Gara masih ingat bahwa dia duduk disini hanya untuk minum sedikit alkohol. Bukan sengaja menemani kakak iparnya yang tengah duduk sendirian. Namun, dia tidak menyangka akan mendengarkan sebuah tawaran mengejutkan.
"Bisakah, malam ini menemaniku?" tanya Zia membuat Gara menoleh cepat. Menatap perempuan di depannya dengan wajah heran.
"Kamu sedang meracau. Sudah mabuk?" tanya Gara meneliti. Matanya juga melirik ke arah gelas dan botol yang ada di atas meja.
"Tidak. Aku masih sadar. Aku tidak mau mabuk. Minuman ini hanya aku sesap sedikit demi sedikit. Itu tidak akan membuatku mabuk," sanggah aku begitu yakin.
Ya. Aku tidak mabuk dan tidak kacau. Namun hatiku yang sakit dan hancur sudah seperti terpengaruh oleh alkohol.
"Lalu apa yang kamu bicarakan barusan? Kalau mengantuk tidurlah. Sebentar lagi kak Hanen pasti pulang. Jangan meracau disini. Mengigau tidak jelas," nasehat Gara. Pria ini menganggap tawaranku hanya igauan bunga tidur.
Mana mungkin tawaran tidur bersama adalah ide bagus. Aku pasti sudah keluar dari pikiran sehatku sendiri karena sudah menawarkan tawaran bodoh dan gila.
"Sudah aku bilang, aku tidak mabuk atau mengantuk, Gara." Kepalaku menoleh pada pria di samping. Pada Gara. Entah kenapa aku justru semakin ingin mengatakannya. Soal tawaran aneh itu.
Bola mata Gara mulai menatap aku yang di kenal sebagai kakak iparnya ini. Matanya yang tenang sempat terkejut. Jelas tawaranku mengejutkannya. Aku masih duduk dengan tetap menjaga jarak darinya.
"Jangan bicara sembarangan. Jika tidak mabuk dan mengantuk, hentikan racauan dan igauan tidak jelas tadi." Gara membuang wajah ke depan. Ke arah rak kaca dimana gelas-gelas wine milik kakaknya tertata rapi di sana. Dia tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini.
"Apa aku perlu memperjelas maksudku tadi?" tanya ku masih menoleh pada Gara. Mata pria ini melirik. Bola matanya terlihat tajam dan dingin.
"Anggap aku tidak pernah mendengarnya." Gara memperingatkan. Aku menghembuskan napas kasar. Seperti ada yang menggerakkan seluruh anggota tubuhku, perlahan aku turun dari kursi bar dan mendekat ke Gara tanpa membawa gelas. Benda itu ku tinggalkan di atas meja.
Kali ini Gara sangat terkejut. "Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Gara yang merasa tidak nyaman dengan kedekatan tubuhku dengan dirinya.
Aku sungguh tidak mabuk, tapi pandanganku mulai berkabut. Aku tidak mabuk tapi aku seperti melayang.
"Aku akan memperjelas maksudku," ucapku seraya mendekatkan wajah dan mencium bibir Gara dengan pelan. Karena begitu mendadak, hingga Gara tidak bisa menghindar.
"Kakak ipar! Apa yang kau lakukan?!" tanya Gara marah sambil mendorong tubuhku hingga mundur beberapa langkah. "Apa yang sebenarnya merasukimu hingga berbuat ini? Kau dan aku adalah adik dan kakak ipar. Kau adalah istri kakakku, Hanen. Tidak seharusnya kau melakukan ini padaku!" Gara turun dari kursinya dan marah. Merasa di lecehkan. Aku hanya melihat kemarahan Gara dengan tenang.
Entah kenapa saat ini aku tidak takut Gara marah. Hanya diam sambil menatapnya.
"Jangan berbuat hina seperti ini. Kalau kau sadar, seharusnya kau tahu ini sangat tidak pantas!" Jari Gara menunjuk wajahku dengan marah.
"Hina ya? Aku perempuan yang hina ya ...," gumamku sambil mendengus. Tak terasa air mataku menetes. Gara terkejut. Segera aku mengusap air mata dengan punggung tangan. Sepertinya melihat air mata barusan, dia mulai terpengaruh. Marahnya luluh berganti dengan kebingungan.
Ada apa dengan perempuan ini?
"Jika aku yang hanya menciummu dan memintamu tidur denganku sekali ini saja, aku sudah di anggap hina. Lalu bagaimana dengan orang yang sudah berkali-kali bercinta dan menikmati tubuh orang lain yang tidak semestinya? Apa sebutan mereka? Brengsek? Biadab? Apa?!!!" tanya ku marah.
