Setalah hampir sepeminum teh kemudian, akhirnya para tokoh tersebut telah keluar dari bangunan tua bekas sarang para iblis itu. Masing-masing dari mereka memperlihatkan wajah yang cerah.
Sebuah pertanda bahwa orang-orang itu mendapatkan hasil yang membuatnya gembira. Selain itu, terlihat juga masing-masing dari mereka membawa satu kantong hitam cukup besar.
"Apakah kalian juga mendapatkan barang yang sama?" tanya Kakek Sakti Alis Tebal kepada Bidadari Tak Bersayap dan yang lainnya.
"Tentu saja. Aku sungguh tidak mengira bahwa mereka mempunyai harta sebanyak ini," kata Pendekar Belati Kembar.
"Mungkin ini juga hasil rampokan mereka. Sudahlah, lebih baik kita segera kembali saja ke Perguruan Tunggal Sadewo," ujar Tuan Santeno Tanuwijaya mengajak yang lainnya.
Mereka mengangguk setuju. Namun sebelum melangkah lebih jauh, tiba-tiba Bidadari Bersayap berkata kepada yang lain. "Tunggu, bagaimana dengan Kakang Pendekar Tanpa Nama dan Raja Tombak Emas?" tanyanya.
Pendekar Belati Kembar sedikit terkejut. Dia baru teringat akan dua tokoh lainnya.
"Benar juga apa yang dikatakan oleh Bidadari Tak Bersayap,"
Sementara itu, Kakek Sakti Alis Tebal melirik Tuan Santeno Tanuwijaya. "Kita duluan saja. Aku yakin mereka dapat mengetahui bahwa kita sudah pergi walaupun keduanya tidak di sini," ucap Tuan Santeno penuh percaya diri.
Dia percaya kepada Pendekar Tanpa Nama. Dia juga percaya kepada Raja Tombak Emas dari Utara. Karena orang tua itu tahu betul bahwa dua tokoh tersebut tidak akan mengecewakannya.
"Kalau kau sudah berkata seperti itu, aku hanya bisa mengikuti saja," tukas Kakek Sakti Alis Tebal.
Sebagai orang yang sudah berpengalaman dalam dunia persilatan, tentu saja kakek tua itu tahu siapa dan bagaimana Tuan Santeno Tanuwijaya. Sehingga setiap tutur katanya tidak ada yang diragukan.
Semuanya terpercaya. Seperti orang lain percaya kepadanya. Dan seperti dia percaya kepada orang lain.
"Baiklah kalau begitu. Aku juga hanya bisa menuruti perkataan paman sekalian," kata Bidadari Tak Bersayap.
Setelah itu, mereka segera pergi dari sana. Sebelum pergi, terlebih dahulu bangunan tua tersebut dihancurkan seperti perjanjian awal mereka.
Para anggota yang tersisa pergi sambil membawa rekan-rekan mereka yang telah gugur di medan pertempuran.
Sekarang keadaan di sana sepi sunyi. Tidak ada kegaduhan seperti sebelumnya. Yang ada hanyalah bangunan tua hancur dan mayat bergeletakan di mana-mana.
Di tempat lain, berbarengan dengan semua kejadian tadi, Pendekar Tanpa Nama sedang merenung di atas batu besar di pinggir sebuah tebing.
Dia tidak melakukan apapun di sana. Hanya sekedar untuk duduk, memandangi semua keindahan alam yang Tuhan sediakan untuk makhluknya. Atau sekedar menikmati keindahan rembulan dan bintang yang bertaburan di angkasa raya.
Terkadang seseorang yang sedang bersedih hanya perlu melakukan seperti halnya Pendekar Tanpa Nama. Mereka bukan butuh apa-apa. Hanya butuh waktu untuk sekedar menenangkan dirinya.
Semua kenangan bersama Ling Zhi mendadak terbayang kembali setelah tadi sempat melihat Dewi Anggrek Biru dan Nyai Tangan Racun Hati Suci.
Apa yang mereka alami, sangat persis dengan dirinya dahulu. Bedanya kalau dia sepasang kekasih, sedangkan Nyai Tangan Racun sepasang guru dan murid. Atau juga sepasang ibu dan anaknya.
Di saat seperti itu, Cakra Buana merasakan adanya desiran angin di belakang tubuh. Dia tidak perlu menengok, karena pemuda itu sudah mengetahui siapa yang datang.
"Kenapa paman kemari?" tanya Pendekar Tanpa Nama tanpa menoleh.
"Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tidak melarikan diri,"
"Kau tenang saja. Aku bukan pemuda pengecut. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri,"
"Karena kau mengingat satu kenangan pahit dalam hidupmu?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Raja Tombak Emas dari Utara lebih dahulu melangkah lalu duduk di pinggir Pendekar Tanpa Nama.
