Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala dan mencebikkan bibir. Kami membersihkan kamar ini kembali. Tapi, apa yang harus dibersihkan? Aku bingung sendiri. Lantainya saja sudah berkilau bahkan bisa untuk berkaca. Semua furniture juga tidak ada debu.
Aku berjalan membuka tirai dan menatap pemandangan dari atas. Sungguh indah, betapa sempurnanya jika menjadi istri putra pemilik hotel ini. Oh Rey, sepertinya aku sudah sedikit tergoda dengan pangeran ini. Salah sendiri kamu meninggalkan aku sesuka hati.
"Heh malah ngelamun?" gertak Sisil.
Aku berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. "Terus kita harus ngapain? Ini kamar udah glowing bahkan wajahku dengan lantainya lebih glowing lantainya."
Aku merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Sisil menyusul dengan merebahkan dirinya juga. "Aku kalau jadi istri pangeran itu, bakalan betah dikunci tidur terus di tempat tidur ini," ucapku dengan menghembus napas gusar. Andai saja belum menikah dengan Rey, akan ku tebar pesona pada pangeran ini.
"Ngimpimu ketinggian Kinan! Bangun! Tugas kita ngehalu aja. Eh, tapi kamu udah punya suami gak usah ngehalu macam-macam dengan putra pemilik hotel ini," sindir Sisil.
Aku memiringkan tubuh dan menatapnya. "Kamu itu gak tau aja suamiku kayak gimana. Pengen pisah aja rasanya."
"Hus ...." Sisil duduk menatapku dengan wajah geram. "Gak boleh ngomong kayak gitu!"
"Dia itu ninggalin aku setelah malam pertama sampai sekarang gak ada kabar, bayangin deh sakitnya kayak gimana?" Ah, akhirnya yang ditahan-tahan bocor juga. Aku memejamkan mata. Harusnya memang tak ku jadikan bahan curhatan.
Sisil terlonjak kaget. "Wah suami kurang ajar itu." Aku mengangguk. Membolak-balikkan badan di tempat tidur ini membuatku sangat tenang. "Kinan, malam pertama itu sakit banget ya?"
Aku duduk dan menatapnya. Wajahnya begitu sangat penasaran. "Katanya sakit ya, tapi aku gak begitu kok. Soalnya suamiku itu ...." Aku tak mampu melanjutkan.
Rey itu tau banget cara mengalihkan rasa sakit lewat sentuhannya. Ah masak iya aku kasih tau Sisil? Tidak, cukup sampai disini bahas dia.
Aku menggelengkan kepala. "Suamimu kenapa?" tanya Sisil dengan mengerutkan dahi dalam. "Pipanya kecil ya? Makanya gak sakit."
"Eh jangan salah!" gertakku. Jangan-jangan Sisil berpikir punya Rey kayak buncis.
"Terus apa?"
"Pokoknya lebih sakit terbentur ujung meja, kalau menurutku. Gak tau ya kalau kamu. Tiap orang 'kan beda-beda," jawabku seraya beranjak dari tempat tidur mewah ini. Sisil terkekeh mendengarnya.
"Pasti dulu waktu di bangku sekolah sering terbentur ujung meja," godanya dengan berjalan mengikutiku keluar kamar mewah ini.
"Tau aja."
Kami tertawa keras bersama. Pekerjaan ini begitu memanjakanku. Aku berdo'a semoga saja terus diberi tugas membersihkan kamar putra pemilik hotel ini. Seperti makan gaji buta sambil berhalu ria menjadi istri orang kaya. Aku senyum-senyum sendiri membayangkannya.
Waktu istirahat makan siang telah selesai, katanya pangeran itu akan tiba. Wah aku sangat penasaran dia seperti apa. Sisil mengajakku mengendap-endap untuk melihat laki-laki yang katanya jadi bahan haluan para pekerja wanita yang ada disini.
Seperti apa tampannya? Sumpah demi Alex, jantungku kenapa berdegup-degup? Seperti malam pertama dengan Rey saja. Astaga kenapa aku masih mengingatnya lagi.
"Kita pura-pura bersihin lantai ini aja!" ajak Sisil. Perutku rasanya digelitik. Apa harus seperti ini juga mencuri pandang pangeran itu?
Kami celingukan seraya menahan tawa. Terlihat dari arah luar mobil mewah yang pintu otomatisnya terbuka. Semua menunduk sopan dan terdiam menyambutnya.