Aku marah. Hatiku sakit. Teringat lagi dengan Hanen. Bayangan Hanen yang kuyakini malam ini pasti bercinta dengan perempuan itu. Air mataku menetes lagi.
"Ughh," geramku. Tidak ku biarkan air mata itu meleleh lama. Punggung tanganku pun dengan sigap segera menghapusnya. Kubiarkan Gara melihat perubahan ini dengan semakin kebingungan.
Apa yang di katakannya? Apa yang sedang di bicarakannya? Soal apa dan siapa itu? Dia? Hanen?
"Zi ...," tegur Gara dengan suara lembut. Mendengar ini aku semakin ingin menangis. Hanen tidak lagi pernah menyebut namanya lembut seperti dulu. Bagaimana bisa justru adik iparnya yang memanggilnya lembut. "Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, tapi tenanglah. Cobalah bersikap tenang." Gara tidak mampu marah lagi. Sepertinya air mataku meluluhkannya.
Gara mendekat. Tangannya menepuk punggungku pelan dengan tanpa memberi tekanan karena masih harus bersikap sopan. Ini justru membuatku kembali meracau. Kemudian mendongak dan berkata, "Tidurlah denganku. Temani aku malam ini." Dengan mata basah, bibirku masih mengatakan hal yang sama.
"Zia!" tegur Gara. "Jangan mengatakan hal tidak pantas lagi. Kamu bukan perempuan seperti itu. Kamu perempuan baik!"
"Kamu tidak tahu aku baik atau tidak. Bahkan kamu pun tidak tahu apa yang sedang aku alami sekarang," desis ku berang.
"Apapun itu bukan aku yang seharusnya tahu. Jika memang ada yang perlu di bicarakan, bicaralah berdua dengan Hanen. Bukan aku."
"Hanen tidak peduli padaku. Dia tidak akan peduli dengan apa yang aku rasakan. Tidak akan!" Kata-kata Gara justru membuatku berteriak marah. Sekali lagi ini membuat Gara diam. Dia menatapku lama. "Aku sakit, Gara. Tolonglah aku. Temani aku," pintaku menangis lagi.
"Jangan seperti itu Zia." Suara Gara masih terdengar lembut.
"Aku butuh seseorang, Gara." Tubuhku melangkah mendekat lagi pada Gara. Ku ulurkan tangan menyentuh pipi pria ini. Rupanya sentuhanku membuat Gara berdebar-debar. Aku bisa merasakannya saat menyentuh dada bidang miliknya. Sentuhanku membuatnya goyah.
"Zia..."
"Aku menginginkanmu, Ga." Ada butiran air mata yang menggenang di ujung mata.
Zia mencium bibir Gara dengan penuh perasaan. Gara yang tadinya menolak akhirnya luluh. Seakan-akan sudah lama dahaga, Zia mencium Gara dengan penuh perasaan. Dia tenggelam oleh ciuman perempuan ini. Perlahan tangannya tergerak untuk menyentuh pinggang Zia, tapi urung. Gara memaksa melepas ciuman mereka. Lalu mendorong tubuh Zia lagi.
"Ini salah Zia. Kamu kakak iparku." Kesadaran Gara masih membuatnya ingat. Siapa mereka berdua. Namun tidak bagiku. Aku ingin seseorang. Aku ingin Gara.
"Aku tahu," kataku membuat mabok mata pria itu melebar tidak percaya. Aku tahu tapi aku meminta? Aku tidak peduli. Rasanya tubuhku bergerak sendiri. Ku ambil tangan Gara dan melingkarkannya pada pinggangku.
"Zia." Gara hendak menepis tanganku dari sana, tapi aku mencoba menahannya.
"Lakukan. Aku butuh," bisikku. Aku mulai menggila. Samar-samar aku merasakan lengannya di pinggangku. Perlahan kesadaranku lenyap. Apakah aku mulai terpengaruh alkohol yang tadi aku minum? Aku tidak tahu. Aku mulai terpejam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Rose Magdalena Kasambow
sdh baca sampai sini, Zia bukan perempuan kuat menurutku, dia pasrah dan sedikit labil, entah diepisode selanjutnya.
2022-12-24
0
Christy Oeki
trus sehat
2022-07-25
0
Wiwit Fitria Yasmiarta
wooww benar2 gilaa
2022-02-18
0