Di Ujung Peluru 2 & 3 (Hati Sang Prajurit)

17. Om Rinto ngamuk ( 2 )

"Benahi dulu pakaianmu. Cepat ke pelaminan. Kasihan Anye sendirian disana"

"Iya Bang" Rinto segera membenahi penampilannya.

Satu persatu tamu undangan datang. Hingga tiba rekan seangkatan Rinto yang rusuh datang di barisan tamu paling terakhir. Mungkin mereka memang sengaja.

Karangan bunga segede gaban masuk ke gedung bertuliskan ' SELAMAT TINGGAL DUDA '. Ada lagi tulisan ' SELAMAT MENIKMATI DAUN MUDA PLUS ULATNYA ' dan ' MENUJU PUNCAK '

Sungguh geram dan malu Rinto dibuatnya. Belum lagi rekannya itu begitu celamitan dan urakan saat berkenalan dengan Anye membuat Rinto seperti kebakaran jenggot.

"Enak di lu tong.. dapat Anyelir. Seger beneerr.."

Kawan Rinto ada yang menyelipkan k****m, tissue ..., pil PC ke saku jasnya. Wajah Rinto sudah seperti traffic light di pinggir jalan.

"Itu apa Bang??" tanya Anye pada benda-benda yang diselipkan rekannya ke saku jas Rinto.

"Bukan apa-apa. Biasa.. laki" jawabnya santai padahal hatinya mengumpat tidak karuan.

...

Hari semakin malam. Akhirnya kehebohan itu pun usai. Rinto bersandar lelah di kursi pelaminan. Lelah hati, lelah pikiran.

"Abang capek? Anye ambilkan minum?" tanya Anye berusaha berbaik hati dan menekan emosi sebab ia tau suaminya sedang tidak enak hati.

"Iya, ambilkan tissue basah juga. Gerah sekali..!! Apa AC nya mati???" tanyanya kesal sambil membuka jasnya dengan kasar.

"Anye bantu Bang..!!" Anye masih menawari bantuan.

Rinto terpaku tidak menolak tawaran Anye saat dada gadis itu tepat di depan matanya. Ingin rasanya mengamuk karena pikirannya tidak bisa di ajak kerjasama. Rinto sedikit melirik, ada Seruni berjalan dari arah pintu menuju tempatnya saat ini.

"Ingat Bang. Aku lebih dewasa Bang" ucap Seruni pelan sambil menyelipkan tissue di tangan Rinto. Begitu kesalnya pria itu sampai tak sadar meremas tissue itu lalu membuangnya.

Rinto membuka kakinya lalu menarik paha Anye yang masih mematung memandangi punggung Seruni yang berlalu pergi. Anye berdiri di hadapan Rinto hingga posisi mereka tidak memiliki jarak selain pakaian yang membatasi.

"Abang hanya minta begini.. jangan menolak lagi"

"Iya Bang..!" jawab Anye.

Rinto terpejam di dada Anye. Daripada lelah berdiri, Anye bergeser duduk di pangkuan Rinto dan ia menyandarkan Rinto di dadanya agar lebih nyaman. Anye mengusap pipi Rinto, dalam hitungan detik.. Rinto terlihat tidur dengan nyaman tanpa mengingat inginnya untuk minum.

Anye bisa melihat ada bulir air mata yang menggenang di sudut mata Rinto, entah apa yang dirasakan suaminya saat ini. Tangan halus itu menghapusnya.

"Anye salah ya Bang? Maafin Anye ya..!! Anye belum berani" bisiknya di telinga Rinto.

"Kenapa suamimu?" tanya Rama yang melihat Rinto bermanja pada Anye tak melihat tempat dan waktu.

"Abang capek yah" jawab Anye sambil melepas high heels di kakinya dan mengambil salah satu tissue yang tercecer di lantai.

Tangan Anye membukanya lalu mengusapnya ke seluruh wajah Rinto. Nampak wajah suaminya itu lebih segar.

