Di sepanjang jalan menuju rumah Kakek Wijaya, Melody hanya berdiam diri, berkutik dengan pikirannya. Banyak pertanyaan muncul di benaknya. Rasa penasaran juga menghantui fikirannya. Ia merasa penasaran dengan siapa ia hendak menikah?
"Sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Bertemu dengan calon suamiku. Sial jantungku berdetak tak menentu. Tuhan, benarkah keputusan yang aku ambil ini? Akankah semua baik-baik saja? Aku mengharapkan semua tidak akan ada masalah ke depannya nanti."
Apakah laki-laki itu adalah sosok pangeran yang ia idamkan ataukah mungkin sebaliknya? Entahlah, pikirannya tidak bisa menerawang sejauh itu. Membayangkan wajah laki-laki itu saja ia tak sampai apalagi harus mendiskripsikan karakternya.
"Apaan ini lagi? Kenapa aku seperti ini? Pantas saja aku tak bisa tenang. Penampilan diriku sangat mengerikan! Sial, hari ini sangat buruk!"
Melody mengutuk dirinya yang selalu bangun kesiangan. Kenapa ia tidak bisa bangun lebih awal sehingga ia bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih dahulu? Rasa malas selalu saja memenangkan peperangan.
Berulang kali ia mencoba melawannya, tapi tetap saja ia tak mampu. Seperti saat ini, andai saja ia bangun lebih awal, ia bisa membersihkan dirinya lebih dahulu. Memalukan sekali dengan tampang lusuh harus bertemu calon mertua, kakek mertua, dan tentu saja calon tunangan.
Melody melihat dirinya sendiri, baju tidur lusuh, rambut acak-acakan macam singa, dan parahnya lagi, ia sama sekali belum mandi. Jika ia mencium dirinya, sudah dipastikan ia akan mencium bau asam dari tubuhnya.
Tapi ia cukup beruntung, pagi tadi ia sempat mengosok giginya dan cuci muka. Setidaknya mukanya masih terlihat berseri dan tidak kucel.
"Tuan, apa kau memiliki sisir rambut? Emm, rambutku sangat berantakan. Bisakah aku meminjamnya?" Tanya Melody hati-hati.
Aron meminjamkan Melody sisir rambut yang selalu ia bawa. Dengan cepat Melody merapikan rambutnya. Rambutnya yang panjang ia sisir, lalu ia melepas karet gelang yang ia pakai di tangan kirinya dan menggunakannya untuk mengikat kuda rambutnya, seperti biasanya. Tak lupa juga Melody merapikan baju tidurnya sehingga terlihat sedikir rapi.
Yah, tidak begitu banyak merubah bajunya, hanya saja jauh lebih baik daripada bajunya sebelum ia rapikan.
Melody memastikan dirinya, bertemu keluarga calon tunangannya dengan baju tidur dan rambut kuncir kuda.
Tambah satu lagi yang hampir membuat Melody ingin berteriak kesal pada dirinya sendiri. Kenapa ia bisa memakai sandal jepit? Berbeda warna kanan dan kirinya! Padahal, meski ia bukan orang kaya, tapi ia juga memiliki sepasang high heels.
"Dari semua hari yang ada, kenapa kecerobohan ini terjadi di hari ini? Hari dimana aku berkunjung ke kediaman calon suamiku. Huwa, aku tidak mau! Aku ingin pulang! Siapapun tolong aku!"
Melody kembali menggumam tidak jelas. Bagaimana ia bisa seceroboh itu? Bagaimana ia tidak menyadari jika sandal jepit yang ia pakai sebelah kiri miliknya dan sebelah kanan adalah milik ibunya?
Bukan hanya ceroboh, Melody juga menyadari jika dirinya benar-benar ceroboh dan bodoh. Berulang kali ia menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.
Tapi mau bagaimana lagi, semua itu tidak ada gunanya. Ia sudah sampai di depan rumah Kakek Wijaya. Harus siap bertemu dengan Kakek Wijaya dan calon tunangannya.
"Gila! Gerbangnya sangat tinggi! Apa ini sungguh di Tokyo? Ada halaman seluas ini di kota metropolitan yang serba dipenuhi beton! Kakek Wijaya pasti sangat kaya! Harga tralis besi pintu gerbangku mungkin lebih mahal dari rumahku. Aku tak menyangka akan memiliki pengalaman seperti ini..."
