Kami berdua memegang buku nikah yang diberikan oleh penghulu beberapa menit yang lalu. Ingin rasanya merobek-robek dan membuangnya. Suasana menjadi sepi. Para warga sepertinya sudah berpuas hati menikahkan kami.
Aku melirik laki-laki itu, dia pun juga melirikku. Dia mengulurkan tangannya. "Reyhan panggil aja Rey!" ketusnya.
"Kinan." Aku membalas uluran tangannya. Ini sangat konyol kami sudah sah menjadi suami istri malah baru berkenalan. Apa suami? Tidak, ini tidak boleh terjadi.
"Heh," Kami mengucap kata itu secara bersama. Kemudian terdiam membuang muka malu.
"Kamu aja dulu!" serunya dengan mulut mengerucut.
"Ini kelanjutannya gimana? Apa habis ini kita cerai saja?" usulku. Dalam hati sebenarnya tau perceraian adalah bukan hal yang baik. Tapi, mau bagaimana lagi?
"Apa?" Dia memundurkan kepalanya. "Eh, nikah itu jangan buat main-main! Itu prinsip hidupku!"
"Terus?" Aku bertanya, maunya dia apa? Aku sebenarnya juga tidak mau main-main dengan pernikahan.
Alisnya berpautan. "Aku sebenarnya belum pengen nikah."
"Eh umurmu udah 29 tahun."
Dia memicingkan matanya. "Aku tuh belum puas ...." Rey menghentikan ucapannya. "Eh," Dia kemudian menutup mulutnya.
Dahiku berkerut. "Belum puas apa?" Aku penasaran sekaligus ketakutan. Jangan-jangan laki-laki ini hidung belang? Sudah pastinya, buktinya tadi saja dia mesum.
"Belum puas pacaran. Udah ayo pulang!" Rey berdiri seolah mengalihkan pertanyaanku. Aku pun juga ingin buru-buru pulang ke rumah. "Tunggu aku ambil mobilku dulu?" pamitnya.
"Gak perlu kamu antar pulang. Aku jalan kaki aja. Rumahku gak jauh dari sini." Aku sedikit menolak. Walaupun sebenarnya lelah juga jalan kaki. Berharap dia memaksaku untuk mengizinkannya mengantar pulang.
"Eh, kita itu udah nikah." Dia menunjukan buku nikahnya seolah-olah mengingatkanku. "Jadi ya harus tinggal bersama!"
"APA?"
Aku menggelengkan kepala. Kenapa jadi seperti ini? Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku dan dia tinggal bersama? Yang ada dia akan berbuat mesum padaku.
Punggungnya semakin menjauh meninggalkanku. Aku duduk termenung menatap buku nikah ini.
Tin tin
Tak selang lama mobilnya berhenti tepat didepanku. "Masuk," teriaknya.
Aku tercengang. Mobil ini sangatlah mewah. Saat masuk kedalamnya aroma parfum mobilnya seperti menghipnotis. Baiklah, dia pasti orang kaya. Sudut bibir ini ku sunggingkan. Bukannya matre, tapi kali ini aku benar-benar butuh uang. Semoga Rey mau meminjamkan bahkan memberikan padaku sedikit hartanya.
"Kamu kerja dimana?" Aku sangat penasaran. Dari penampilannya yang memakai kemeja rapi, sepertinya dia CEO yang menjadi impian sebagian besar wanita.
"Aku gak kerja."
"Apa?" Mulutku ternganga. Tidak, pasti dia merendah. "Maksudnya, kamu bos gitu?" Dia terkekeh mendengarnya. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?
"Aku pengangguran."
"Pengangguran? Kok mobilmu bagus banget?"
"Ini mobil, pinjem saudara."
Aku menggaruk kepala, setengah tidak percaya.
"Kita pulang ke rumahmu ya? Aku gak punya rumah, disini cuma kos," pintanya dengan santai.
Aku menggelengkan kepala dan menatapnya. "Gak bisa, kita gak harus tinggal serumah juga 'kan?" tegasku yang terus menatapnya.
"Eh, kita itu udah nikah. Gak baik kalau gak seranjang."
"Maksudmu apa?" teriakku. Pikiranku sudah tak jernih lagi. Jangan-jangan dia menginginkan malam pertama bersamaku. "Eh, jangan macem-macem ya!" ancamku dengan menunjuk jari telunjuk padanya.
Dia hanya terkekeh seraya membuang muka. Tak lama kemudian dia melirikku. Kerah baju ini ku cengkram kuat. Kenapa jantung ini berdebar? Tatapannya membuat tingkahku tak karuan.
"Rumahmu masih jauh gak?"
"Perumahan depan." Dia mencebikkan bibirnya. "Aku tegasin ya, kamu jangan sampai menyentuhku!"
"Aku tak bisa jamin itu."
"Heh maksudmu apa?" teriakku.
