BAAMMM !!!
Satu ledakan menghantam orang-orangan jerami yang di tegakkan pada area latihan. Perlahan api merayap membakar orang-orangan tersebut, hingga akhirnya seluruh patung jerami hangus termakan si jago merah.
Raka Jaya menyudahi latihannya. Bocah itu mengatur napasnya yang terasa hampir putus. Dia telah berhasil melakukan tugasnya hari ini. Latihan beberapa hari terakhir membuat tenaga Raka Jaya seperti terkuras. Malam nanti, dia butuh istirahat. Oh ya, bukankah ayahnya malam nanti akan datang? Senyum di wajah Raka Jaya semakin mengembang mengingat akan hal itu. Hanya saja, Raka Jaya masih tidak mengerti mengapa ayahnya belum juga mengajarinya kemampuan bela diri? Padahal, sudah lebih dari setahun ayahnya menjanjikan hal itu. Apa ayahnya lupa? Tidak mungkin, bukankah hampir setiap berjumpa Raka akan membicarakan hal serupa?
"Ibu, benar 'kan Ayah akan pulang nanti sore? Mengapa ibu tidak memasak untuk ayah?" tanya Raka Jaya polos.
Dewi Api tidak menjawab, dia berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya memperbaiki pelana kuda. Sebenarnya, Dewi Api benci harus membicarakan hal itu. Dia benci harus berpura-pura manis dan membela Mahesa di depan anaknya. Dewi Api juga terus berbohong perihal Mahesa yang tidak memiliki waktu penuh untuk keluarga. Dia tidak ingin anaknya tahu kalau ibunya memiliki seorang madu. Lebih tepatnya, Dewi Api tidak ingin anaknya mengakui jika sebenarnya dia punya saudara satu ayah. Malahan Dewi Api berharap jika anaknya akan ikut membenci Puspita dan anak-anaknya setelah apa yang dilakukan oleh Mahesa pada mereka.
"Ibu, ayo kita belanja," ucap Raka Jaya kemudian. Dia menarik jubah yang Puspita pakai.
"Belanja untuk apa? Kita tidak butuh itu. Janganlah suka berpoya-poya anakku, itu tidak baik. Jika terus menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak penting, maka ibu akan marah."
"Aahh, ibu. Aku ingin membelikan baju untuk ayah. Lagi pula, uangku ada. Aku tidak minta pada ibu."
Dewi Api mengerutkan dahi. Dia menatap anaknya dengan sedikit sebal. Selalu saja Raka Jaya mengistimewakan ayahnya. "Hei, darimana kau dapatkan uang? Kau mencuri?"
Raka Jaya mengangkat kedua tangannya sebelum Dewi Api hendak mencubitnya. "Ini uang tabunganku, ibu. Setiap kali ibu beri uang jajan, selalu aku sisihkan. Lagi pula, ayah sering memberikan aku uang yang banyak."
"Kau ini ... hhuuummhhh !!!" Dewi Api benar-benar kesal.
Ingin rasanya dia membongkar perilaku Mahesa di depan anaknya ini. Kalau pria kepa*rat itu telah mendua dan membagi kasih sayang mereka dengan orang lain. Lebih parahnya lagi, Mahesa lebih mencintai istri keduanya ketimbang istri syahnya itu. Kenyataan tersebut, kadang-kadang menimbulkan kebuntuan pikir dalam diri Dewi Api. Ingin rasanya dia menyingkirkan Puspita dari muka bumi. Agar bisa sepenuhnya miliki Mahesa.
Tapi sejauh ini, setelah delapan tahun diperlakukan seperti itu, nyatanya Dewi Api tidak sampai hati untuk melaksanakan niatnya. Puspita yang lemah itu masih saja ikut memiliki suaminya Dewi Api.
Mahesa memang tidak kehilangan apa-apa. Tapi Dewi Api, dia kehilangan segala-galanya. Cinta, kepercayaan, sahabat bahkan suaminya. Dewi Api harus merelakan semua itu semenjak dia meyakinkan dirinya untuk punya suami yang bertanggung jawab. Sekarang apa? Apa dia bangga?!
Ah, sudahlah. Dewi Api harus segera melupakan semua itu. Setidaknya untuk saat ini. Dengan terpaksa, sore itu Dewi Api mengantar anaknya untuk pergi berbelanja. Dia tidak sampai hati melihat anaknya tersiksa karena tidak terpenuhi keinginannya.
