Saat Matahari mulai terbenam, cahaya jingga merona di ufuk barat. Kala itu, burung-burung liar terbang kembali ke sarang. Tinggal suara jangkrik yang bernyanyi menggantikan panasnya sengatan matahari.
Di satu perkampungan, Talang Tunggal, tidak jauh dari tepi sungai yang mengalir jernih. Terdengar sayup-sayup suara anak kecil belajar membaca. Berulang kali anak itu melakukan kesalahan, tapi sang ibu tidak putus asa untuk membimbing. Ketika sang anak sepuluh kali salah, maka ibu akan dua belas kali dalam meluruskan. Begitu dan terus begitu tanpa lelah, hingga akhirnya waktu yang ditetapkan untuk belajar telah selesai.
Suhita Prameswari, usianya sekarang sudah empat tahun. Tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas dan baik hati. Prameswari lebih cenderung suka membaca buku serta catatan pengobatan dibandingkan dengan belajar ilmu bela diri. Dia sepertinya lebih berbakat untuk jadi seorang tabib dari pada menjadi pendekar.
Bakat ayahnya menurun sebagai tabib. Apa pun itu, tentu ibunya (Puspita) akan selalu mendukungnya. Selama putrinya terus berbuat kebajikan, maka itu merupakan suatu anugerah.
"Ibu, mengapa ayah belum pulang?" tanya Prameswari dengan wajah polosnya.
Puspita tersenyum manis, menutupi rasa terkejut sekaligus gundah di hatinya.
Sudah dua pekan Mahesa tidak pulang ke rumah mereka. Ya, mungkin di Padepokan Api Suci ada hal mendesak yang harus dikerjakan. Karena janjinya hanya tiga hari. Puspita terpaksa terus membohongi putrinya. Dia mengatakan kalau ayahnya pergi berdagang ke tempat yang jauh. Belum saatnya untuk Prameswari tahu akan hal itu. Kalau sebenarnya dia punya saudara tiri, anak Mahesa dengan Dewi Api.
"Nanti, saat ayah pulang pasti bawa daging rusa yang banyak. Kita bisa makan sate sampai kenyang. Hita suka sate 'kan?" Puspita membopong tubuh putrinya. Sambil tertawa dia menimang sang buah hati.
"Iya, suka, Bu. Saya hanya takut Ayah terluka. Bukannya di perjalanan akan banyak hutan dan binatang buas ya, Bu?" ucap Prameswari polos.
Puspita Dewi tersenyum haru, dia hampir saja meneteskan air mata mendengar penuturan polos anaknya.
"Ayo, berdoa. Semoga Ayah dijauhkan dari segala jenis marabahaya. Hingga nanti bisa pulang dan mengajari Hita meracik obat," Puspita menyentil hidung Suhita Prameswari.
°°°
Di Padepokan Api Suci, Mahesa sedang menikmati hidangan yang disiapkan oleh istri pertamanya, Ayu Sundari atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Api.
Putra Mahesa dan Dewi Api bernama Raka Jaya Supena. Di usianya yang masih empat tahun ini dia bahkan telah mampu membuat lilin menyala. Kemampuan bawaan lahir yang dia punya sudah nampak sejak baru belajar berjalan. Saat itu, Dewi Api sedikit lengah. Saat dia sedang menyedu susu dengan air hangat, tanpa terlihat Raka memaksakan diri untuk berdiri dan melangkahkan. Kaki bayi itu masih sangat lemah, belum kuat menopang berat badan, hingga membuat tubuhnya limbung dan akhirnya jatuh ke lantai.
Kepala Raka terayun hendak menghantam kaki meja. Seperti ada yang mengajari, Raka menggunakan tangannya untuk melindungi keningnya agar terhindar dari benturan. Tidak di sangka, dari telapak tangan Raka Jaya mengeluh kobaran api yang langsung membakar hangus kaki meja tersebut. Membuat kening Raka Jaya terhindar dari benturan.
Tidak heran, mengingat latar belakang kedua orangtuanya. Ibunya, Dewi Api merupakan seorang pengendali api. Sejak kecil berlatih energi tenaga dalam dengan elemen api. Hingga besar dia mempelajari olah kanuragan tenaga dalam Inti Api. Sementara itu, Ayahnya juga memiliki kemampuan Tapak Naga Api yang tidak kalah hebatnya. Wajar saja, jika sejak usia dini bakat yang sangat menonjol dimiliki oleh Raka Jaya. Di hebat, benar-benar hebat.
"Ayah, bisa bawa aku jalan-jalan sebentar?" pinta Raka Jaya setelah mereka selesai makan.
