Pendekar Elang Putih 2
Saat Matahari mulai terbenam, cahaya jingga merona di ufuk barat. Kala itu, burung-burung liar terbang kembali ke sarang. Tinggal suara jangkrik yang bernyanyi menggantikan panasnya sengatan matahari.
Di satu perkampungan, Talang Tunggal, tidak jauh dari tepi sungai yang mengalir jernih. Terdengar sayup-sayup suara anak kecil belajar membaca. Berulang kali anak itu melakukan kesalahan, tapi sang ibu tidak putus asa untuk membimbing. Ketika sang anak sepuluh kali salah, maka ibu akan dua belas kali dalam meluruskan. Begitu dan terus begitu tanpa lelah, hingga akhirnya waktu yang ditetapkan untuk belajar telah selesai.
Suhita Prameswari, usianya sekarang sudah empat tahun. Tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas dan baik hati. Prameswari lebih cenderung suka membaca buku serta catatan pengobatan dibandingkan dengan belajar ilmu bela diri. Dia sepertinya lebih berbakat untuk jadi seorang tabib dari pada menjadi pendekar.
Bakat ayahnya menurun sebagai tabib. Apa pun itu, tentu ibunya (Puspita) akan selalu mendukungnya. Selama putrinya terus berbuat kebajikan, maka itu merupakan suatu anugerah.
"Ibu, mengapa ayah belum pulang?" tanya Prameswari dengan wajah polosnya.
Puspita tersenyum manis, menutupi rasa terkejut sekaligus gundah di hatinya.
Sudah dua pekan Mahesa tidak pulang ke rumah mereka. Ya, mungkin di Padepokan Api Suci ada hal mendesak yang harus dikerjakan. Karena janjinya hanya tiga hari. Puspita terpaksa terus membohongi putrinya. Dia mengatakan kalau ayahnya pergi berdagang ke tempat yang jauh. Belum saatnya untuk Prameswari tahu akan hal itu. Kalau sebenarnya dia punya saudara tiri, anak Mahesa dengan Dewi Api.
"Nanti, saat ayah pulang pasti bawa daging rusa yang banyak. Kita bisa makan sate sampai kenyang. Hita suka sate 'kan?" Puspita membopong tubuh putrinya. Sambil tertawa dia menimang sang buah hati.
"Iya, suka, Bu. Saya hanya takut Ayah terluka. Bukannya di perjalanan akan banyak hutan dan binatang buas ya, Bu?" ucap Prameswari polos.
Puspita Dewi tersenyum haru, dia hampir saja meneteskan air mata mendengar penuturan polos anaknya.
"Ayo, berdoa. Semoga Ayah dijauhkan dari segala jenis marabahaya. Hingga nanti bisa pulang dan mengajari Hita meracik obat," Puspita menyentil hidung Suhita Prameswari.
°°°
Di Padepokan Api Suci, Mahesa sedang menikmati hidangan yang disiapkan oleh istri pertamanya, Ayu Sundari atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Api.
Putra Mahesa dan Dewi Api bernama Raka Jaya Supena. Di usianya yang masih empat tahun ini dia bahkan telah mampu membuat lilin menyala. Kemampuan bawaan lahir yang dia punya sudah nampak sejak baru belajar berjalan. Saat itu, Dewi Api sedikit lengah. Saat dia sedang menyedu susu dengan air hangat, tanpa terlihat Raka memaksakan diri untuk berdiri dan melangkahkan. Kaki bayi itu masih sangat lemah, belum kuat menopang berat badan, hingga membuat tubuhnya limbung dan akhirnya jatuh ke lantai.
Kepala Raka terayun hendak menghantam kaki meja. Seperti ada yang mengajari, Raka menggunakan tangannya untuk melindungi keningnya agar terhindar dari benturan. Tidak di sangka, dari telapak tangan Raka Jaya mengeluh kobaran api yang langsung membakar hangus kaki meja tersebut. Membuat kening Raka Jaya terhindar dari benturan.