Dia memundurkan kepalanya dan melototkan matanya. "Eh, aku tegasin juga ya! Kita ini udah nikah. Kalau pun kita nanti berpisah. Kamu akan jadi janda. Walaupun kamu masih perawan dan belum ku robek keperawananmu, tetep aja kamu disebutnya janda bukan perawan."
"Hati-hati ya kalau ngomong!" Aku benar-benar ngilu mendengar ucapannya.
"Emang kamu masih perawan?" Dia mengangkat kedua alisnya.
"Ya masihlah."
"Buktikan!"
Mulutku tenganga. "Maksudmu buktikan apa? Jangan macem-macem! Kamu pulang aja ke kosmu! Aku tidak sudi menampungmu." Dia melirikku seolah-olah tak terima. "Berhenti itu rumahku!"
Aku keluar dan membanting pintu mobilnya. Dia nekat memarkir mobilnya di carport rumahku.
"Kamu ngapain?" Aku mendorongnya kuat-kuat supaya pergi dari rumahku. Tapi seperti percuma, dia berjalan nekat menuju pintu.
"Cepat buka, aku capek banget mau tidur!"
Mulutku terbuka lebar dan berjalan menuju pintu itu seraya mengambil kunci yang berada di tasku. Dia terus menatapku tajam. Bahkan aku tak berani untuk membalasnya. Sebenarnya dia lumayan tampan, dengan mobil mewah yang dia pakai pastilah banyak wanita yang menginginkan.
Tidak, aku tidak boleh lengah. Aku memukul pelan kepalaku. "Kenapa lama banget? Buka dong!"
"Ih,"
Kleeek
Pintu rumahku terbuka. Bola matanya terus berkeliling di seluruh sudut rumahku yang tak tergolong besar ini.
"Kecil banget rumahmu?"
Apa kecil? Hei dia menghinaku, sedangkan dia sendiri tak mempunyai rumah dan menumpang disini. Tidak malukah dia akan itu?
"Ya udah pergi dari sini!" Aku menunjuk pintu luar. Dia mengernyit dan terus menatapku.
"Kamu mau dosa karena mengusir suamimu? Bisa-bisa jadi penghuni neraka."
"Heh jaga ucapanmu!" Kenapa aku tiba-tiba jadi takut? Bagaimana jika itu benar-benar terjadi?
"Mana kamarmu?"
Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Rumah ini memiliki dua kamar. Setidaknya kita tak tidur bersama untuk menjauhi hal-hal yang tak diinginkan. Sumpah, aku belum rela menikah dengan laki-laki tak jelas asal usulnya seperti dia.
Dia langsung berjalan celingukan mencari kamarku. Entah kenapa langkah kakinya langsung menuju ke kamar yang setiap hari ku tiduri.
Aku menarik tangannya. "Kamu tidur di kamar sebelah aja!"
"Gak boleh dong, kita itu suami istri masak harus pisah ranjang. Dosa tau gak?"
"Dosa kamu bilang? Apa kamu gak ngaca? Tadi kamu habis mesum digrebek warga, apa itu bukan dosa?" Aku tak habis pikir dengannya. Kenapa hanya ranjang yang menjadi alasannya. Dia hanya terkekeh kecil.
"Tadi aku khilaf, sekarang 'kan udah tobat."
Omong kosong apa itu? Dia berjalan semakin mendekati tempat tidur. Aku terus menarik paksa tangannya namun tenagaku tak sekuat tenaganya. Kenapa ini serasa percuma?
Dia langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidurku. Kedua telapak tangannya dia jadikan bantal. Dia tersenyum menyeringai padaku. Aku takut serta merinding.
"Kamu ngantuk juga? Sini tidur di sampingku!" Matanya melirik ke samping tubuhnya.
"Eh," Aku mengernyit. "Sampai kapan kamu tinggal disini?"
"Aku suamimu, ya kita tinggal bersama terus dong!"
"Enak aja, kamu tuh sebagai suami harusnya memberiku rumah. Ini malah kamu yang menumpang di rumah istri."
"Nanti kalau aku udah kerja, aku beliin rumah mewah buat kamu."
Aku mencebikkan bibir. "Bangun, mimpimu ketinggian! Kerja aja gak, beliin rumah."
"Eh kamu ngajakin bangun, bangun beneran nih." Matanya mengarahkanku ke celananya yang menggembung. Lagi-lagi dia tersenyum menyeringai.
Aku takut dan berlari ke luar kamar. Tiba-tiba aku merinding. Tak mampu membayangkan lebih jauh lagi hidup menjadi istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Susi Andriani
ku sukalah
2023-09-22
0
Sarah
🤣🤣🤣dinikahkan paksa lngsung dpt buku nikah,,,luhar bihasa nich othor ngehalunya🤣🤣
2023-05-15
0
Made Diant
seruuu
2023-01-12
0