Mahesa tersenyum, mengangguk, dan langsung membopong tubuh Putranya untuk pergi.
"Anakku, hari sudah hampir gelap. Kau mau pergi ke mana? Sudahlah, besok saja. Biar nanti Ibu yang temani," ucap Dewi Api pada Putranya. Seolah memberikan isyarat agar mereka tidak jadi pergi.
"Ibu, kami hanya sebentar. Di depan sana!" jawab Raka Jaya sambil terus memaksa Ayahnya untuk pergi.
Mahesa melirik pada istrinya. Wajah Dewi Api terlihat tidak begitu senang mendapati anaknya digendong orang. Padahal, oleh ayahnya sendiri.
"Iya, iya. Ayo, kita berangkat sekarang," Mahesa segera membawa anak laki-lakinya menikmati senja.
"Ayah, kata ibu kau adalah seorang pendekar besar, kemampuanmu tak seorang pun yang bisa menandingi. Saat besar nanti, aku ingin seperti ayah. Menjadi seorang pendekar pembasmi kejahatan," ujar Raka Jaya penuh semangat.
"Ah, ibumu terlalu memuji. Ayahmu ini cuma orang biasa. Hehehe ... ayah sangat bangga pada cita-citamu, Nak. Tapi ingat, ilmu kanuragan itu hanya digunakan untuk membela diri, melindungi hal yang berharga, bukannya untuk dipamerkan agar orang-orang memuji, itu salah," Mahesa mencivm kening Raka Jaya.
"Lalu, kapan ayah akan mulai mengajarkan aku ilmu bela diri? Aku sudah tidak sabar, ayah," Raka Jaya begitu bersemangat. Rupanya, maksud mengajak ayahnya jalan-jalan ialah untuk meminta hal itu. Raka ingin ayahnya segera mengajari kemampuan ilmu bela diri. Semangatnya begitu menggebu, nampak dari sorot matanya yang tajam.
"Iya, ayah pasti ajarkan anak ayah kemampuan beladiri yang tak tertandingi, ayah janji," ucap Mahesa menenangkan.
"Horeee !!!" Raka Jaya bersorak gembira.
Cukup lama mereka pergi bermain. Hingga matahari benar-benar terbenam, Mahesa beserta putranya belum juga kembali. Dewi Api begitu resah menunggu di beranda rumah.
"Dibawa ke mana putraku? Sialan itu, sungguh tidak tahu diri. Awas saja, jika terjadi sesuatu, akan aku celakai juga anaknya," Dewi Api mengepalkan tangannya. Wajahnya menyala merah penuh kekesalan.
"Ah, Nyonya. Itu Tuan dan Tuan Muda sudah kembali," ujar Mbok Sinem. Pengasuh Raka Jaya.
"Sudah tau!" jawab Dewi Api singkat. Dia segera berdiri, dan berjalan menyambut. Mbok Sinem mengikuti di belakang.
"Sudah gelap, mengapa baru pulang? Apa kalian tidak tahu, waktu mandi sudah lewat!" sambut Dewi Api dengan masam.
"Ayah, aku mandi dulu, ya," Raka Jaya buru-buru turun dari gendongan Ayahnya. Setelah memberi salam hormat pada sang Ibu, Raka Jaya di bawa Mbok Sinem ke belakang untuk mandi dan berganti pakaian.
Sementara, Dewi Api masih menunggu Putranya benar-benar telah jauh barulah jari telunjuknya menunjuk lurus pada Mahesa. "Jika saja terjadi sesuatu pada Anakku tadi, kau tidak akan aku ampuni."
"Hei, aku ini Ayahnya. Mana mungkin aku akan biarkan Anakku terlalu. Kau jangan bicara sembarang," dengan pelan-pelan, Mahesa menurunkan jari telunjuk Dewi Api yang teracung ke arahnya.
Dewi Api menarik tangannya. Disertai satu dengkusan kasar, dia segera berbalik badan meninggalkan Mahesa yang masih berdiri sambil menggelengkan kepala. Mahesa tahu, Dewi Api kesal karena besok Mahesa akan kembali ke tempat Puspita. Dan, sebagai seorang istri tentu sebenarnya Dewi Api tidak menginginkan hal itu. Dia benci harus membiarkan Mahesa juga mengurusi istri keduanya.
°°°
Yaatt! Yaatt! Yaatt!
Tangan kecil seorang bocah bergerak dan terus menerus memukuli pohon pisang. Bocah itu belum berhenti dan tidak akan berhenti sebelum pohon pisang yang tumbang. Tangannya memang masih kecil, pukulannya pun amat lemah, tapi semangat juang yang ditunjukkan sang bocah sangat luar biasa. Bahkan akan jarang di temukan seorang bocah bermental baja seperti itu.