"Nah, itu tempatnya. Kau cari saja sendiri!" Dewi Api menunjuk sebuah toko pakaian. Dia sendiri tidak ikut masuk dan membiarkan putranya memilih sendiri pakaian yang katanya untuk ayah itu.
"Ah, sialan!" Dewi Api mendengkus kesal ketika melihat seorang yang mencurigakan menyusup di antara kerumunan.
Orang itu berpakaian serba hitam serta mengenakan jubah dan ikat kepala yang juga berwarna hitam. Dewi Api curiga jika dia merupakan mata-mata yang berasal dari organisasi mata hantu yang kerap menjual berita pada siapa saja yang sanggup beli dengan harga tinggi.
"Berani sekali dia memasuki Kota Bilah Api. Apa tujuannya?" Dewi Api melongok dari pintu dan memastikan kalau anaknya masih ada di dalam.
Melihat Raka Jaya sedang sibuk memilih pakaian untuk Ayahnya, Dewi Api memutuskan untuk mengejar mata-mata tersebut. Hingga di ujung jalan, Dewi Api masih melihat orang itu berkelebat ke arah timur. Dewi Api hendak mengejar, tapi dia buru-buru menghentikan langkah kakinya. Dan segera kembali ke toko tempat Raka Jaya berbelanja.
Pertama, tidak mungkin seorang mata-mata berpakaian mencolok muncul di siang hari. Andaipun masih bekerja, pastinya mereka akan berpakaian yang tidak mencurigakan hingga bisa bebas bergerak. Kemudian, kelebat bayangan di ujung jalan itu pasti hanya pancingan agar Dewi Api mau mengejar. Lalu kemudian mereka akan melakukan rencana yang sebenarnya. Bisa jadi, mereka memiliki tujuan untuk menculik Raka Jaya Supena. Ya, kemungkinan itu sangat besar.
Para penjahat mana pernah mengenal rasa takut. Meskipun resiko teramat besar, tidak menutup kemungkinan akan ada kelompok yang menyanggupi untuk menculik anak pendekar besar layaknya pasangan Mahesa dan Dewi Api. Yang kuat itu ayah dan ibunya, sementara anaknya sama saja dengan anak lain. Lemah.
Para penjahat itu tidak akan memikirkan resiko yang akan mereka terima jika berani mengganggu keluarga Pendekar Elang Putih. Walaupun mereka semua akan mati, pastinya mereka menganggap hal itu sepadan jika menukar dengan nyawa anak dari Mahesa. Balas dendam adalah prioritas utama mereka.
Karena Elang Putih dan Dewi Api merupakan pendekar terkuat aliran putih, sudah barang pasti banyak yang menginginkan kematian keduanya. Tidak mereka, tentu membunuh anaknya sudah lebih dari cukup. Dengan demikian, para penjahat tersebut bisa menghadap raja neraka dengan senyum tersungging di bibir.
Dewi Api tertegun saat menyaksikan ada bekas runtuhan dan puing bekas api di sana. Itu berarti tadi ada api yang berkobar di toko pakaian. Secepat itu? Rasanya tidak sampai sepuluh menit Dewi Api beranjak dari sana.
"Hei, kau dari mana saja? Ceroboh!" suara seorang memakinya.
Dewi Api menoleh dan menemukan Raka Jaya telah bersama dengan ayahnya. Baju yang di pegang Raka nampak menghitam bekas terbakar.
"Anakku, kau baik-baik saja?" Dewi Api menghampiri Raka Jaya.
"Anakmu sangat hebat. Dia telah menguasai teknik inti api tahap pertama dengan sempurna, hingga bisa menjaga diri dengan baik," jawab Mahesa.
"Ayah bohong, Bu. Kalau saja ayah tidak cepat datang, mungkin aku sudah hangus terbakar," ujar Raka Jaya dengan melirik ke arah ayahnya.
"Sebenarnya, apa yang telah terjadi? mengapa kau tiba-tiba ada di sini?" Dewi Api tidak tahu apa yang telah terjadi, hingga dia memberondong Mahesa dengan pertanyaan-pertanyaan. Mendadak Dewi Api berpikir buruk dengan menuduh Mahesa yang sengaja melakukannya untuk menarik simpati anaknya.
Entah mengapa, semakin kesini rasa tidak senang Dewi Api pada suaminya semakin menjadi. Apa mungkin karena anaknya yang sering membela ayahnya? Dewi Api juga tidak miliki jawaban pasti. Yang jelas, dia sebal tiap kali Mahesa bersama anaknya. Terlebih lagi, jika Mahesa baru datang atau saat hendak kembali pada Puspita. Nah, di sana merupakan puncak kekesalannya.