"Karena aku pernah merasakan apa yang kau rasakan. Aku pernah ada di posisimu saat muda dulu. Sehingga sedikit banyak, aku bisa tahu dan mengerti bagaimana keadaan orang-orang sepertimu,"
"Kau menangisi kepergian kekasihmu?"
"Bukan, tapi orang tuaku. Dulu kedua orang tuaku dibunuh. Dan aku menyaksikan sendiri pembunuhan itu,"
"Apa yang paman rasakan saat itu?"
"Tentu saja sakit hati. Sedih. Segala macam perasaan campur menjadi satu. Dasar bodoh," kata kakek tua itu sedikit membentak.
"Aih dasar kakek tua. Sudahlah, malas aku," ucap Cakra Buana sedikit jengkel.
"Hahaha, baiklah, baiklah. Aku serius. Aku dulu merasakan apa yang kalian rasakan. Sakit hati sudah tentu, kesedihan apalagi. Aku merasa tidak ada keinginan untuk melanjutkan hidup,"
"Lalu, kenapa kau bisa hidup sampai saat ini?"
"Karena seiring berjalannya waktu, aku mendapatkan pelajaran dari semua itu,"
"Apa?"
"Bahwa manusia pasti akan mati. Siapapun dia. Entah Raja, pedagang kecil, bahkan kau sendiri pasti akan mati. Namun sebenarnya bukan mati, tapi hanya berpindah alam. Di alam sana mereka tetap hidup, bahkan ada yang bisa menyaksikan kita yang masih ada di dunia fana ini. Karena alasan itulah aku berusaha untuk meniti hidup kembali. Aku belajar ilmu silat dengan keras, berjuang melawan kerasnya kehidupan. Hingga akhirnya sampai seperti ini,"
"Lanjutkan,"
"Kau harus bisa merelakan semua yang telah terjadi. Mereka tidak akan kembali lagi. Mau kau menangis mengeluarkan air mata darah sekalipun, mereka tidak akan kembali. Relakan yang telah pergi, serahkan semuanya kepada Sang Hyang Widhi. Sebab dia tahu mana yang terbaik untuk makhluknya,"
Cakra Buana terdiam. Dia tidak mampu menjawab pernyataan Raja Tombak Emas dari Utara. Sebab apa yang di ucapkan oleh kakek tua itu, semuanya benar.
Bagaimanapun juga, dia memang harus merelakan semua yang sudah terjadi. Karena yang telah terjadi, tidak akan bisa kembali lagi.
"Ada satu hal pasti yang tidak bisa di ulang dalam hidup ini,"
"Apa itu?"
"Waktu. Sesakti apapun dirimu, sehebat apapun kamu, kau tetap tidak akan bisa mengembalikan sang waktu. Karena itu, pergunakan waktumu sebaik mungkin supaya tidak menyesal di kemudian hari. Terkadang banyak sekali manusia yang menyesali perbuatannya di masa lalu karena telah menyia-nyiakan waktunya. Mereka ingin kembali, tapi sayangnya waktu tidak bisa di putar,"
"Kau benar paman. Sekarang aku menyadari semuanya. Yang telah pergi tidak akan kembali. Seperti halnya waktu yang tidak bisa di putar lagi. Terimakasih telah memberikanku pelajaran yang berharga," ucap Cakra Buana sambil tersenyum penuh rasa terimakasih.
"Jadi kau sudah paham?"
"Tentu saja,"
"Tak kusangka ternyata kau pintar," ejek kakek tua tersebut.
"Cih, dasar kakek tua,"
"Hahaha, anak muda sekarang mudah tersinggung. Kau jangan melupakan satu hal,"
"Apa itu?"
"Duel denganku. Kau harus selalu mengingat hal ini. Dulu kita pernah berjanji akan berduel. Kau bilang akan mewakili Giwangkara Baruga si Pendekar Pedang Kesetanan,"
"Tentu saja aku ingat. Kapan kita akan melakukannya?"
"Tiga hari kemudian setelah tiba di Perguruan Tunggal Sadewo,"
"Kita akan berduel di dekat makam Pendekar Pedang Kesetanan?"
"Benar. Supaya dia tahu bahwa ada seorang pendekar yang rela bertaruh nyawa demi dirinya," kata si kakek tua.
"Baik, aku tunggu saat itu,"
"Bagus. Sekarang kita segera kembali ke perguruan, sebab yang lain sudah lebih dulu,"
"Mari paman," ujar Cakra Buana lalu kemudian keduanya pergi dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 371 Episodes
Comments
Sudiwan 234
lanjut thor ceritanya makin seru aja tapi sebelum itu ngopi dulu thor biar semangat nulis cerita nya
2023-01-09
0
rajes salam lubis
lanjutkan
2022-07-10
1
Zaidan Alparo
semangat thor
2021-08-29
1