"Tuuhh 'kan sakit?! Makanya dengar apa nasehat Nenek. Untung saja, kau tidak terluka," dengan penuh kasih, sang nenek membalut luka pada kepalan tangan si bocah nakal.
Namanya Danur Cakra Prabaskara saudara kembar Suhita Prameswari. Sejak berusia dua tahun, Danur Cakra tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Sifatnya sangat keras dan penuh ambisi. Tidak seperti kembarannya, Cakra justru begitu terobsesi pada olah kanuragan. Siang dan malam dia terus berlatih, memperagakan setiap jurus yang dia lihat saat Kakeknya berolahraga.
"Nek, Cakra ingin seperti Kakek yang begitu kuat meski sudah tua. Menjadi seorang pendekar tak terkalahkan seperti Ayah yang namanya dikenal oleh semua orang. Cakra ingin semua orang mengetahui, kalau aku ini adalah Danur Cakra Prabaskara putra Pendekar Elang Putih, cucu dari Raditya dan Rengganis. Hahaha! Kalau aku kuat, mereka pasti tidak akan meremehkan aku! Akan ku pukul siapa pun yang berbuat macam-macam!" Danur Cakra berdiri di atas meja sambil berkacak pinggang. Dengan mimik wajah dibuat-buat menyeramkan layaknya seorang pendekar besar, bocah itu kemudian menepuk dada.
Tidak bisa memberikan komentar, Rengganis hanya menghela napas panjang menyaksikannya pola tingkah cucunya yang satu ini. Sangat berbeda dengan dua orang cucunya yang lain. Danur Cakra nampaknya berdarah dingin dan sangat teguh pada pendirian. Dia selalu menginginkan sesuatu yang lebih. Hidupnya melangkah dalam tujuan yang maha besar.
Dari sorot matanya saja, sudah terlihat jelas jika Danur Cakra merupakan seorang yang sangat ambisius.
_____________
Nama anak Pendekar Elang Putih (Mahesa)
Dari Dewi Api yakni Raka Jaya Supena.
Dari Puspita Dewi yakni Suhita Prameswari dan Danur Cakra Prabaskara.
Ketiganya berada di tempat yang terpisah, juga dengan bakat dan ambisi yang berbeda. Mungkinkah tiga saudara tersebut bisa bersatu atau justru bertolak belakang?
_____________
"Apa Raka sudah tidur?" Mahesa hendak menengok Anaknya itu.
"Jangan ganggu, dia baru saja terlelap. Sepertinya dia sangat capek. Ikuti aku," Tapi Dewi Api menarik untuk segera mengikuti langkahnya pergi. Mahesa menghela napas sebelum akhirnya menurut. Benar kata orang, pria itu harus banyak mengalah pada wanita. Beruntung, Mahesa masih bisa melakukannya sejauh ini.
"Aku peringatkan sekali lagi. Jangan coba-coba sentuh Anakku dengan dekat. Apa lagi coba-coba ajari dia kemampuan energi milikmu itu. Aku tidak pernah restu! Kau memang Ayahnya, tapi dia adalah Anakku. Harus kau camkan itu! Awas!" Dewi Api bicara sambil menatap penuh intimidasi.
"Kalau begitu, beri aku seorang lagi. Maka dia akan ku jadikan Anakku," Mahesa mencubit dagu istrinya.
"Dua, tiga, empat. Berapa pun, jika terlahir dari rahimku, kau tidak berhak! Urus saja Anak dari istri kesayanganmu itu. Mengapa harus menunggu besok? Mengapa tidak malam ini saja? Pulang sana!"
Mahesa menahan emosinya. Setiap saja Mahesa akan kembali pada Puspita, Dewi Api pasti selalu saja begitu. Marah-marah tidak jelas, bahkan bicaranya itu sengaja untuk menyinggung hati Mahesa. Rasa tidak senang itu, dia tunjukkan secara terang-terangan. Apa lagi, jika mereka hanya berdua saja. Habislah Mahesa!
Dewi Api akan manis jika ada Raka Jaya dan saat mereka bermain di atas ranjang saja. Meskipun begitu, tetap saja Mahesa menyayangi istri pertamanya itu dengan sepenuh hati. Mahesa tahu, dalam hati Dewi Api masih belum bisa rela harus berbagi suami dengan wanita lain. Dia cemburu bila Mahesa bersama Puspita. Makanya selalu marah-marah dan bicara yang menyakitkan hati. Semuanya, memang cerminan dari rasa cinta dan sayang sebagai seorang istri yang tidak rela suaminya berada dalam pelukan wanita lain. Dewi Api sangat takut kehilangan Mahesa. Hanya saja, Dewi Api merupakan tipe orang yang tidak pandai bersandiwara dengan berpura-pura manis.