Kenyataannya, Dewi Api tidak bisa membenci apalagi memusuhi suaminya. Dewi Api hanya tidak senang pada Puspita, madunya, bukan pada Mahesa. Bukannya Dewi Api tidak sadar jika yang menciptakan dosa adalah mereka berdua dan mereka harus menanggung beban bersama-sama. Dewi Api tidak pernah meminta Mahesa untuk menikah lagi karena Puspita, tapi hanya demi bayi di dalam kandungan Puspita kala itu. Tidak lebih.
"Ibu, apa ibu tidak dengar ayah bicara?" Raka Jaya menyenggol bahu Dewi Api, menyadarkan wanita itu dari lamunan. "Ayah mengajak kita pulang, sambil jalan saja ceritanya."
Dewi Api tersenyum, kemudian mencivm kening anaknya, "Ayo, kita pulang."
"Kau tahu, dari mana mereka berasal?" tanya Mahesa kemudian.
"Melihat ikat kepala dan cara mereka bergerak, aku curiga mereka berasal dari klan mata hantu. Tapi aku sama sekali tidak memiliki bukti," Dewi Api menceritakan kejadian yang dia lihat barusan. Dewi Api cepat sadar dan kembali pada Raka Jaya. Tidak di sangka, mereka bergerak begitu cepat.
"Ada satu orang yang menyerang pemilik toko, aku hanya melindungi diriku, dan melakukan perlawanan saat orang itu bergerak ke arahku. Dia sangat kuat, ibu. Untung saja ayah cepat datang menolongku," Raka Jaya bercerita.
"Apa kau sudah ucapkan terima kasih?" tanya Dewi Api.
"Tentu saja, sudah. Bahkan sebelum ayah membuat orang itu kabur."
"Aku berpikir kalau pemilik toko punya jawaban atas segala pertanyaan. Sayangnya, dia telah lebih dulu menghilang," Mahesa kemudian mengatakan hal-hal yang mencurigakan bagi dirinya.
Itu berarti, target mereka bukan Raka? Untuk sementara ini, bukan. Akan tetapi tidak diketahui untuk kedepannya, karena orang yang kabur serta pemilik toko tentunya mengetahui jika Raka Jaya adalah anak Dewi Api dan ikut terlibat dalam serangan itu. Bahkan Raka sempat bertarung. Selain pemilik toko dan pelayannya yang sekarang menghilang, Raka Jaya adalah salah satu saksi mata. Saksi hidup yang berkeliaran di Kota Bilah api. Memang sekarang belum tahu apa-apa, tapi tidak tahu untuk hari esok. Besar kemungkinan Raka Jaya akan ikut terlibat setelah ada yang berhasil membongkar kedok mereka sedikit demi sedikit.
Dalam organisasi atau kelompok manapun, peraturan tetaplah peraturan yang harus ditegakkan. Mereka tidak akan membiarkan satu pun saksi mata tetap hidup.
"Aku akan selidiki mengenai klan mata hantu ini. Jika saja mereka ikut melibatkan anakku, maka bukan salahku jika akan buat perhitungan dengan mereka. Bunga yang gugur sebelum berkembang, pasti lebih menyakitkan," ancam Dewi Api.
"Aku akan membantumu," timpal Mahesa.
"Aku tidak butuh bantuanmu, masalah seperti ini aku pun sanggup untuk melakukannya. Kau urus saja hidupmu sendiri!"
"Kau jangan lupa. Raka Jaya adalah juga putraku. Sebagai kepala keluarga, kewajiban ku lebih besar untuk ini. Kau jangan macam-macam! Tidak ada suami yang takut pada istrinya, hanya saja mereka menghormati istri lebih dari dirinya," Mahesa menatap Dewi Api dengan tajam.
Kalau saja, tidak ada Raka Jaya yang bersama mereka, sudah dipastikan pasangan itu telah bertengkar bahkan bertarung. Saat genting seperti itu, mereka masih sempat bertengkar? Sungguh merupakan contoh yang tidak baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Elmo Damarkaca
Cemburu yg tak pernah memudar....
2022-04-30
0
Thomas Andreas
sang anak
2022-04-02
0
Andi Suliono
Dewi api munafik katanya ikhlas...tp msh ad benci d hati
2022-01-20
2