...Zia POV...
.......
.......
.......
"Pulang bersamaku?" tanya Hanen seakan itu kalimat aneh. Padahal aku berstatus istrinya. Namun aku merasa biasa saja dengan sikapnya itu. Status kita hanya di atas kertas. Dia memang tidak mencintaiku sama sekali.
"Ya. Kita suami istri. Bukankah memang seharusnya pulang bersama?" tanyaku seraya mengembangkan senyum. Aku berpura-pura. Beberapa detik dua pria di depanku melihatku dengan pandangan heran.
"Hhh ... baiklah. Ikutlah denganku." Hanen mengabulkan permintaanku. Ya. Permintaanku sangat sederhana. Sebagai pasangan sah, akan aneh jika Hanen menolak permintaanku. Ku sadari bola mata Gara menancap ke arahku. Dia memperhatikanku. Kesalahan itu membuatnya setia mempelajariku.
Tanpa perlu merasa pamit, aku melenggang mengikuti kaki suamiku. Kubiarkan Gara berdiri tanpa berkata-berkata di sana. Di tempat kita bersama tadi.
"Dimana kamu tadi malam?" tanyaku mengisi kesunyian yang terbentang di dalam mobil.
"Apa perlu aku menjawab?" tanya Hanen dengan sikap tidak pedulinya.
"Perlu."
"Hmmm ... Kamu bertingkah sebagai istriku?" dengkus Hanen meremehkan. Mencemooh diriku.
"Bukan bertingkah. Aku memang istrimu," kataku seraya menatap Hanen serius. Pria itu kembali menoleh padaku dengan senyuman tidak menggubris. "Aku wajib bertanya kemana kamu semalam. Kamu tidak pulang."
"Jangan terlalu menghayati peranmu, Zia. Cukup berdiri di sampingku saja sudah cukup. Jangan membuat masalah."
Aku yakin dia punya suatu alasan lain selain marah padaku karena membuat orangtuanya menjodohkannya denganku. Jika memang dia tidak mencintaiku, seharusnya dia berusaha dengan berbagai cara agar aku di singkirkan. Agar pernikahan ini di batalkan. Namun dia tampak berusaha menjaga hubungan ini berlanjut dengan pura-pura.
Membuat masalah? Aku terjebak soal itu. Bukan orang lain, tapi oleh diriku sendiri. Aku sudah membuat masalah. Wajahku langsung menghadap kaca samping. Melihat jalanan dengan perasaan tidak karuan. Bukan soal Hanen, tapi dia ... Seseorang yang terpaksa menuruti keegoisanku.
...----------------...
Makan malamku, ku lalui bersama Rara. Adik iparku ini bercerita banyak tentang kesehariannya di kantor. Aku bersikap tenang sebagai pendengar. Jujur, mendengar perempuan ini bercerita, bagai bersama kawan-kawan lama. Bahagia.
Aku ikut merasakan kebahagiaan saat dia menceritakan pengalaman pertama di kantor. Mungkin sebagai seorang putri orang kaya, dia kelewat polos saat mengungkapkan betapa serunya bekerja. Itu menjadi cerita lain yang indah bagiku.
Ku dengar suara langkah kaki dari pintu depan. Tanpa sadar, aku dan Rara menoleh. Itu Gara. Pria itu baru datang meskipun sudah sejak tadi jam kantor usai.
"Kenapa baru pulang, Kak? Bukannya sejak tadi tugas kantor selesai? Kak Zia aja sebagai senior dan partner kamu di kantor sudah bersantai di rumah." Rara menunjuk aku tanpa bermaksud apa-apa. Hanya menunjukkan bahwa seharusnya Gara dan aku punya jam pulang kerja yang sama.
"Aku punya keperluan sedikit di luar."
"Sudah makan?" tanya Rara. Gara tidak segera menjawab. Bola matanya tengah mencari sesuatu. Aku yakin dia sedang melihatku. Karena mata kami bersirobok saat ini. Ku pilih menundukkan pandanganku ke piring makan malam di depanku yang belum habis.
"Belum."
"Aku ambilkan ya, Kak." Dia memang adik yang perhatian.
"Boleh. Terima kasih, ya ..." Kepalaku masih menunduk saat tangan pria itu menarik kursi kayu dan duduk tepat di depanku. Ku relakan tanganku mengaduk nasi dan lauknya. Walaupun tidak mendongak, aku tahu Gara melihatku. Memperhatikanku dengan seksama.
"Ini ...," ujar Rara menyerahkan sepiring nasi dan lauknya.
