"Kau lelaki berengsek yang pernah ku kenal Jeni ! ya Tuhan, belum cukupkah kau mempermainkanku ?"
Akupun, memakinya dengan nada tinggi. Melihatnya bersikap seperti itu, tidak memperlihatkan rasa sesal atas semua perbuatannya padaku. Malah dengan mudahnya, dia mengharapkan sebuah pelukan dariku sebagai ucapan salam pertemuan.
Kau salah besar, Jeni.
Kau telah pergi meninggalkanku begitu saja
tanpa kabar.
kini kau permainkan pekerjaanku.
Dengan mudahnya memindahkanku yang jelas-jelas kerjaku tidak sedikitpun dibutuhkan di sini.
"Lebih baik, kau kembalikan posisiku ke tempat semula ! Jangan, kau buat diriku semakin terlihat bodoh karena telah menjadi mainanmu." Dengan sinis,ku maki dirinya kembali.
Rasa marah, kesal bercampur kurasakan saat ini,. Dengan napas yang memburu, ku langkahkan kaki menuju pintu. Kuputuskan untuk keluar dari ruangan itu. Aku tidak ingin berteriak dan memakinya terus. Sebagai ungkapan amarah yang terpendam sejak lama padanya.
Jenipun kaget dengan reaksiku seperti itu. Alur cerita yang ia rangkai, proses pertemuannya denganku. Dan dianggapnya akan membuatku terkejut dan bahagia. Ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Diapun dengan cepat mengejarku, kemudian menarik salah satu lenganku, membuat langkahku terhenti.
"Maafkan aku, Frisilia! aku tidak bermaksud mempermainkanmu. "
"Lantas apa yang barusan kau lakukan ? apakah kau merasa itu bukan sebuah permainan?" Ucapku dengan kesal, akupun melepas paksa lenganku dari genggamannya.
"Aku hanya ingin memberi kejutan untukmu.Tidak lebih dari itu." Ucapnya pelan.
"Apa yang kau katakan barusan ? luar biasa sekali kau, Jeni.Tidak adakah, cara yang lebih baik untuk menemuiku? tidak merasa bersalahkah dirimu padaku ?" bentakku kembali masih bernada tinggi.
Jenipun hanya terdiam, memandangku dengan mata memerah.
"Jadi, kau tidak bisa menjawabnya? sudah kuduga. Aku dengar, kau sekarang telah menjadi seorang bos yang tegas dan hebat. Lantas, apakah pantas dirimu yang terkenal seperti itu berbuat seperti ini? aku muak, aku kesal dan aku ingin memakimu sampai kata-kata makian habis terucap padamu, Jeni ! Kau jahat, kau lelaki berengsek." Akupun memukul-mukul dadanya kuat sambil menangis.
Dia masih terdiam saja menerima amarahku.Pasrah, membiarkan tubuhnya dipukuli. Tubuhku ambruk terjatuh ke lantai, amarah yang terluapkan padanya membuat tenagaku seakan terkuras.
Jeni memelukku, akupun meronta-ronta menolak pelukkannya. Walaupun pada akhirnya, aku menyerah sambil menangis dipelukkannya. Diapun mengelus-elus punggungku.
"Maafkan aku, maafkan aku, Frisilia !" bisiknya pelan.
***
"Aku selama ini mencari keberadaan kalian. Namun, sepertinya ayahmu menutup akses bagi siapapun untuk mengetahui informasi, dimana kalian tinggal." Terangnya, sambil duduk menghadapku. Setelah acara marah dan tangis pasca diawal pertemuan kami.
"Ayah pantas melakukan itu. Setelah kau dengan sengaja menyakiti putrinya." Belaku.
Jenipun berdiri, kemudian ia duduk disampingku. Itu membuatku kaget dan canggung. Aku memang sudah mengenal dia sejak lama. Namun hari ini berbeda, untuk pertama kalinya ku berjumpa dengannya setelah 10 tahun terlewati. Jeni yang sekarang, tidak seperti Jeni yang dulu ku kenal. Dari penampilannya saja, dia sudah jauh berbeda. Sekarang, dia semakin terlihat gagah, tampan, dewasa dan lebih mempesona.
"Suatu hari, aku akan menjelaskan semuanya padamu. Dan aku berjanji, mulai saat ini takan mengulangi lagi perbuatan yang akan menyakitimu. " Jelasnya kembali dan menatapku tajam. Tatapannya sekali lagi membuatku merasa sangat canggung.
deg deg deg
Seketika jantungku dibuat berdetak lebih kencang. Kini ku rasakan lagi, debaran itu. Setelah sekian lama menghilang.
"Sudahlah, kita tidak perlu membahas masalah itu lagi! " tolakku, sambil membuang pandangan. Agar hal yang tak diinginkan tidak terjadi.Aku akan merasa malu, bila wajahku kembali memerah.
