Mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat duduk teman-teman Han.
"Wahh ... ini dia sang pengantinnya. Ayo beri mereka berdua tempat duduk. Pengantin tidak boleh lelah sekarang, karena masih banyak kegiatan hingga menjelang pagi," goda Juno yang langsung di respon riuh oleh yang lain.
Aku tersenyum tipis melihat kelakar mereka.
"Han, kamu sudah siap untuk menggempur nanti malam?" tanya seorang perempuan dengan nama Delia kalau tidak salah. Dia juga pasti anak orang kaya juga.
"Tentu saja. Aku sudah siapkan obat herbal dan sebagainya demi membuat istriku puas," jawab Han santai. Padahal cuping telingaku sedikit panas karena malu. Namun karena Han langsung merengkuh pinggangnya dan berbisik, "Aku siap sepenuhnya, Zia." Aku langsung luluh. Aku terbuai dengan bisikan pria yang tak lain adalah suamiku ini.
Lagi-lagi bibirku tersenyum menanggapi. Semua tawa dari mereka semua menjadi hambar. Tidak lagi membuatku harus merasa sangat malu. Kami pengantin baru, wajar pembicaraan mengarah ke sana.
"Sejak tadi aku belum memberimu selamat dengan sepenuh hati, Han," ucap seorang perempuan berwajah manis di kursi depan kami. Jika di ingat, dia satu-satunya perempuan yang tidak banyak tertawa. Hanya menyunggingkan senyumnya sedikit. Bola mataku memandangnya. Begitu juga yang lain. Semua perhatian tertuju pada dia.
"Memangnya kamu akan mengucapkan selamat seperti apa?" tanya Juno.
"Tentu dengan cara yang berbeda dengan yang lain." Perempuan itu berdiri. Lalu mendekat ke arah kami. "Selamat atas pernikahanmu, Hanen." Suara lembut nan indah meluncur dengan bagus dari bibirnya. Wanita itu merundukkan tubuhnya sambil mengulurkan tangannya. Dengan begitu, bagian tubuhnya mencuat karena model pakaianya yang terbuka.
Aku terkejut. Kepalaku menoleh ke samping ke arah suamiku. Dia terdiam. Namun tak lama kemudian ikut mengulurkan tangannya juga.
"Terima kasih Kayla." Senyuman terlukis begitu sempurna dengan wajah manisnya. Lalu dia menoleh padaku. Kembali tangannya terulur dengan luwes ke arahku.
"Selamat juga untukmu, Zia."
Dia tahu namaku. Siapa dia?
"Ya. Terima kasih. Aku belum tahu bahwa Hanen punya teman semanis kamu."
Bibir wanita itu tersenyum. Kali ini ada suatu rasa yang sangat sulit aku artikan. Senang karena aku memujinya? Tidak suka karena aku terdengar berbasa-basi? Senyum sinis karena itu memang seperti apa adanya? Ya, dia memang manis.
Juno memperhatikan. Ekor matanya lebih intens saat memerhatikan mereka berdua. Sambil sesekali meneguk minuman, Juno terlihat mengamati. Seperti sedang cemburu. Aku melihat ini tapi segera membuang pikiran itu karena tidak perlu menebak apa yang sedang di pikirkan Juno.
"Sepertinya aku harus pulang. Aku ada masih ada acara sebentar lagi. Penting." Wanita itu melihat arloji bergaya feminin di pergelangan tangannya.
"Sepenting apa acaramu, hingga harus meninggalkan pesta Hanen?" tanya Juno.
"Kenapa aku perlu memberitahumu? Kamu tidak perlu tahu," selanya. Walaupun tidak suka akan keingintahuan Juno, wanita itu tersenyum tipis.
"Tentu saja kau tidak perlu memberitahunya." Kali ini Hanen berbicara dengan nada jenaka. Bermaksud mengejek Juno yang ingin tahu. Wanita ini tersenyum pada Hanen karena membelanya.
"Memangnya kamu tidak ingin tahu?" tanya Juno setengah bercanda. Namun itu terdengar tidak indah di telingaku. Aku melirik Hanen.
"Kenapa aku perlu mencari tahu, bodoh!" maki Hanen sambil tergelak. Tangannya menarik bahuku untuk lebih mendekat.
"Ohh ... karena kamu akan melakukan hal lain yang lebih menyenangkan nanti malam?" tanya Juno sambil melirik aku.
"Tentu saja. Hahaha ..." Hanen tertawa. Di ikuti Juno yang juga ikut tertawa.