Mahesa juga mengakui ini sebagai kesalahannya, dia yang telah memulai. Memutuskan untuk mendua adalah keserakahan terbesar dalam hidup Mahesa. Maka dari itu, apa pun yang terjadi dia akan menanggung segala beban. Tidak perduli pada kalimat Dewi Api kerap merendahkan dan bahkan menginjak harga dirinya. Tidak ada bedanya, rasa sayang Mahesa pada Dewi Api maupun Puspita. Karena mereka berdua adalah sama-sama istrinya. Mahesa harus mengesampingkan diri sendiri, dan lebih memikirkan masa depan anak-anak mereka yang semakin hari semakin tumbuh besar. Dia tidak ingin, anaknya yang akan menanggung derita karena keretakan rumah tangga. Itu lebih menegaskan jika dia gagal sebagai kepala keluarga.
"Istriku, kau jangan bicara begitu. Bagaimanapun juga, aku ini adalah suami yang kau sayang. Kau jangan kasar-kasar, takutnya aku tidak bisa tahan nanti. Akan ku balas menyiksamu saat kau di bawah," Mahesa nyengir kuda, sambil menggoda istrinya untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan.
Plaaak! Dewi Api menampar pipi Mahesa menyisakan rasa pedar di sana.
"Dasar pria sialan! Kau pikir aku takut pada ancamanmu itu? Kau akan bawa banyak oleh-oleh untuk istri kesayanganmu itu," wanita itu kemudian merangkul dan menggigit pundak dan leher sang suami dengan sangat kasar tapi penuh gelora. Dewi Api hendak menunjukkan pada Puspita untuk tidak terlalu berbangga hati menjadi istri kedua.
"Tidak lama lagi, kau akan terima akibatnya," Mahesa segera membopong sang istri memasuki kamar. Di sana, dia akan menunjukkan siapa yang lebih bisa menghajar dengan garang. Mahesa tidak sungkan memberi rasa sakit, karena memang Dewi Api menginginkan hal gila itu. Hingga dia bisa lebih lama merasakan 'bekas aksi' sang suami, saat sedang ditinggalkan pada istri kedua.
Pagi-pagi sekali, Dewi Api telah membawa Raka pergi dari padepokan. Dia hanya memberi kesempatan pada Mahesa untuk melihat sang buah hati beberapa detik saja, itu pun sebelum Mahesa benar-benar terbangun. Meskipun sekujur tubuhnya terasa begitu linu Dewi Api memaksakan dirinya untuk membawa Raka untuk olah raga.
"Ayah, jangan lama-lama perginya. Raka pasti akan merindukan Ayah!" lambaian tangan Anaknya, Mahesa simpan di dalam sanubari.
"Iya, Ayah janji. Hati-hati Anakku!" Mahesa membalas lambaian tangan Anaknya.
"Huuuhhh ..." Mahesa menghembuskan napas berat.
Jujur saja, Mahesa kurang cocok dengan cara Istrinya yang demikian. Terlalu membatasi hubungannya dengan Raka, padahal Raka adalah anak kandungnya, darah dagingnya. Lagi-lagi Mahesa dipaksa untuk bersabar. Pernah dia mencoba untuk membicarakan hal itu secara baik-baik, tapi tetap saja Dewi Api bersikeras dan tidak mengizinkan Mahesa untuk sekadar membawa Raka Jaya jalan-jalan keluar padepokan kecuali jika bersama dengannya.
Sebagai seorang pendekar, Mahesa merasa sangat resah. Dia memiliki segudang kemampuan yang sukar dicari tandingannya, dia ingin anak-anaknya nanti mewarisi apa yang dia miliki selama ini. Mahesa ingin menjadi guru bagi anak-anaknya. Tapi ... apa mau dikata. Yang bersama dengannya saat ini Suhita Prameswari sama sekali tidak mau belajar olah kanuragan. Putri kecilnya itu justru lebih tertarik untuk menjadi tabib dan hanya mempelajari ilmu pengobatan.
Danur Cakra Prabaskara tinggal bersama sang Kakek. Dan jelas dia berada dalam bimbingan pengajaran Kakek dan Neneknya. Mahesa? Tidak diperbolehkan untuk ikut campur. Raditya beralasan jika dia ingin mengangkat murid kedua. Dan dalam hal ini, tentu kemampuannya nanti akan bisa seperti Mahesa. Itu tidak dipungkiri, Mahesa juga tidak meragukannya. Karena hasil yang didapat akan sama saja walaupun dia yang mengajar.