Tidak heran, mengingat latar belakang kedua orangtuanya. Ibunya, Dewi Api merupakan seorang pengendali api. Sejak kecil berlatih energi tenaga dalam dengan elemen api. Hingga besar dia mempelajari olah kanuragan tenaga dalam Inti Api. Sementara itu, Ayahnya juga memiliki kemampuan Tapak Naga Api yang tidak kalah hebatnya. Wajar saja, jika sejak usia dini bakat yang sangat menonjol dimiliki oleh Raka Jaya. Di hebat, benar-benar hebat.
"Ayah, bisa bawa aku jalan-jalan sebentar?" pinta Raka Jaya setelah mereka selesai makan.
Mahesa tersenyum, mengangguk, dan langsung membopong tubuh Putranya untuk pergi.
"Anakku, hari sudah hampir gelap. Kau mau pergi ke mana? Sudahlah, besok saja. Biar nanti Ibu yang temani," ucap Dewi Api pada Putranya. Seolah memberikan isyarat agar mereka tidak jadi pergi.
"Ibu, kami hanya sebentar. Di depan sana!" jawab Raka Jaya sambil terus memaksa Ayahnya untuk pergi.
Mahesa melirik pada istrinya. Wajah Dewi Api terlihat tidak begitu senang mendapati anaknya digendong orang. Padahal, oleh ayahnya sendiri.
"Iya, iya. Ayo, kita berangkat sekarang," Mahesa segera membawa anak laki-lakinya menikmati senja.
"Ayah, kata ibu kau adalah seorang pendekar besar, kemampuanmu tak seorang pun yang bisa menandingi. Saat besar nanti, aku ingin seperti ayah. Menjadi seorang pendekar pembasmi kejahatan," ujar Raka Jaya penuh semangat.
"Ah, ibumu terlalu memuji. Ayahmu ini cuma orang biasa. Hehehe ... ayah sangat bangga pada cita-citamu, Nak. Tapi ingat, ilmu kanuragan itu hanya digunakan untuk membela diri, melindungi hal yang berharga, bukannya untuk dipamerkan agar orang-orang memuji, itu salah," Mahesa mencivm kening Raka Jaya.
"Lalu, kapan ayah akan mulai mengajarkan aku ilmu bela diri? Aku sudah tidak sabar, ayah," Raka Jaya begitu bersemangat. Rupanya, maksud mengajak ayahnya jalan-jalan ialah untuk meminta hal itu. Raka ingin ayahnya segera mengajari kemampuan ilmu bela diri. Semangatnya begitu menggebu, nampak dari sorot matanya yang tajam.
"Iya, ayah pasti ajarkan anak ayah kemampuan beladiri yang tak tertandingi, ayah janji," ucap Mahesa menenangkan.
"Horeee !!!" Raka Jaya bersorak gembira.
Cukup lama mereka pergi bermain. Hingga matahari benar-benar terbenam, Mahesa beserta putranya belum juga kembali. Dewi Api begitu resah menunggu di beranda rumah.
"Dibawa ke mana putraku? Sialan itu, sungguh tidak tahu diri. Awas saja, jika terjadi sesuatu, akan aku celakai juga anaknya," Dewi Api mengepalkan tangannya. Wajahnya menyala merah penuh kekesalan.
"Ah, Nyonya. Itu Tuan dan Tuan Muda sudah kembali," ujar Mbok Sinem. Pengasuh Raka Jaya.
"Sudah tau!" jawab Dewi Api singkat. Dia segera berdiri, dan berjalan menyambut. Mbok Sinem mengikuti di belakang.
"Sudah gelap, mengapa baru pulang? Apa kalian tidak tahu, waktu mandi sudah lewat!" sambut Dewi Api dengan masam.
"Ayah, aku mandi dulu, ya," Raka Jaya buru-buru turun dari gendongan Ayahnya. Setelah memberi salam hormat pada sang Ibu, Raka Jaya di bawa Mbok Sinem ke belakang untuk mandi dan berganti pakaian.