"Kenapa sepi? Dimana Kak Hanen?" tanya Gara sambil melihat ke sekeliling. Ruang makan memang hanya berisi kita berdua. Tiba-tiba lenganku di senggol. Aku menoleh. Rupanya itu Rara.
"Hm?" tanyaku seakan tidak mendengar apa yang di tanyakan Gara tadi. Padahal di indra pendengaranku pertanyaan itu sangat jelas.
"Kak Gara tanya soal Kak Hanen." Rara memberitahuku.
"Oh, suamiku. Dia ... tidur di kamar," jawabku akhirnya.
"Kak Hanen pasti kelelahan." Rara mengangguk mengerti.
"Hmm ... benar. Dia pasti kelelahan." Nada bicara Gara bukan sekedar menyetujui pendapat adiknya, tapi ada nada mencemooh di sana. Aku menghela napas.
"Aku sudah selesai," ujar Rara mengejutkan. Aku langsung mendongak dan menoleh pada gadis itu. Bukan tidak setuju dia berhasil menyelesaikan makanannya. Namun, karena gadis itu akan pergi meninggalkanku. Di dalam piringku masih ada nasi dan lauknya. "Aku akan berada di kamar. Kak Zia habiskan dulu makannya. Aku tinggal. Kan ada Kak Gara disini."
"E ... itu ..."
"Ya. Aku akan makan disini agak lama. Sekalian meramaikan meja makan yang sepi." Gara tersenyum pada adiknya yang melenggang pergi.
Haruskah aku mengumpat sekarang? Aku tidak suka situasi ini. Teringat lagi suasana berdua malam itu. Malam penuh dengan emosi dan marah. Malam yang berisi kegilaan tanpa batas.
"Makanlah dengan lahap," ujar Gara mengagetkanku yang sedang larut dalam pikiranku sendiri. Kepalaku otomatis mendongak. Kudapati pria itu tengah melihatku. Sepertinya sejak tadi dia melakukannya.
"Tanpa di suruh, aku memang akan makan dengan lahap," jawabku sambil menatapnya.
"Baguslah. Aku suka Zia yang seperti itu." Gara tersenyum membuatku menunduk ke arah piring lagi. Zia? Dia tidak lagi memanggilku kakak? Tingkah gilaku membuatnya tidak lagi menghargaiku sebagai kakak ipar. Itu wajar. Untuk kategori kakak ipar, aku bukanlah perempuan yang patut di panggil dengan sebutan kakak. Itu tidak pantas.
"Han memang sedang tidur bukan?" tanya Gara lagi.
"Kenapa menanyakan itu?" tanyaku heran.
"Ow maaf. Aku lihat kamu menghela napas lelah. Aku yakin itu adalah sebuah beban. Sepertinya ... otakku terbiasa dengan Han yang pasti membuatmu seperti itu."
"Jangan membiasakan itu. Tidak semua soal Han membuatku harus menghela napas lelah. Ada banyak hal rumit yang bisa menjadi masalah," kataku lebih ringan saat mengatakannya.
"Soal apa?" tanya Gara yang semakin membuatku heran.
"Kenapa kamu perlu tahu?" Aku mengerutkan kening.
"Entahlah. Aku jadi ingin tahu tentang dirimu. Sejak itu. Sejak malam itu," ujarnya pelan. Aku kembali menunduk dengan sedikit menggigit bibir bawahku. Lagi. Gara membahas soal kita berdua malam itu.
"Tidak perlu Gara. Tidak perlu tahu tentang aku. Malam itu kesalahan. Tidak boleh terungkap. Tidak boleh ada yang tahu soal itu ..." ujarku juga berbisik seraya mencondongkan tubuh ke depan. Memasang mata nyalang. Ingin menunjukkan diri bahwa aku berhak mengatakan itu. Kemudian menoleh ke kanan dan kiri takut ada yang menguping.
Makan Gara yang mulai sedikit membuatnya meletakkan sendok dengan rapi di sisi piring dan meneguk air putih di sebelah kanan.
"Ow ... Jadi itu rahasia?" tanyanya tenang. Namun itu justru membuatku gelisah.
"Tentu saja itu rahasia, Ga. Bagaimana mungkin orang lain perlu tahu bahwa kita pernah ber-bercinta ...." Suaraku semakin lirih saat mengatakan kata-kata terakhir. Itu sensitif dan sangat tidak nyaman bagiku.
"Kenapa?"
"Itu tidak perlu di tanyakan, Ga. Bukankah kita ..."
"Adik dan kakak ipar?" serobot Gara membuatku justru menggeram.
"Tentu saja."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus berkarya
2022-07-25
0
🙃😉
😍
2022-02-18
1
Theresia Setyawati
haiisshhh rumit sekali
2021-11-30
0