Satu-satunya harapan Mahesa ialah Raka Jaya Supena, tapi apa mau dikata. Keputusan Dewi Api sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Mahesa tidak diizinkan untuk ikut menyalurkan energi dalam perkembangan kemampuan Raka. Memang Dewi Api akan dibantu oleh Wana Abiyasa dalam membimbing bocah itu, Mahesa tidak perlu khawatir akan kualitas kemampuan anaknya nanti, dia pasti bakal tumbuh kuat dengan kemampuan yang sukar menemukan lawan. Tidak ubahnya Dewi Api saat sekarang.
Mahesa masih terus melamun di atas punggung kuda. Perjalanan pulang kali ini terasa begitu membosankan. Tidak ada rasa riang di dalam hati Mahesa, yang ada gumpalan rasa kekecewaan. Ya, Mahesa merasa sangat tidak berguna sebagai seorang lelaki. Masa untuk menundukkan seorang istri saja tidak mampu. Sebenarnya, siapa yang menjadi kepala keluarga? Jika seorang suami adalah kepala keluarga, mengapa harus tunduk di bawah kehendak istri?
Eeeaaakkk !!!
Mahesa menarik tali kekang kudanya secara mendadak. Membuat alat transportasi yang gagah tersebut sampai mengangkat kedua kakinya depannya cukup tinggi. Beruntung Mahesa cepat tanggap, hingga tidak terjatuh dan sang kuda segera tenang kembali.
"Ya, Tuhan. Ini tidak benar, aku tidak boleh berpikir begitu," Mahesa memejamkan kedua matanya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan gemuruh di dalam jiwanya.
Tidak! Mahesa harus segera mengusir iblis di dalam hatinya. Jangan sampai dia terpedaya oleh hasutan rendah seperti itu. Mahesa segera turun dari punggung kudanya dan menuju gentong air yang sengaja disiapkan oleh penduduk untuk minum mereka yang melintas.
Mahesa mengambil gayung dan meminum sedikit air, sisa air di dalam gayung dia gunakan untuk mencuci muka dan membasahi kepalanya. Mahesa ingin segera mendinginkan otaknya. Saat Mahesa kembali hendak mencibuk air, samar-samar mata Mahesa melihat ada cahaya putih berkelebat di dalam air.
Bukan, itu bukan di dalam air. Melainkan bayangan benda yang terayun ke arahnya. Ya, seseorang menyerangnya dari belakang. Dengan sigap Mahesa segera menghindar. Tidak semudah itu bisa menyentuhnya.
Braaakkk !!! Kendi air hancur berserakan.
Seorang pendekar membabat kendi itu dengan sangat cepat. Pedang di tangannya mengkilap menyilaukan diterpa sinar Matahari.
"Singa Mendeleng, apa masalahmu?!" Mahesa menyipitkan mata, mengenali orang yang menyerangnya.
"Hahaha! Teman lama, aku merasa sangat tersanjung, rupanya kau masih mengenaliku. Apa kabarmu, Elang Putih?" Singa Mendeleng menyeringai seram. Memperlihatkan giginya yang tajam dan tidak terawat.
"Sudah hampir satu tahun aku tidak mencampuri urusan dunia persilatan, aku sangat tidak berharap bertemu dengan orang-orang seperti dirimu. Apa kau bersedia membebaskan aku?" tanya Mahesa.
Singa Mendeleng tersentak kaget. Ekspresi wajahnya terlihat dipenuhi ribuan tanda tanya. Tapi kemudian, dia tertawa lebar.
"Hahaha! Teman lama, apa aku tidak salah dengar?! Mengapa begitu cepat kau pensiun? Atau goyangan dahsyat istrimu semalam membuat tubuhmu lemas dan tidak memiliki tenaga untuk bertarung?" Singa Mendeleng menunjuk bekas merah di leher Mahesa yang tidak bisa disembunyikan. Penjahat itu terus tertawa mengejek. Dia juga mengatakan kalau Mahesa suami takut istri yang setiap hari kerjaannya bersembunyi di balik ketiak istri. "Hahaha! Kau sedang mencetak anak kedua, ya?"
Sejauh ini, yang dunia persilatan ketahui ialah bahwa Mahesa hanya miliki seorang istri, yakni Dewi Api. Mereka tidak pernah melihat keberadaan Mahesa di dunia persilatan dan hanya sesekali nampak di dalam padepokan, semuanya menduga jika Mahesa hanya berlindung di balik tingginya tembok dan ketatnya penjagaan Padepokan Api Suci semata, tanpa tahu jika Mahesa juga memiliki seorang istri di tempat lain.
