"Sebaiknya makan dulu sebelum kembali ke rumah," ujar Gara memberi usulan. Aku menggeleng merasa tidak mampu melakukan hal lain. Mataku ingin terlelap. Melupakan hal yang tadi aku lihat dengan nyata. Namun sepertinya pria ini tidak menggubrisku. Mobil yang ku tumpangi melaju menuju ke arah lain. Bukan rumah Hanen.
Bibirku juga tidak mampu membantah. Rasa lemah menyergapku. Jelas aku lemah jiwa dan raga. Jika dalam pikiranku aku sudah membayangkan hal buruk soal Hanen dan Kayla, tapi di saat aku melihatnya sendiri ... Itu terasa semakin menyakitkan.
Aku istrinya yang sah. Disana, Kayla adalah orang lain dalam hubungan kita. Seharusnya Hanen lebih memberiku kepuasan lahir dan batin daripada dia. Jika berpikir lagi kenapa, itu terasa memusingkan. Kepalaku serasa pecah. Tubuhku ingin tidur. Merebah. Membuang semua rasa marah dengan tertidur.
"Ayo, turun. Kamu harus makan." Gara sudah membawaku ke tempat makan yang tidak aku ketahui. Dirinya juga sudah turun dari mobil dan membuka pintu, untuk memaksaku turun.
"Aku lelah, Ga."
"Lelahpun harus makan."
"Aku tidak mau. Aku tidak bernafsu untuk makan. Aku ingin tidur." Tubuhku masih berada di atas kursi mobil.
"Besok adalah hari untuk promosi. Ini penting. Jangan sakit sebelum acara usai." Aku mendengkus mendengarnya. Jelas sekali dia menyuruhku makan karena tidak ingin acara besok gagal. Ya... mungkin itu proyek pertamanya sebagai karyawan perusahaan ini. Meskipun cuek, dia juga perlu nilai plus untuk menghadap kedua orangtuanya.
"Baiklah. Baik. Aku turun. Aku akan makan banyak seperti yang kamu inginkan." Tubuhku beranjak keluar dari mobil dan bergegas masuk ke dalam outlet makanan tanpa menunggu Gara. Setelah masuk, kulihat suasana di dalam agak sepi. Pria ini memang menyukai suasana tenang. Dia tidak suka kebisingan.
Langkahku mengajak untuk menghampiri sebuah meja di sudut. Tanpa sadar aku juga memilih tempat yang kurang lebih sama seperti Gara. Tenang, tidak bising dan juga tidak mencolok. Meletakkan pantat di atas kursi bersamaan dengan tas yang ku taruh di sebelah.
Beberapa detik, Gara muncul mengikutiku. Tanpa ijinku dia memanggil pelayan untuk meminta menu. Setelah seorang pelayan datang membawa daftar menu, dia menyebutkan beberapa makanan.
"Pesanlah ..." ujarnya. Jadi dia hanya memesan untuk dirinya sendiri? "Aku tidak tahu pasti apa yang kakak sukai," ujarnya. Sebutan kakak ada lagi. Padahal saat memesan makan siang, dia sedikit banyak paham apa yang aku mau. Hei ... aku bukan berharap ingin di mengerti Gara bukan? Pikiranku juga semakin kacau.
Setelah mempelajari daftar menu, aku memesan 4 macam menu. Gara tidak terlihat terkejut melihat aku memesan banyak untuk diriku seorang. Mungkin menurutnya terserah mau makan seberapa, asal proyek promosi besok berhasil.
Suasana di antara kami hening. Hanya suara sendok, garpu dan piring yang beradu. Gara membiarkanku terhanyut dalam makanan. Tak terasa air mataku menetes lagi. Sial. Dengan cepat, ku hapus buliran air mata itu. Dampak kejadian tadi begitu dahsyat. Bahkan di depan umum. Di depan Garapun aku masih menangis.
Bagaimanapun Hanen adalah pria yang kucintai. Aku pasti merasakan getir yang tiada tara saat melihat laki-laki itu bercinta dengan perempuan lain.
Setelah berendam dalam air hangat, aku keluar dari kamar mandi. Kulihat ranjang Hanen masih kosong. Pria itu pasti tidak pulang. Jika melihat Kayla berada di sana, kemungkinan dia pulang dini hari atau bahkan tidak pulang.
Aku tidak lagi memusingkan itu. Lelah. Setelah makan banyak tadi aku benar-bebar pulas. Hingga akhirnya sekitar pukul sepuluh malam, aku terbangun.
Walaupun berkata aku tidak lagi memikirkannya, jelas aku masih menginginkan Hanen pulang. Bagaimanapun aku rindu akan pria yang menjadi suamiku walaupun palsu. Aku mendesah lelah. Mencoba mengabaikan tapi tidak bisa.
