Melody pergi ke rumah sakit untuk menjenguk kakek yang kemarin ia tolong. Ia ingin mengetahui bagaimana keadaan kakek itu. Ia berharap semakin membaik setelah operasi yang kakek itu jalani.
Melody berharap darah yang ia sumbangkan tidak sia-sia.
Setelah turun dari bus umum, Melody membeli sebuah parcel buah dengan berbagai macam buah sebagai isinya.
Dengan riang ia memasuki rumah sakit dimana kakek yang ia tolong kemarin dirawat. Di lorong rumah sakit terlihat banyak pasien berlalu lalang dengan berbagai kondisi.
Itu menyeramkan!
Kebanyakan dari pasien itu menderita luka parah seperti baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas. Banyak darah dan bau obat. Sangat anyir. Hal itu membuat Melody takut.
Melody benar-benar tidak menyukai rumah sakit.
"Apa rumah sakit selalu seperti ini? Ini menakutkan. Semoga mereka yang sakit lekas sembuh. Tidak ada orang-orang lagi yang merasakan kehilangan orang terkasih. Meski hidup akan meninggal suatu hari nanti, tapi sisi egois ini enggan terjadi. Yang diinginkan hanya akan selalu bersama selama-lamanya."
Ketika berjalan di lorong rumah sakit, Melody melihat beberapa orang tengah sibuk mendorong ranjang tidur dengan selimut menutupi keseluruhannya. Ia tahu apa artinya itu.
Kematian.
Tubuhnya gemetar hebat. Moment seperti ini pernah ia alami sebelumnya.
"Baru saja aku memanjatkan doa agar orang-orang tak kehilangan orang terkasihnya. Ini muncul tiba-tiba di hadapanku. Apa itu ayah dari anak kecil itu? Aku melihatnya menangis. Dia masih bisa berjalan tegar. Dia anak yang kuat. Tidak seperti diriku yang begitu rapuh menghadapinya. Aku bahkan butuh waktu yang lama untuk bangkit... Rumah sakit adalah tempat dimana bahagia dan luka bertemu."
.
.
.
Melody melanjutkan langkahnya menuju kamar dimana kakek yang ia tolong dirawat. Sesampainya di kamar itu, Melody mengetuk pintu dan masuk kamar inap setelah sebuah suara laki-laki mempersilahkannya.
Suara yang asing di telinga tentunya. Sangat berbeda dengan suara merintih yang semalam ia dengar.
Dengan kikuk, Melody menyapa kakek yang ia tolong kemarin.
"Ha..hallo kakek, se..selamat siang."
Sapa Melody.
Kakek tersenyum. "Apa kau Melody yang sudah menolongku kemarin malam?" Tanya Kakek.
"..." Melody hanya mengangguk dan membalas senyum kakek.
"Kakek benar-benar mengucapkan banyak terima kasih."
Suara si Kakek terdengar sangat tulus. Melody bisa merasakan ketulusan itu.
Inikah rasanya menolong orang yang di ambang kematian?
Melody sedikit menyesal karena sempat ingin mengabaikan si Kakek itu. Ia bukan manusia jika mengabaikannya. Ia akan berduka cita akan matinya rasa kemanusiaan dalam dirinya. Untung saja itu tidak terjadi. Hati nuraninya masih tinggal di dalam jiwanya.
"Tidak apa-apa, Kakek. Siapapun yang menemukan Kakek dalam keadaan seperti itu pasti akan menolong." Kata Melody.
"Kau anak yang baik. Ngomong-ngomong, kau masih sekolah? Kau nampak muda." Tanya Kakek.
"Ah, iya, saya seorang mahasiswa fakultas ekonomi, Kek." Jawab Melody.
"Hm, begitukah?"
"I-iya.."
Melody bercakap-cakap ringan dengan kakek itu. Kakek itu sering tersenyum saat mendengarkan cerita lucu yang Melody ceritakan. Saking lucunya cerita itu membuat kakek ingin tertawa. Tapi karena luka jahitan di perutnya belum kering, kakek harus berusaha keras menahan tawanya.
Melody merasa senang, meski kakek yang sedang bercengkrama dengannya adalah orang asing yang baru saja ia kenal.
Awalnya Melody menganggap kakek yang ditolongnya adalah orang yang galak karena terlihat jelas dari raut muka kakek yang begitu dingin, tapi saat ia bercanda-tawa dengan kakek itu, semua yang ia fikirkan tidak berlaku sama sekali.