"Aku tidak boleh membuat wajah jelek ini curiga jika sebenarnya aku baru saja meninggal Padepokan Api Suci," Mahesa membatin.
Dia tidak ingin mencelakakan Puspita dan juga Putrinya. Jika saja ada seorang yang tahu, maka keselamatan Puspita dan Putrinya akan terancam. Puspita sekarang hanyalah seorang wanita biasa. Sangat lemah dan sama sekali tidak memiliki kemampuan olah kanuragan. Untuk melindungi diri saja, dia tidak bisa. Apa lagi harus menjaga keselamatan Suhita.
"Hahaha! Dugaanku benar, ya? Memangnya kau melakukan berapa ronde tadi malam? Ah, kau sama sekali tidak kasihan pada istrimu," ledek Singa Mendeleng sekali lagi.
"Aku melakukannya sampai pagi pun, apa urusannya denganmu? Dasar tidak tahu diri. Bicara kau sekali lagi, maka Aku akan mencabik mulut busukmu itu!" tidak ada pilihan lain, Mahesa harus melakukan perlawanan.
Kemarin-kemarin Mahesa tidak lagi mau mengotori tangannya dengan darah, itu karena istrinya sedang mengandung. Mahesa tidak mau terjadi hal-hal yang tidak baik pada anaknya. Tapi sekarang kasusnya lain. Jika Mahesa menunjukkan hal yang mencurigakan, takutnya banyak orang yang akan mencari tahu banyak hal di balik itu. Mahesa tidak ingin membahayakan Puspita dan Putrinya.
Mahesa menendang serpihan gentong ke arah Singa Mendeleng, dengan balutan energi tenaga dalam yang Mahesa sertakan, membuat tanah liat tersebut menjadi sangat kuat. Hingga membuat Singa Mendeleng harus menggunakan pedang pusaka di tangannya untuk bisa menghalau serpihan gentong tersebut dan membuatnya hancur menjadi debu.
"Hahaha! Aku akan merasa senang, jika kau melawan," dengan tawa penuh semangat, Singa Mendeleng kembali mengayunkan pedangnya ke arah Mahesa. Kali ini dia tidak main-main, pedang di tangannya sampai mengkilap bercahaya karena dialiri tenaga dalam yang sangat besar.
Mahesa tidak ingin terlalu berlama-lama di sana, takutnya menimbulkan kecurigaan yang malah semakin memancing mata orang-orang untuk berdatangan. Untung saja, mereka berada di pinggir desa, hingga sedikit yang bisa menyaksikan pertarungan tersebut.
Dengan menggunakan jurus rahasia pedang dua belas, Mahesa membalas serangan pada Singa Mendeleng dengan menggunakan pusaka langit. Setidaknya, kemampuan pedang pusaka yang Mahesa gunakan berada di atas pusaka milik Singa Mendeleng hingga dari situ Mahesa sudah bisa menekan Singa Mendeleng dengan lebih cepat.
"Hump! Sialan! Kau memang sangat cepat!" Singa Mendeleng tersentak kaget saat tiba-tiba saja pedang di tangan Mahesa sudah sampai di bahu kanannya. Terpaksa Singa Mendeleng menjatuhkan diri untuk menghindari luka yang lebih parah menggores di bahunya.
Tapi Mahesa tidak serta merta berpuas diri dengan memberikan luka kecil di pundak Singa Mendeleng. Pedang di tangannya terus memburu tubuh Singa Mendeleng yang bergulingan di atas tanah.
"Kena kau!" Singa Mendeleng berteriak keras seraya menyabetkan pedangnya ke arah kaki Mahesa.
Mahesa segera melompat, membumbung tinggi ke udara lalu kemudian hinggap di dahan pohon. Dia menunggu Singa Mendeleng kembali menyerangnya. Mata Mahesa menatap tajam, mengawasi setiap detail gerakan yang Singa Mendeleng lakukan. Dan saat orang itu melompat menyusul Mahesa ke dahan pohon, Mahesa juga melompat turun. Hingga keduanya bertemu dan beradu pukul di udara.
Wuusss! Pedang Singa Mendeleng melintas beberapa senti di dekat paha Mahesa. Sebaliknya, kaki Mahesa berhasil mendarat dengan keras di dada Singa Mendeleng.
Bugh! Bruuukk! Singa Mendeleng jatuh mendahului, tubuhnya terbanting keras menghantam bongkahan batu.
"Uhuukkk ..." darah segar keluar dari mulut Singa Mendeleng. Punggungnya pun cabik, terkoyak oleh batu yang tajam.
Craasshh! Craasshh!