Sementara, Dewi Api masih menunggu Putranya benar-benar telah jauh barulah jari telunjuknya menunjuk lurus pada Mahesa. "Jika saja terjadi sesuatu pada Anakku tadi, kau tidak akan aku ampuni."
"Hei, aku ini Ayahnya. Mana mungkin aku akan biarkan Anakku terlalu. Kau jangan bicara sembarang," dengan pelan-pelan, Mahesa menurunkan jari telunjuk Dewi Api yang teracung ke arahnya.
Dewi Api menarik tangannya. Disertai satu dengkusan kasar, dia segera berbalik badan meninggalkan Mahesa yang masih berdiri sambil menggelengkan kepala. Mahesa tahu, Dewi Api kesal karena besok Mahesa akan kembali ke tempat Puspita. Dan, sebagai seorang istri tentu sebenarnya Dewi Api tidak menginginkan hal itu. Dia benci harus membiarkan Mahesa juga mengurusi istri keduanya.
°°°
Yaatt! Yaatt! Yaatt!
Tangan kecil seorang bocah bergerak dan terus menerus memukuli pohon pisang. Bocah itu belum berhenti dan tidak akan berhenti sebelum pohon pisang yang tumbang. Tangannya memang masih kecil, pukulannya pun amat lemah, tapi semangat juang yang ditunjukkan sang bocah sangat luar biasa. Bahkan akan jarang di temukan seorang bocah bermental baja seperti itu.
"Tuuhh 'kan sakit?! Makanya dengar apa nasehat Nenek. Untung saja, kau tidak terluka," dengan penuh kasih, sang nenek membalut luka pada kepalan tangan si bocah nakal.
Namanya Danur Cakra Prabaskara saudara kembar Suhita Prameswari. Sejak berusia dua tahun, Danur Cakra tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Sifatnya sangat keras dan penuh ambisi. Tidak seperti kembarannya, Cakra justru begitu terobsesi pada olah kanuragan. Siang dan malam dia terus berlatih, memperagakan setiap jurus yang dia lihat saat Kakeknya berolahraga.
"Nek, Cakra ingin seperti Kakek yang begitu kuat meski sudah tua. Menjadi seorang pendekar tak terkalahkan seperti Ayah yang namanya dikenal oleh semua orang. Cakra ingin semua orang mengetahui, kalau aku ini adalah Danur Cakra Prabaskara putra Pendekar Elang Putih, cucu dari Raditya dan Rengganis. Hahaha! Kalau aku kuat, mereka pasti tidak akan meremehkan aku! Akan ku pukul siapa pun yang berbuat macam-macam!" Danur Cakra berdiri di atas meja sambil berkacak pinggang. Dengan mimik wajah dibuat-buat menyeramkan layaknya seorang pendekar besar, bocah itu kemudian menepuk dada.
Tidak bisa memberikan komentar, Rengganis hanya menghela napas panjang menyaksikannya pola tingkah cucunya yang satu ini. Sangat berbeda dengan dua orang cucunya yang lain. Danur Cakra nampaknya berdarah dingin dan sangat teguh pada pendirian. Dia selalu menginginkan sesuatu yang lebih. Hidupnya melangkah dalam tujuan yang maha besar.
Dari sorot matanya saja, sudah terlihat jelas jika Danur Cakra merupakan seorang yang sangat ambisius.
_____________
Nama anak Pendekar Elang Putih (Mahesa)
Dari Dewi Api yakni Raka Jaya Supena.
Dari Puspita Dewi yakni Suhita Prameswari dan Danur Cakra Prabaskara.
Ketiganya berada di tempat yang terpisah, juga dengan bakat dan ambisi yang berbeda. Mungkinkah tiga saudara tersebut bisa bersatu atau justru bertolak belakang?
_____________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Mr.Raf Zikry
Banyak juga bininya😅
keknya salah masuk harusnya baca yang awal dulu biar paham next berikutnya
2024-05-20
5
Thomas Andreas
awal mula lanjutan
2022-04-02
1
Hiatus
kalo anak saudara tiri itu, beda ibu atau beda bapak nya, lha inikan bapaknya sama you wkwkwk
2021-11-04
2