasanya tidak memanggilku kakak.
"Syukurlah. Itu berarti aku tidak membuang waktu." Gara melirikku yang menghela napas. Kita berdua berkeliling melihat lokasi. Dimana di dalam gedung ini juga terdapat taman bunga kecil yang mempercantik tampilan ruangan.
Aku menunduk melihat arlojiku. Sudah siang. Ini saatnya makan siang. Mungkin Gara tidak mengingatkanku akan makan siang karena aku terus saja bercerita soal produk Glow.
"Sepertinya ini waktunya makan siang. Ayo kita keluar. Kita akan mencari makan siang." Kulihat Gara melihat ke arah arlojinya. Kemudian mengikutiku.
"Sebaiknya kita kesana." Tunjuk Gara pada sebuah restoran kecil. Dia punya kesukaan juga.
"Kamu ingin makan siang dengan apa?" tanyaku setelah kita masuk dan berdiri di depan meja kasir untuk memesan. Karena aku tidak tahu apa yang di sukai dan tidak di sukainya, aku harus bertanya.
"Tidak. Aku tidak perlu membeli makanan."
"Kamu tidak makan?" tanyaku heran. Lalu kenapa membawaku kesini?
"Aku sudah membawa bekal. Jadi aku tidak perlu lagi membeli makan siang."
"Bekal?"
"Iya." Aku langsung teringat bahwa Gara meminta bibik membawakan bekal dari masakan yang aku buat tadi pagi. Mendengar ini aku merasa malu.
Aku ragu untuk membeli. Dia saja yang merupakan oranglain bisa menghargai masakanku. Kenapa aku sendiri tidak mau menghargainya dengan membuat bekal dari masakan itu. Keengganan Hanen mungkin membuatku sedikit muak dengan masakanku sendiri. Sehingga setelah sarapan tadi, aku tidak peduli pada hasil karyaku itu.
"Kenapa tidak jadi membeli?" tanya Gara keheranan.
"Hmm ... "
"Belilah makan siang. Jangan sungkan karena aku hanya memakan bekal." Dia tahu.
"Bukan. Itu ...." Tiba-tiba dia maju kedepan dan memesankan makan siang untukku. "Tunggu Gara." Aku tentu merasa tidak enak melihatnya mengambil alih memilihkan makan siang untukku. Namun pelayan resto sudah membuatkan makanan dan membungkusnya.
"Kita makan di dalam mobil saja," katanya seraya menyerahkan tas makan siang. Aku menurut dan mengikutinya dari belakang. "Duduklah di depan. Atau jika tidak nyaman, kita bisa duduk di sana." Gara menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang dekat pelataran parkir. Pria ini langsung membuat pilihan agar tidak membuatku ragu. Aku cukup nyaman.
"Sepertinya kita lebih nyaman makan siang di sana." Aku memilih pilihan kedua. Gara mengangguk. Sebelum itu, dia masuk ke dalam mobil dan mengambil tas bekal yang di bawakan bibik tadi.
Ternyata makan siangku semacam bento. Nasi dengan lauk dan sayuran bermacam-macam. Hanya saja porsinya sedikit-sedikit untuk tiap jenis. Kurasakan wajahku ceria mendapat bekal seperti ini. Makan dengan model begini memang membuat napsu makanku bertambah.
Sepertinya Gara melirikku. Aku tersenyum.
"Maaf. Aku terburu-buru makan. Makanan ini begitu menggoda selera. Aku tidak tahan untuk segera memakannya," ujarku jujur. Gara mengerti. Dia juga membuka kotak bekalnya. Itu masakanku. Gara saja mau memakan masakanku, tapi aku justru membeli masakan orang lain. Memalukan.
Rupanya dia tidak risih makan di tempat seperti ini. Tempat yang meskipun bersih, tapi terlihat aneh jika ada yang makan siang di sini. Melihat rasa nyamannya aku juga ikut larut dalam kenyamanan. Makan siang ini begitu menyenangkan.
"Maaf, jika masakanku tidak enak." Aku membuka perbincangan.
"Ini tidak bisa di sebut tidak enak. Karena Rara dan aku terlihat menikmatinya tadi pagi." Dia mengunyah udang tepung yang terlihat masih renyah meski sudah di masak tadi pagi.
"Benarkah? Syukurlah. Aku merasa bersalah jika aku memasak banyak, tapi hasilnya tidak enak." Aku juga ikut menyuap makananku.
"Kurasa kamu sudah memperhitungkannya. Melihatmu bisa membuat masakan seperti itu, mungkin sudah jadi rutinitasmu sehari-hari berada di dapur. Jadi aku tidak ragu kalau masakanmu akan terasa lezat."
"Benar. Aku memang harus memasak sendiri setiap hari karena aku tinggal sendiri," ujarku tanpa sadar membuka awal cerita.
"Kamu tidak tinggal bersama dengan ibumu?" Pertanyaan yang membuat Gara lebih terlihat seperti orang yang sangat peduli dengan orang lain. Sangat jarang mendengar pria ini ingin tahu soal orang lain. "Tidak perlu menjawab jika tidak nyaman. Aku hanya bertanya. Tidak benar-benar ingin tahu." Gara kembali pada mode tidak pedulinya.
"Aku bukan putri mereka sesungguhnya. Aku hanya anak pungut," ucapku pelan. Entahlah kenapa aku membuka cerita ini.
"Sudah aku katakan jangan menjawab jika tidak nyaman. Aku tidak memaksamu." Kulihat Gara sedikit menggerutu mendengar jawabanku. Bibirku tersenyum. Ada nada sedikit marah disana. Mungkin jawabanku membuatnya tidak enak hati.
"Tidak apa-apa. Tiba-tiba aku ingin mengatakannya. Makanan ini membuatku ingin orang tahu bahwa aku bukan anak kandung ibu dan ayah. Itu lucu." Kurasakan Gara menatapku agak lama. "Habiskan masakanku. Aku akan merasa tersinggung jika kamu tidak menghabiskannya, adik ipar," ujarku jenaka. Bermaksud bercanda untuk menetralkan nuansa perih tadi. Matanya yang dingin masih melihatku sejenak. Lalu kembali fokus pada bekalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus berkarya
2022-07-25
0
Wiwit Fitria Yasmiarta
memang getir nasib Zia🥺🥺
2022-02-18
0
🙃😉
😢
2022-02-18
1