Tanpa memberikan kesempatan untuk lawannya bangkit, Mahesa melepaskan beberapa tombak energi yang menembus dada dan perut Singa Mendeleng sekaligus mengantarkan pendekar tersebut menuju alam baka.
Mahesa belum menjejakkan kakinya di atas tanah saat Singa Mendeleng menghembuskan napas terakhirnya. Pendekatan lawas yang selalu berseberangan paham dengan Mahesa itu tewas pada hari itu. Akhirnya ... setelah beberapa kali bertarung, Mahesa menyelesaikan juga perlawanan orang itu.
Singa Mendeleng bukanlah orang jahat. Dia tidak pernah mencelakai penduduk, melakukan perampokan ataupun hal-hal lain yang bersifat merugikan lain. Dia bermusuhan dengan Mahesa hanya karena ingin disebut sebagai seorang pendekar. Maka dari itu, dia terobsesi untuk bisa mengalahkan Mahesa. Suasana hati Mahesa sedang kurang baik, ditambah lagi dengan kecemasannya terhadap keselamatan Puspita dan Putrinya membuat Mahesa tidak bisa mengontrol energi tenaga dalam hingga melepaskan pukulan yang berada di luar kemampuan lawan untuk menahan.
Singa Mendeleng, tamat. Mahesa segera berlari menghampiri kudanya dan melanjutkan perjalanan. Dia menggebrak kuda seperti orang kesetanan, hingga dalam waktu yang singkat telah jauh meninggalkan bekas pertempuran. Mahesa baru berhenti ketika telah melewati dua desa. Sudah sangat jauh.
"Tuan, silahkan masuk. Mari ..." dengan sopan, pelayan kedai menyambut dan menuntun kuda milik Mahesa.
"Aku tidak ingin masuk. Apa bisa antarkan makanan ke tempat peristirahatan ini?" tanya Mahesa pada pelayan tersebut seraya menyodorkan kepeng perak yang langsung membungkam mulut si pelayan.
Di dalam kedai, pasti banyak para pendekar dan bangsawan yang minta di layani. Belum lagi takutnya di antara mereka ada yang mengenali wajah Mahesa. 'Kan bisa repot. Sungguh, Mahesa tidak ingin mengotori tangannya dengan darah. Perjalanan kali ini, memang sedikit berbeda. Mengapa juga dia harus bertemu dengan Singa Mendeleng lalu bertarung dan akhirnya membunuhnya.
Setelah makan Mahesa akan segera melanjutkan perjalanan. Hatinya mendadak berdebar tidak karuan. Ingatannya selalu saja tertuju pada Suhita, putri perempuannya itu pasti sudah lama menunggu. Atau jangan-jangan dia sudah selesai meracik obat? Mahesa tersenyum sendiri mengingat hobi nyeleneh putrinya.
°°°
"Ibuuu, Ayah sudah kembali, Ayah sudah kembali. Lihatlah, Bu. Ayah benar-benar membawakan daging rusa untukku," Prameswari menyambut kedatangan Mahesa.
Mahesa segera melompat turun dari punggung kuda. Dia membopong putrinya dengan penuh kasih.
"Ayah bawa daging rusaknya banyak sekali. Bagaimana caraku untuk menghabiskannya?" Prameswari menatap pada bungkusan daging yang dibawa Ayahnya. Sebenarnya itu bukan daging rusa, melainkan daging kerbau yang Mahesa beli di pasar. Tapi anak kecil, mana tahu itu. Yang dia tahu hanyalah kebohongan dari cerita yang dikarang oleh Ibunya.
"Ah, itu sangat gampang, Putriku. Kau tinggal minta bantuan Ibumu, kalau dia sudah turun tangan, pasti semuanya akan beres," ucap Mahesa sambil tertawa.
Puspita tersenyum, menyambut kedatangan suaminya. Setelah mengemasi barang bawaan, dan mempersiapkan air untuk mandi Puspita segera mengambil alih Prameswari.
"Kanda, silahkan membersihkan diri lebih dulu. Sini, Nak. Biar Ayahmu mandi. Lihat pakaiannya sudah penuh dengan debu," ujar Puspita membawa putrinya ke ruang depan.
Dalam balutan senyum, Puspita menghela napas dengan dalam, saat melihat rona merah di leher sang suami. Tanda seperti itu selalu Puspita dapatkan setiap kali Mahesa pulang dari Dewi Api. Bukan hanya di sana, tapi di tempat lain juga pasti ada. Seolah Dewi Api menegaskan jika yang nanti malam Puspita dapatkan adalah 'bekas'. Puspita sudah tidak lagi merasa aneh. Sudah terbiasa. Dan mungkin itu memang resiko hidup sebagai istri kedua. Tapi Puspita sudah sangat senang, karena kenyataannya Mahesa tidak membeda-bedakan kasih sayang antara istri pertama dan kedua. Justru, Puspita merasakan jika Mahesa cenderung lebih mencintai dirinya. Sama halnya juga dengan dirinya. Apa pun yang terjadi, bahkan meski Mahesa bukan suaminya, cintanya tidak akan pernah lekang oleh waktu.