Kakek yang ia tolong adalah sosok kakek yang sangat ramah dan hangat. Melody menyukai karakter kakek itu. Mereka banyak memiliki kecocokan.
"Aku tak menyangka jika kakek itu sangat baik. Padahal aku yakin, kakek ini bukanlah orang biasa. Dia memiliki gaya bahasa tak biasa dan berbicara hal-hal yang sangat tinggi. Apa dia tak bosan mendengarkan ocehanku yang garing dan tak jelas ini? Astaga, kenapa aku bisa lepas bicara seperti tadi? Haduhh, aku bahkan sok kenal dengan kakek. Hei, apa aku tak sadar jika aku baru saja berbicara dengan orang asing? Tapi di atas semua itu, aku merasa hariku ini membaik. Aku menikmatinya. Aku sangat senang. Terima kasih banyak, Kek.. Ini pengalaman pertamaku bersenda gurau dengan seorang kakek-kakek."
Melody berpikir jika mungkin seperti ini rasanya memiliki seorang kakek. Nyatanya, ia memang tak memiliki sosok kakek di dalam hidupnya. Dari dulu ia hanya hidup dengan ibunya setelah sang ayah meninggal. Ia memiliki seorang nenek yang juga sudah lebih awal meninggalkan keluarganya sebelum sang ayah.
Mengenai kakek kandungnya, Melody tidak pernah tahu soal itu. Apakah dia memilikinya atau tidak, ia tak paham itu. Jika memiliki pasti memiliki, hanya saja dari dulu ia tidak menyandingnya, ia tidak pernah melihat bagaimana rupa kakeknya, dan yang jelas, keluarganya tidak ada yang pernah membahasnya. Bahkan sang nenek sekalipun.
Melody juga tidak tahu apakah kakeknya masih hidup atau sudah meninggal. Tentu saja ia berharap jika sang kakek masih hidup. Itu jauh lebih baik, kan?
"Andai aku memiliki kakek dan bisa bertemu suatu saat nanti, maka mungkin akan menyenangkan. Aku akan mengajak kakek berjalan-jalan ke Tokyo Sky Tree dan makan ramen pedas bersama. Hanya dengan membayangkannya saja aku sudah bahagia."
.
.
.
Hampir dua jam Melody bercanda dengan kakek. Entah kenapa ia merasa sangat senang bisa mengenal sosok kakek yang ia ketahui sebagai Kakek Wijaya.
Kakek yang ia tolong mengenalkan dirinya sebagai kakek Wijaya.
Melody menghabiskan waktu dengan bahagia bersama kakek Wijaya.
Bahkan ia seperti merasakan kehangatan saat ia bersama kakek kandungnya sendiri. Ia juga tidak canggung saat Kakek Wijaya meminta memanggilnya dengan sebutan 'kakek'.
Hari ini seakan-akan menjadi hari keberuntungannya.
Setelah merasa cukup lama berbincang-bincang dengan Kakek Wijaya, akhirnya Melody harus mengakhiri bincang-bincangnya. Ia harus merelakan waktu untuk Kakek Wijaya istirahat.
Melody berpamitan pulang dengan Kakek Wijaya. Ada rasa belum puas terselip di rwlung hatinya. Nikmatnya seolah memiliki seorang kakek kandung harus pupus.
"Jenguklah kakek lain kali ya!" Kata Kakek Wijaya.
Melody menggembangkan senyumanya. Ini adalah harapannya. "Iya Kek, aku pasti akan kembali lagi untuk menjenguk Kakek!" Kata Melody semangat.
Kakek Wijaya tersenyum mendengarnya.
.
.
.
Setelah memastikan Melody keluar dari kamar inapnya, Kakek Wijaya memanggil pengawal setianya, sebut saja Hatake Aron.
"Tuan Besar memanggil saya?" Tanya Aron.
"Kau melihat gadis yang baru saja keluar dari sini?" Aron mengangguk. "Cari tahu siapa dia! Dimana dia tinggal dan bagaimana latar belakang keluarganya!" Perintah Kakek Wijaya.
"Baik Tuan Besar."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 407 Episodes
Comments
Thalia Tan
Simbah paling keren ya mbah wijaya 😂😂
2020-07-02
0
Dhea Amalia
Wowo.. simbahnya keren juga ini. Holang kaya mah tinggal nyurus smua beress
2020-06-18
1
Helmi Setiarini28
d sni
2020-06-02
0