"Baiklah." Diapun mengangguk.
"Lantas. Apa tugasku sekarang, Jeni ?" tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan.
"Yah, menjadi sekertarisku. " Jawabnya sambil duduk santai.
"Lantas, sekertaris lelaki yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Siapa namanya aku lupa?"
"Farhan...."
"Iya benar dia. Apakah kau akan memecatnya? aku kasihan padanya. Jangan sampai dia membenciku karena kehilangan pekerjaannya akibat kehadiranku. Aku tidak mau memiliki musuh."
Jenipun tertawa.
"loh kau malah tertawa, apa ada yang lucu ?"
"Tidak !" jawabnya cepat, dia sepertinya tidak ingin kemarahanku kembali memuncak.
"Jangan-jangan ? Kau memindahkanku, hanya sebagai alasan agar aku bekerja di kantormu saja."
"Tepat sekali tebakanmu.Kau memang gadis pintar." Pujinya masih tetap duduk dengan santai.
"Kau sungguh-sungguh sudah membunuh kinerjaku yang telah kurintis beberapa tahun yang lalu, Jeni."
"Jangan khawatir ! disini kau masih bekerja sebagai sekertaris, Frisilia. Sebagai sekertaris pribadiku yang mengurus segala keperluanku. " Terangnya, dambil menatapku tajam. Mata itu terus saja membuat jantungku berdetak kencang.
"Apakah itu sama artinya aku akan seperti menjadi pembantumu, Jeni? ya Tuhan, kenapa kau tak biarkan saja aku bekerja dengan Pak Ardi. Posisiku lebih pada tempatnya, bila aku bekerja bersamanya." Protesku sambil cemberut.
"Apa maksudmu ?"
"Dengannya, aku bekerja sesuai dengan tugasku sebagai sekertaris. Tanpa melayani masalah pribadinya. Kami berinteraksi sebatas pekerjaan, hanya dikantor saja." Jelasku.
"Aku sudah memiliki Farhan yang melakukan pekerjaan itu." Jawabnya tetap santai.
" Jeni, kau benar berniat menjadikanku pembantu pribadimu hah ? Ini jauh sekali dengan yang aku duga." Protesku dan menghempas wajahku kesal.
"Aku mengenalmu sejak lama dan aku membutuhkanmu mengurusku."
"Tidak! Kau suruh wanitamu saja yang mengurusmu, Jeni! Aku dengar kau sudah bertunangan." Tolakku, mentah-mentah.
"Masih calon dan aku tidak mengizinkannya." Dengan tatapan menusuk memandangku kembali dan spontan ku telan air liurku.
"Kau sekarang terlihat aneh. Aah, apakah aku akan kuat berada disini?" Ocehku, sambil mengacak-ngacak rambutku.
Diapun hanya tertawa kecil melihat kelakuanku.
"Kalau boleh jujur. Aku lebih memilih menjadi pembantu Pak Ardi dibanding menjadi pembantumu. Dia lebih memilikki pribadi yang ceria, tak sedingin kamu. Banyak protes lagi." Terangku.
"Kau belum sehari memulai kerjamu. Tapi kau sudah membandingkanku dengannya."
"Coba kau fikirkan kembali Jeni ! Pak Ardi memiliki wajah yang tak kalah tampan darimu. Andai kau tak memindahkanku ke sini, mungkin ada peluang bagiku untuk lebih dekat dengannya." Terangku polos.
Jenipun dengan wajah cemberut berdiri menuju mejanya dan melonggarkan dasinya.
"Mejamu disana !" Ucapnya sambil menunjuk sebuah meja tanpa memperlihatkan wajahnya.
Akupun menoleh meja kosong yang terletak di sebelah kanan.
"Apa kita bekerja dalam satu ruangan? "
"Lantas kau ingin diruang depan dan merubah posisimu menjadi resepsionis? " jawabnya sedikit ketus.
"Baiklah. Walaupun akan terasa kurang nyaman bagiku, terus terang ini pertama kali bagiku. Bekerja dalam satu ruangan dengan my bos, tapi aku akan berusaha menjadi sekertaris terbaikmu." Gumamku dan berjalan menuju meja itu.
Akupun melangkah menuju meja itu. Walaupun bagiku hal yang tak biasa. Tapi ini sudah menjadi aturan dari dia sebagai atasanku, aku harus mau mengikutinya.
"Terimakasih. Kau telah menjalani hidupmu dengan baik." Ucapnya, sambil memandangku tajam.
Akupun membalasnya dengan senyuman.
"Kau masih memakai jepit itu. Kau terlihat makin cantik." Gumamnya masih berdiri dan memandangku.