Kakiku berjalan turun menuju ruang tengah. Dimana ada mini bar disana. Tepat berada di bawah balkon kamarku. Tempat ini seringkali di pakai untuk berkumpul Hanen bersama teman-temannya. Dengan sedikit lemari pendingin yang sengaja di pasang samar. Tertanam pada dinding untuk menyimpan minuman beralkohol milik Hanen.
Aku tahu itu, hingga aku mengambilnya satu botol dan duduk di bar stole sendirian. Merenung. Meratapi nasib diri. Sungguh konyol. Mengapa aku begitu mudah teperdaya pria tampan itu. Kenapa aku tidak peka kalau dirinya berpura-pura?
Ku sesap minuman perlahan sambil menghela napas berat. Apakah aku akan terhindar dari sebuah cobaan hidup jika tidak bertemu Hanen? Itu juga tidak bisa di perkirakan. Tidak ada jaminan aku akan hidup bahagia jika bertemu orang lain.
Sepertinya Zia mencoba menikmati kesedihannya. Menikmati cobaan yang menerpa dirinya.
Tanganku menuangkan minuman dalam gelas lagi. Hhh .... "Aku ini mencintaimu Han ... " racaku. Sekali lagi air mataku jatuh ketika menyesap minuman di tangan.
Rara sepertinya sudah tertidur. Karena sejak tadi tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Aku masih duduk di mini bar milik keluarga meskipun waktu semakin merambah tengah malam. Sendiri. Tanpa siapapun menemani. Sebenarnya aku ingin pergi keluar, tapi itu tidak mungkin. Hanen sudah memutus aksesku untuk kemana-mana kecuali bekerja. Hanen tidak membiarkan hidupku bebas. ini bagai hidup dalam penjara yang mewah.
Minuman beralkohol di tanganku mulai terbiasa di lidah dan tenggorokan. Padahal dulu aku tidak menyentuh sama sekali minuman seperti ini. Namun sekarang minuman ini seperti jadi teman di kala sepi.
Malam ini di rumah sepi. Mungkin memang ada beberapa pegawai yang bekerja disini yang melayani putra pertama Laksana itu. Namun sekarang mereka pasti sudah tidur dengan lelap. Ini sudah larut malam. Jam 12 lebih.
Aku lelah tinggal dalam kamarnya. Toh, malam ini Hanen juga tidak akan pulang. Pria itu pasti bersenang-senang dengan yang lain. Perempuan lain. Bercumbu, berselancar di atas tubuh mereka. Seperti yang pernah dia lihat tadi di kantor.
Kalau saat pertama kali aku melihat itu, aku langsung menangis merasakan getir dan perih di hati melihatnya. Kali ini aku tampak lebih tenang. Ya, di temani minuman beralkohol di tangan, aku melewatkan malam ini yang terasa sepi, dingin dan memilukan. Bukan tenang, tetapi memaksa tenang.
Ada suara langkah orang di luar pintu ruang tengah ini. Hanen? Pria itu sudah pulang? Pintu terbuka. Aku menoleh. Bukan Hanen, tapi Gara adik iparku. Setelah mengantarku pulang, dia pergi keluar lagi rupanya.
"Apa yang kakak lakukan disini sendirian?" tanya pria yang sebenarnya berumur sama denganku itu terkejut.
"Tidak ada." Aku menjawab dengan asal. Gara diam.
"Kak Hanen tidak ada?" tanyanya.
"Tidak ada," Aku menyahuti Gara tanpa menoleh ke belakang.
"Jadi dia belum pulang?" Sebenarnya dia bukan bertanya. Lebih kepada bergumam. Bicara pada dirinya sendiri. Namun aku ingin menjawab.
"Dia tidak akan pulang." Aku mengatakan itu sambil menatap gelas di tanganku.
"Tidak pulang?" tanya Gara. Aku malas dan tidak menjawab. Rasanya sudah tidak perlu menjabarkan soal Hanen yang selalu bermain dengan wanita itu. Bibirku diam. Tiba-tiba Gara mengambil tempat duduk di sebelahku. Duduk di bar stole dengan santai.
"Bisakah aku duduk disini?" tanya Gara meminta ijin. Sebuah kesopanan terhadap kakak iparnya.
"Silakan." Aku tidak peduli. Sebelumnya Gara sudah mengambil botol minuman dan membawanya ke meja bar. Mereka terdiam lama tanpa ada obrolan. Larut dalam pikiran masing-masing. Tangan keduanya saling menuang minuman pada gelas sendiri-sendiri.
"Bisakah, malam ini kamu menemaniku?" tanyaku membuat Gara menoleh cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus berusaha
2022-07-25
0
Fery Lestari
disini aq justru mendukung yg sesat daripada tersakiti sendiri 😂😂
2021-12-03
0
Mimah Maryamah
zia...mulai membalas perilaku hanen ya
2021-10-04
0