"Dinda, maaf. Aku ..." Mahesa hendak bicara. Tapi Puspita segera menghentikannya dengan menghadiahi kecvpan hangat di pipi sang suami. Puspita sudah bisa menduga jika Mahesa akan memohon maaf. Lalu kesalahan apa lagi yang harus dimaafkan? Mahesa hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Berlaku adil adalah satu hal yang harus dilakukan.
"Kanda, kau harus lihat ini," Puspita menunjukkan kotak kayu pada Mahesa. Isinya ialah ramuan obat yang sudah ditumbuk. Semua itu adalah hasil karya Putri kecilnya.
Obat untuk pertolongan pertama pada luka dan satu lagi yakni untuk anak sakit panas. Sungguh suatu pencapaian yang luar biasa. Mahesa seolah mendapatkan hadiah yang sangat istimewa menemukan itu. Suhita Prameswari selain cerdas juga sangat berbakat. Obat itu dibuat dengan bahan yang sangat sempurna. Takarannya sudah pas. Hebat.
"Luar biasa, Dinda. Anak kita berhasil membuatnya dengan sangat sempurna," ucap Mahesa memuji dengan segenap ekspresi.
Kegemaran Suhita Prameswari memang terhitung nyeleneh, dia adalah anak dari seorang pendekar ternama, pendekar besar dengan kemampuan tenaga dalam tiada tanding. Tapi kegemarannya justru tidak pada ilmu bela diri, melainkan ilmu pengobatan. Buktinya, diusia yang masih dini dia telah pandai meracik obat layaknya tabib profesional.
Puspita turut bergembira. Dia senang mendengar hal itu. Meskipun Ibunya bukan siapa-siapa dan tidak bisa apa-apa, tapi nyatanya Prameswari begitu berbakat. Dia menurut pada kemampuan Ayahnya dalam mengobati. "Kanda, suatu saat nanti Putri kita akan menjadi tabib handal yang akan berguna bagi masyarakat luas."
"Iya, Dinda. Tentu sebagai orangtua, kita harus mendorongnya untuk tekun belajar. Menanamkan nilai budi pekerti yang luhur agar Hita tidak lupa diri. Aku ingin Anak kita melangkah di jalan kebajikan. Huuhhh, tapi sayang ..."
"Sudahlah, Kanda. Dinda yakin, pada saatnya nanti Hita pasti akan tahu betapa pentingnya ilmu beladiri," Puspita menggenggam tangan Mahesa dengan erat. Meyakinkan suaminya untuk tidak memikirkan hal itu. Bukankah Mahesa sendiri baru belajar olah kanuragan pada usia delapan tahun? Mahesa hanya terlalu cemas. Dia mengukur segala hal hanya dengan sudut pandangnya, tentu saja Anak kecil menatap dengan cara yang berbeda.
"Yah, kau benar. Aku yang salah. Bahkan mereka terlalu dini untuk mengenal dunia persilatan," Mahesa menepuk jidatnya. Entah mengapa sampai dia berpikir sependek itu.
Bukan tugas Prameswari untuk bisa menjaga diri. Tapi Mahesa sebagai orang tua, sebagai seorang Ayah yang bertanggung jawab atas itu. Juga mengenai keselamatan istrinya. Puspita yang sekarang tidak lagi memiliki kemampuan olah kanuragan, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mahesa untuk menjaga sang istri dari segala bentuk bahaya.
Menjadi seorang suami bukan berarti hanya mendapatkan hak untuk dilayani, tapi juga memiliki kewajiban besar berupa tanggung jawab. Atas segala resiko hidup istri dan anaknya. Sandang, pangan, papan serta ketenangan, keamanan dan kepercayaan. Jika masih mengandalkan istri untuk penuhi kebutuhan dirinya sendiri, maka secara logika untuk apa wanita tersebut menikah dan memiliki seorang suami? Apa guna suami? Jika hanya untuk urusan ranjang saja, maka bin*tang pun bisa melakukannya. Apa lebihnya manusia?
Ah, tidak. Mahesa harus bekali anak perempuannya dengan kemampuan beladiri. Setidaknya, untuk bisa melindungi diri sendiri saat dalam bahaya. Untuk caranya, biar akan dipikirkan nanti. Semuanya, merupakan sebuah keharusan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!