"Itu?" bisikku pelan pada Sisil. Dia mengangguk. Kami mengendap-endap lagi untuk lebih jelas menatapnya.
Sepatu pantofel hitam berkilau pemandangan pertama yang ku lihat. Lalu naik ke atas dan ... mataku membulat.
"Itu pangeran yang kamu maksud?" Aku bertanya kembali pada Sisil. Bukanya apa-apa. Tampan iya tapi kok seperti sudah berumur.
Sisil mengerutkan keningnya. "Lah itu pemilik hotel ini, alisan bokapnya."
Aku menghembuskan napas gusar. Sia-sia sudah perjuangan menegangkan yang tak ada hasil. "Ya udah ayo kita kerja lagi!" ajakku dengan wajah geram. Ini hanya membuang-buang waktu. Tapi, Bapaknya saja tampan gimana anaknya? Aku mencebikkan bibir. Jiwa penasaranku kembali meronta.
Saat aku berjalan meninggalkan Sisil, tiba-tiba dia memanggilku. "Eh Kinan, itu pangerannya!"
Aku penasaran, mendekatinya. "Mana?" tanyaku.
"Itu mobil hitam yang biasa dipakainya. Bentar lagi dia keluar."
Aku seperti tak asing dengan mobil itu. Kenapa mirip dengan mobil reptilia berkaki dua ya? Ah lagi-lagi aku memikirkannya.
"Woi ...." Mbak Susi berteriak sehingga membuat kami terlonjak. "Kalian lagi apa? Lihatin Pak Reyhan? Jangan mimpi, kalian itu bagaikan butiran debu di sepatunya. Kembali kerja!"
Aku mengernyit mendengar semua ocehannya. Benar-benar membuat panas di telinga. Aku menggandeng paksa Sisil dari tempat kami bersembunyi tadi.
"Ngeselin!" gerutuku.
"Iya, kita gak jadi lihat pangeran."
Aku mengangguk dan kami kembali bekerja dengan bibir mengerucut. Jiwa ini rasanya tak tenang, terus bergentayangan. Berharap bisa melupakan Rey dan berganti hati dengan pangeran pujaan.
"Kira-kira pangeran itu muncul lagi jam berapa Sil?"
Sisil menganggkat kedua bahunya. "Mana ku tau? Dia itu datang pergi kayak hantu. Kita beruntung hari ini bisa tau jadwal dia datang."
"Semoga besok kita bisa beruntung pas bersih-bersih lihat dia keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya dan kita ...."
"Aaaaaahhk ... ha ha ha." Kami berteriak bersama. Sumpah ini membuatku seperti orang gila. Isi otakku semakin tidak benar saja.
Keasyikan bekerja seraya bercanda tak terasa waktu pulang pun. Aku mengambil tas dan jaket di loker bersama Sisil. Tapi, ada sesuatu yang berbeda. "Kalung ... kalungku kok gak ada?" Mata ini melebar. Aku meraba-raba leher dan juga berharap jatuh di dalam baju. Tidak ada juga.
"Kok bisa?"
Satu jam lebih kami mencari kalung itu namun tak ketemu juga. Aku menggaruk kepala yang tak terasa gatal ini.
"Jangan-jangan terjatuh di kamar pangeran itu?"
"Hah ...!" Mulut Sisil ternganga.
Aku tertunduk lemas. Bagaimana ini? Bukan tentang harganya tapi, itu kalung kenang-kenangan pemberian Ayah.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mengambil seraya berjalan lesu keluar hotel bersama Sisil.
^^^Rey^^^
^^^Baby, lagi dimana? Aku pulang nih!^^^
"Dasar buaya buntung!" teriakku yang membuat Sisil terlonjak.
"Kamu kenapa?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku pulang dulu naik taksi aja ya!" pamitku pada Sisil. Sebenarnya aku tak ingin memberi pintu pada Rey. Tapi tangan ini rasanya tak sabar untuk memukulinya.
❤
❤
❤
❤
Yah penonton kecewa! 😭
Mari kita main kucing-kucingan dulu!
Kasih visual biar semangat nungguinnya.
❤
❤
❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Itu kan mobil Rey,,Duh aku jd deg degan nih,,,
2022-12-13
0
Mbah Pur Ngronggi
kok penasaran 🤭😂😂😂
2022-09-21
0
Arab Markonah
kirain nungging ternyata nungguin pas liatin visualnya 😁 salah baca si akoh.....
2022-09-19
0