"Baiklah. Aku pergi dulu. Jika memungkinkan, takdir akan mempertemukan kita semua kembali. Bye. Aku pergi." Tubuh Kayla yang bagus melenggang pergi dari tempat pesta.
"Gila, si Kayla. Makin cantik aja dia." Juno berkomentar. Obrolan para pria.
"Kenapa kalian tidak pacaran saja," ucapku bermaksud ikut gabung dalam perbincangan mereka. Juno dan Hanen melihatku bersamaan. Aku sedikit terkejut dengan spontanitas mereka melihatku yang terlihat seperti janjian.
"Dia dan aku?" tanya Juno. Aku mengangguk.
"Tidak mungkin. Itu tidak mungkin, Zia." Juno terdengar seperti putus asa. Dia meneguk minumannya.
"Kenapa?" kejarku ingin tahu. Bukan karena ingin tahu atau hendak bergosip. Aku hanya mencoba membuat kita punya bahan obrolan. Karena Juno akan jadi temanku juga. Jika dia sobat Hanen, itu berarti dia juga akan sering muncul di kehidupanku.
Hanen mengambil gelas berisi minuman di atas meja.
Juno menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Dia sudah ada yang punya. Aku tidak berhak mengusiknya."
"Benarkah? Aku lihat dia datang sendirian ke pesta ini. Jadi mungkin saja dia memang sedang sendiri," kataku berkata secara logika.
"Ya. Mungkin saja kekasihnya tidak bisa datang ke pesta ini menemaninya, tapi aku tahu dia begitu mencintai kekasihnya itu." Hanen melihat sobatnya yang mengatakan itu dengan nada rendah. Terdengar sedih.
"Begitu ya ... Tentu saja perempuan semanis itu pasti sudah ada yang punya. Kamu pasti kecewa dia sudah tidak bisa di miliki."
"Sedikit, tapi aku masih punya banyak stok wanita jika aku ingin berkencan dengan mereka. Hanya saja ... saat ini aku masih belum ingin berkencan."
"Dia tidak butuh kencan. Dia hanya butuh uang, Zi." Hanen memberikan komentar.
"Itu benar. Hahaha ...." Juno tertawa dengan puas.
"Lihatlah, dia. Walaupun tidak punya kekasih, dia tetap bisa bahagia." Juno mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa. Aku tergelak pelan. Hanen membelai rambutku pelan dengan sayang.
"Kamu tidak lelah?" tanya Hanen.
"Sedikit. Namun aku bisa bertahan."
"Oke. Aku percaya."
Pesta usai tepat jam sepuluh malam. Mungkin lebih. Hanen berencana menggendongku dari pintu kamar hotel yang sudah di pesan menuju ranjang pengantin kami. Namun aku segera menolak karena pria itu nampak kelelahan.
"Lebih baik kita jalan bergandengan tangan saja," usulku. Hanen tergelak. "Aku kasihan melihatmu kelelahan."
"Kamu memang pengertian." Hanen menowel daguku. Lalu kita bersama-sama menuju ranjang pengantin yang sudah penuh dengan bunga. Sehingga seluruh ruangan beraroma manisnya bunga.
"Harum."
"Benar. Sengaja di buat harum untuk menemani malam kita berdua," bisik Hanen sambil menggigit lembut bahuku yang terbuka. Gigitan ini tentu tidak membuatku sakit, tapi justru rasa menyengat di sekujur tubuh.
Tiba-tiba ponsel Hanen berdering. Sontak aku menoleh. "Ponselmu berdering," ucapku memberitahu.
"Iya," jawab Hanen singkat. Namun pria ini membiarkannya. Aku yang awalnya berusaha biasa saja karena dia tidak mempedulikan suara dering itu, akhirnya terusik.
"Jika penting, angkat saja dulu," kataku sangat tidak masuk akal. Karena pasti orang-orang tahu bahwa saat ini Hanen tengah bersamaku. Istrinya. Dan pasti kita berdua sedang bergumul di atas ranjang karena ini malam pertama. Namun kalimat yang keluar dari bibirku justru itu. Aku dengan mudahnya mempersilakan kita di ganggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Christy Oeki
trus sukses
2022-07-25
0
Theresia Setyawati
aq sesek membaca part ini...
2021-11-30
0
Evi Yuliana
judulnya sesuai dng alur ceritanya thor blum apa2 sudah getir dan nyesek dada😥
2021-10-08
0