"Haduuhh.. tak tau tempat" gerutu Rama sambil meninggalkan Rinto dan Anye.

...

"Kamu lihat khan?? Aku lebih segalanya dari Rinto. Aku juga bisa kasih kamu perhatian seperti Rinto memperhatikan mu dulu. Sekarang dia sudah punya Anye. Lihat bagaimana cintanya Rinto sama Anye. Saat seperti ini saja dia masih sempat-sempatnya bermanja sama Anye" Hengky berusaha mengambil hati Seruni kembali.

"Abang janji?? Aku nggak suka kekurangan waktu dan perhatian. Aku nggak suka LDR. Nggak suka Abang lebih memperhatikan pekerjaan daripada aku. Aku nggak mau kalau aku bukan satu-satunya yang teristimewa"

"Janji sayang. Kita baikan ya?" ajak Hengky menunjukan jari kelingking pada Seruni.

"Iya Bang." Seruni pun menautkan kelingking nya di kelingking Hengky.

...

"Aduuuuhhh.. kenapa muka Abang tegang begini?? Kamu kasih apa dek????" Rinto terbangun saat merasakan wajahnya kaku dan terasa kram.

"Nggak pakai apa-apa Bang. Ya pakai tissue" jawab Anye dengan santai.

"Tissue apa? Coba Abang lihat..!!!" kata Rinto sambil memegangi wajahnya.

Anye pun segera menyerahkan tissue yang ia pakai tadi.

"Hmm.. Subhanallah.. pintarnya istri Abang" 'puji' Rinto menatap mata Anye dengan tajam.

"Itu pakainya nggak disitu cantiiikk" ucap Rinto dengan gemas.

Bang Arben sudah tertawa terkikik melihat Rinto kelabakan menggosok wajahnya dengan air hangat.

"Siap tegang menantang ya Rin" ledek Bang Arben tak tahan melihat wajah Rinto yang mungkin sulit di gerakan.

"Tegang sih tegang, mau di tabokin kemana Bang?" gerutu Rinto berwajah kesal.

"Iihh.. Abang.. marah terus. Anye mana tau kalau itu bukan tissue biasa" ucapnya sambil meninggalkan Rinto yang masih duduk di bangku pengantin.

"Ngambek tuh Rin. Kejar sana. Di peluk biar nggak ngambek lagi" saran Bang Arben.

"Hedeehh.. iya Bang" jawab Rinto.

...

"Dek.. buka..!! Masa Abang di kunci dari dalam??" protes Rinto karena Anye tidak kunjung membuka pintu ruang ganti.

"Abang di luar saja. Setiap kali selalu marah sama Anye. Lagipula tissue itu khan sama-sama basah. Apa masalah Abang sebenarnya?????"

Rinto menepuk dahinya.

Kamu ini dek.. pintar tapi lugu. Bagaimana Abang harus menjabarkan sifatmu ini. Asal tissue yang basah pun kamu sama ratakan.

"Yang bermasalah bukan tissue nya dek, tapi fungsinya. Kamu nggak tau fungsinya" ucap Rinto masih bersabar.

"Abang banyak alasan..!!"

"Buka dulu Abang jelaskan..!!!"

-_-_-_-

Perjalanan kembali ke rumah masih di warnai dengan wajah Anye yang bersungut kesal. Anye terlalu gengsi berdekatan dengan Rinto karena terlalu malu. Sedangkan Rinto menjaga jarak karena ia baru menjelaskan dengan gamblang fungsi tissue pembuat onar tersebut.

"Anye ke rumah ayah ya?" tanya Anye pada Rama.

"Eehh.. nggak bisa. Kamarmu sudah ayah jadikan gudang" kata Rama. Sebenarnya ia sangat tidak tega pada Anye. Tapi Rama pun juga harus belajar memahami. Anye kini telah bersuami dan ia harus rela Anye ikut bersama Rinto.