"Aah, aku memakainya sebagai jepit keberuntunganku. Sekarang aku telah membuktikannya, dengan bertemu denganmu. Aku bertambah mempercayainya." Terangku, kemudian meraba jepit itu dengan malu-malu.
"Kaupun terlihat berbeda Jeni. Kau makin tampan dan berwibawa." Puji balikku.
Jenipun tersenyum senang. Kamipun saling pandang dan melempar senyum senang.
Oh Tuhan, cobaan apa lagi ini ?
Kau tampak tampan sekali Jeni.
Kau sekarang terlihat lebih dewasa.
Apa yang bisa aku lakukan untuk menahan perasaan ini?
Namun, aku tidak bisa berharap yang lebih.
Kau memiliki sesuatu yang jauh berbeda
tak mungkin dapat ku raih.
Benar, aku hanya bisa menjadi temanmu saja.
"Hallo, sayang. " Tiba-tiba pintu terbuka dan muncul seorang wanita dan membuat mata kami seketika tertuju padanya.
Diapun berhenti sesaat, raut bibirnya berubah marah. Setelah melihat kami saling tersenyum dan menatap. Kemudian, dia melihatku dengan tatapan sinis.
"Kau..... !" Jeritku histeris padanya. Aku jelas-jelas mengingatnya. Dia wanita Ferarri merah yang tidak tanggungjawab itu.
Mungkinkah dia tunangan Jeni ?
Ya Tuhan, ini tidak bisa ku percaya.
Wanita itu benar-benar terlihat sombong, angkuh dan egois.
Wanita itu menghampiri Jeni, tanpa memperdulikan kehadiranku dengan gayanya sok romantis meraih dasi Jeni yang tidak rapih.
"Sejak kapan kau tidak memperhatikan penampilanmu, sayang? " bisiknya menggoda.
Jenipun seketika salah tingkah dengan mata masih memandangku, akupun menunduk dan berpura-pura tidak melihatnya.
"Kau berhutang penjelasan padaku." Bisiknya kembali, mengulur waktu membenarkan dasi Jeni dengan sangat lambat dan perlahan.
"Maaf pak, saya permisi dulu." Pamitku, karena aku malas melihatnya.
"Jangan....!" tolak Jeni, dengan terburu.
Seketika wanita dihadapannya itu, membalikan badan, kemudian melihatku dengan tatapan tidak suka.
"Apakah benar dia sekertaris barumu ?" tanyanya dengan nada pelan.
Jenipun mengangguk.
"Tapi, tak biasanya kau menerima seorang sekertaris wanita?"
"Dia berbeda."
Dengan kaget, wanita itu berbalik memandang wajah Jeni.
"Dia sahabatku Elena."
"Aah, kau belum pernah menceritakannya." Elenapun melangkah mendekatiku dan memandangku dengan tatapan sinis.
"Sebagai calon tunangannya, aku perlu memperkenalkan diri. Kenalkan aku Elena." Diapun mengulurkan tangan kanannya.
"Frisilia." Jawabku singkat dan meraih tangannya.
Dengan cepat Elena melepas genggaman salam kami.
"Senang berkenalan denganmu. Aku harap kau bisa bekerjasama dengannya secara profesional." Terangnya kemudian melangkah kembali menghampiri Jeni.
"Kutunggu ditempat biasa, saat makan siang. Aku menunggu penjelasanmu." Bisiknya sambil membenarkan kembali kemeja dan dasi Jeni yang sudah tampak rapi.
Jenipun mengangguk dan Elenapun berjalan tanpa sedikitpun menoleh padaku.
"Maaf, atas sikap Elena." Terang Jeni, setelah wanita itu benar-benar lenyap dari ruangan kami.
"Sudahlah, tak perlu sungkan! Kita bertemu lagi disituasi yang berbeda. Akan banyak hal-hal yang baru buatku." Jelasku pelan dengan tersenyum ceria.
"Baiklah, aku akan memanggil Farhan untuk memberikan bimbingan tugasmu." Jenipun meraih telphon yang tergeletak dimejanya.
Akupun melihatnya sambil menghempaskan napas.
Malang sekali kau Jeni, wanita seperti itukah yang kau pilih menjadi kekasihmu ?
Oh Tuhan, ini tidak baik buatku.
Wanita itu sepertinya tidak senang dengan keberadaanku.
Bagaimana, cerita selanjutnya?
Apakah Elena bisa berdamai dengan Frisilia?
Habis baca, Jangan lupa like and votenya ya😊☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
frika
btw ini Novel bagus banget tapi kenapa yg like n baca kok masih dikit ya
2021-03-04
0
qυιиѕѕ♕мєиємвυѕ вts ωαктυ
kenpa ya merka tu gk mengungkapkn perasaan masing2???semakin seru ceritanya
2020-09-17
2
Triana R
likeeee
2020-08-18
0