Melody dirundung kekaguman yang tak biasa. Perasaannya campur aduk. Ia sendiri tak bisa menilai maba yang lebih dominan.
"Nona, kita sudah sampai." Kata Aron.
"Ah? Oh, ya.."
Dengan helaan nafas panjang, Melody turun dari mobil. Pertama kali menapakan kaki di depan rumah Kakek Wijaya, Melody tersadar jika rumah Kakek Wijaya benar-benar besar dan mewah. Ini bukan rumah, lebih tepatnya bisa disebut sebagai istana.
"WAH.. Apa benar ini rumah kakek? Ini rumah atau istana? Benar-benar megah dan sangat besar. Banyak orang berpakaian jas hitam dengan dalaman kemeja putih. Apa mereka semua bodyguard? Penjaga? Pengawal? Seperti mafia-mafia yang aku tonton di televisi… Halaman rumah kakek juga sangat luas, ada tamannya dengan pancuran air di tengahnya. Ada patung-patung menghiasi taman rumah. Rumah kakek memang sangat besar, bahkan berlantai dua. Banyak lampu-lampu disana-sini.. Kira-kira kakek menghabiskan uang berapa untuk membayar semua ini? Kurasa gaji ibuku sebulan tidak akan cukup untuk sekedar membayar listrik rumah sebesar ini." Batin Melody terkagum-kagum saat hendak memasuki rumah Kakek Wijaya.
Tampang Melody yang tidak biasa mengundang perhatian dari semua pelayan rumah Kakek Wijaya yang melihatnya. Mereka berbisik-bisik tidak jelas, bahkan ada yang menahannya agar tidak tertawa.
Melody menyadarinya, ia merasa malu. "Kurasa menertawakan sandal jepitku yang berbeda warna ini? Haiiisshh, memalukan sekali. Dasar Melody ceroboh!" Batinya.
"Mari Nona, silahkan masuk! Tuan Besar sudah menunggu Nona di ruang tamu." Kata Aron membuyarkan lamunan Melody.
"Baik, Tuan Aron.."
Melody mengikuti langkah Aron menuju ruang tamu rumah Kakek Wijaya. Jalan menuju ruang tamu cukup jauh. Mungkin karena saking luasnya rumah Kakek Wijaya. Di dalam rumah itu, Melody juga melihat para pelayan wanita yang tengah sibuk membersihkan guci-guci mewah yang ada di rumah itu. Melody kembali terkagum-kagum.
"Guci kecil saja harganya sudah sangat mahal, ini banyak sekali jenis guci dari yang besar sampai yang kecil. Indah dan cantik. Bukankah itu guci buatan Cina? Yang itu dari Italy? Tu-tunggu, itu lukisan pelukis terkenal, kan? Karya Miura Sai? Aku pernah melihatnya di majalah. Bukankah itu satu-satunya di dunia? Dan ternyata lukisan itu dimiliki Kakek Wijaya? Haah, sepertinya rumah ini penuh dengan harta karun. Sugoiii." Batin Melody yang masih terperanga kagum dengan furniture di rumah Kakek Wijaya.
Sugoii: Hebat
"Melody…" Panggil Kakek Wijaya.
Mendengar namanya dipanggil, Melody menoleh ke arah sumber suara.
Ternyata yang memanggilnya adalah Kakek Wijaya yang tengah duduk di kursi mewah. Di sebelah Kakek Wijaya, Melody juga melihat seorang nenek, yang Melody yakini sebagai istri Kakek Wijaya. Di kursi lain seorang wanita anggun terlihat tengah menatap ke arahnya.
"Silahkan Nona!" Kata Aron dan pergi meninggalkan Melody karena merasa tugasnya sudah selesai.
Melody mati kutu.
Semua mata yang ada di ruang tamu itu menoleh kepadanya. Seperti mengintimidasi kedatangannya. Seperti melihatnya layaknya seonggok sampah yang tak dibutuhkan.
"Ini hanya perasaanku saja, kan? Kenapa mereka terlihat sangat menakutkan? Aku tidak akan dibunuh, kan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 407 Episodes
Comments
Yudhi Saprol
badai pasti berlallu..tetp smile mlody
2020-08-27
0
Riska Nurjamil
penasaran ama Visual sendal jepit nya hihihiii
2020-08-02
0
Kania Shuwail
mana visual sandal jepit nya ?😂😂😂😂
2020-07-16
0