"Ayah kok tega sih??????" pekik Anye memekakkan telinga penumpang satu mobil.

"Anye.. Kalau kamu ikut ayah sama mama, Bang Rinto tidur sama siapa?" bujuk Mama Dinda.

"Biar di temani Kak Seruni. Bukannya tadi Kak Seruni menemui Abang??" kata Anyelir membuat semua mata tertuju padanya.

"Mungkin hanya kasih selamat saja" kata Mama Dinda mendinginkan suasana.

"Kalau Anye nggak bisa menyenangkan Abang, Kak Seruni yang akan menyenangkan Abang. Dia bilang begitu khan Bang????" tanya Anye seolah menghakimi Rinto.

"Huusshh" Papa Rama menghentikan ucapan Anye.

"Itu masalah rumah tangga kalian. Dan kamu Anye. Selesaikan dengan baik masalahmu, semampumu. Hargai suamimu..!!!!" tegur ayah Rama.

"Nanti Abang jelaskan di rumah dek..!!" kata Rinto menekan suaranya lebih rendah. Rinto sama sekali tidak menyangka ternyata Anye mendengar pembicaraan nya dengan Seruni.

-_-_-_-

Anye membanting pintu kamarnya dan masuk kedalam kamar dengan kesal.

"Kamu mau permalukan Abang di depan orang tuamu????" tegur Rinto saat mengikuti Anye masuk ke dalam kamar.

"Kenapa Abang nggak coba tegur ucapan kak Seruni? Apa Abang benar ingin dia yang menyenangkan Abang??" tanya Anye.

"Kamu sudah dengar semua omongan Abang sama dia khan? Kata Abang yang mana yang mengarahkan Abang nggak nolak dia?? Ngawur kamu...!!!"

" 'Ingat Bang.. aku lebih dewasa', itu nggak Abang balas" ucap Anye terus berteriak.

"Labil sekali kamu. Sikap seperti ini yang menunjukan kalau Seruni memang lebih dewasa" ucap Rinto tak kalah keras.

"Abang sudah tau kalau Anye memang labil dan kekanakan. Lalu kenapa Om-om seperti Abang mau menikahi bocah ingusan yang tidak dewasa dan hanya tau berteriak padahal di luar sana masih banyak gadis berpendidikan yang bisa Abang nikahi. Sekarang Abang ingatkan Anye tentang sikap Anye yang labil. Abang bandingkan Anye dengan wanita lain"

"Anyee.. Cukup.."

"Kalau dia memang lebih segalanya, kenapa nggak Abang nikahi saja Kak Seruni"

"Abang bilang cukup..!!"

"Anye nyesel nikah sama Abang..!!!!" teriaknya menggema di seluruh kamar.

braaakkk...

Rinto memukul sisi lemari pakaian dengan kuat. Dada Rinto sudah terasa panas. Tak tau kenapa sejak tadi rasanya sulit sekali meredakan amarahnya. Tangannya mengepal geram. Pikirannya buntu. Rinto memilih keluar karena ia tidak ingin emosinya malah akan menyakiti Anye.

Rinto berjalan baru sampai depan pintu, Anye melepas sepatunya lalu melemparnya hingga mengenai kepala Bang Rinto.

"Kenapa menghindar. Apa seorang om-om nggak berani lawan anak ingusan???" teriak Anye lebih kencang.

Rinto memejamkan matanya, menggigit bibirnya dengan gemas. Dalam hatinya terus beristighfar agar hatinya sendiri menjadi lunak.

"Pertanyaan bukan om-om berani lawan anak ingusan. Tapi berani nggak anak bau kencur ini di apa-apain sama Om Rinto"

Mata Rinto bagai terbakar.. ia melepas kaosnya dengan kasar dan mendekati Anye. Anye mundur teratur, merinding melihat tatapan mata suaminya. Di lepasnya ikat pinggang yang melingkar di pinggangnya.